17

493 102 3
                                    

***

Jiyong setuju untuk mengantar Lisa pulang. Pria itu meminta Lisa menunggu sebentar, sementara ia memberitahu teman-temannya untuk menyelesaikan pekerjaan mereka. Ia beritahu rencananya pada teman-temannya kemudian mempercayai mereka untuk menyelesaikan pekerjaan mereka seperti yang ia inginkan. Sebelumnya Jiyong tidak pernah begitu. Ia tidak pernah meninggalkan pekerjaannya, kecuali saat tubuhnya remuk.

Nara keluar di saat Jiyong masih bicara dengan rekan-rekannya. Melihat Nara keluar, Lisa memaksakan kakinya untuk berdiri. Neraka kembali menggerogoti tubuhnya. Mulai dari kepala sampai kakinya, seluruh tubuhnya sakit.

"Kau benar-benar sakit?" tanya Nara setelah melihat Lisa yang perlahan mengangkat kepalanya, menatap Nara dengan pandangan kabur. "Atau hanya berpura-pura karena tidak suka melihatku ada di sini? Kau yang memberitahuku kalau Jiyong ada di sini. Tadi kau berlaga keren dengan menyuruhku ke sini, sekarang kau menyesal?" cibir gadis itu, kesal sebab Jiyong jadi kelihatan tidak profesional karena kekasihnya.

"Aku sudah tiga puluh tahun, aku tidak melakukan yang seperti itu," jawab Lisa, dengan suaranya yang serak, hampir tidak bisa keluar. Wajah Joohyuk saat tersenyum kemudian berubah dingin membayanginya. Sosok Kai dan Jennie pun muncul dalam benaknya, seperti algojo yang akan menelannya hidup-hidup.

"Ah... Kau sudah dewasa? Lalu kenapa kau datang dengan semua sampah itu lalu membuat kekasihmu kelihatan sangat tidak profesional? Pekerjaannya belum selesai. Dia masih harus bekerja. Siapa kau memintanya untuk pergi? Kalau kau benar-benar mencintainya bukankah kau harusnya mendukung pekerjaannya? Bukan justru merepotkannya begini?"

"Apa eonni sedang bicara tentang dirimu sendiri? Meski sedang bekerja, berkencan bahkan sakit, dia pasti datang kalau aku memintanya. Sepertinya aku pernah mendengarmu bilang begitu, atau itu hanya mimpiku?"

"Ya! Berani-"

"Ya!" Jiyong muncul dan langsung membentak Nara begitu ia dengar Nara akan berteriak pada kekasihnya. Pria itu bahkan membanting pintu studionya, membuat kepala Lisa jadi semakin pening. "Jangan menantangku, kalau aku marah, kalian tidak akan bisa mengatasinya," ketus Jiyong, yang kemudian menyuruh Nara untuk pulang dan tidak menganggu rekan-rekannya bekerja.

Jiyong yang kesal kemudian merangkul Lisa pergi, meninggalkan Nara di sana. Nara yang juga kesal, melangkah pergi. Ia ambil tasnya di dalam studio rekaman, kemudian melangkah dengan kaki yang sengaja di hentak-hentakan. Di tempat parkir, ia mendahului Jiyong dan Lisa, dengan sengaja menabrak bahu Jiyong untuk menunjukan emosinya yang tidak bisa di tahan.

"Augh! Kekanakan sekali dia!" cibir Jiyong sementara Lisa hanya diam, memperhatikan dua sahabat yang sekarang bertengkar, mungkin karenanya, mungkin juga bukan.

Sepanjang perjalanan ke rumahnya, Lisa hanya diam. Jiyong pun diam, sama sekali tidak mengatakan apapun sampai mobilnya berhenti di pekarangan parkir di depan gedung apartemennya Lisa. Mobil di matikan dan keduanya masih diam, tidak seorang pun bergerak untuk turun.

"Bagaimana sarapanmu dengan Nara eonni tadi pagi? Berjalan lancar?" tanya Lisa pada akhirnya, menatap ke jalanan kosong di depan mereka, sesekali menatap gedung apartemennya. Gedungnya sudah kelihatan jelek— pikir Lisa. Ia bisa saja pindah namun tidak ingin melakukannya. Hanya rumah itu yang punya kenangan keluarganya, saat mereka masih tinggal berempat.

"Tidak," jawab Jiyong. "Aku menyuruhnya pergi sebelum pergi ke rumahmu. Tidak ada yang sarapan tadi pagi."

"Aku melihat sup di dapurmu. Juga piring kotor yang belum di cuci."

"Itu makan siang."

"Dengan Nara eonni?"

"Dengan Seunghyun hyung," jawab Jiyong. Kedua tangannya masih memegangi roda kemudi. Hanya meremas roda kemudi itu, menunjukkan perasaan gelisah yang menggerayanginya. "Kau ke rumahku hari ini?" tanyanya.

"Ya," Lisa mengangguk. "Aku bertemu dengan Nara eonni di sana. Dia mencarimu."

"Ah... Jadi kau yang memberitahunya kalau aku di agensi?" tanya Jiyong dan sekali lagi Lisa menganggukan kepalanya. "Padahal aku sengaja tidak menjawab teleponnya. Apa yang kau lakukan di rumahku?" susulnya, karena lawan bicaranya tidak banyak berkomentar.

"Mencari handphoneku, dan ternyata rusak, tidak mau menyala."

"Sudah kau perbaiki?" tanya Jiyong dan Lisa menggeleng.

Ia berikan handphonenya pada Jiyong, meski tahu pria itu tidak akan bisa memperbaikinya. Jiyong menerimanya, namun langsung ia letakan di laci mobilnya. Lantas, pria itu menyalakan kembali mobilnya. Jiyong tidak bisa memperbaiki handphone Lisa namun ia tahu dimana mereka bisa memperbaikinya. Maka, ia kemudikan mobilnya menuju toko yang bisa memperbaiki handphone itu.

Lisa tidak menolak, ia tidak memprotesnya. Dadanya masih sesak. Sesekali ia melihat Joohyuk di jalanan, menjadi seorang pejalan kaki atau pengemudi di mobil di sebelah. Bayang-bayang pria itu terus mengganggunya, menyakitinya hingga ia akhirnya memejamkan matanya.

"Kau masih butuh waktu?" tanya Jiyong kemudian, tetap mengemudi dengan lembut di jalanan yang tidak begitu ramai.

"Tidak," jawab Lisa, tentu sembari membuka matanya. Menoleh menatap Jiyong di sebelahnya. "Minho oppa ingin tinggal di rumah ayahku. Tadi pagi aku marah sekali, jadi aku pulang, aku memukulinya. Saat oppa datang, aku sedang memukulinya dan dia akan melarikan diri kalau oppa masuk, jadi oppa tidak boleh masuk."

"Kau tidak memukul wajah aktor dengan keras kan? Kau tidak boleh melakukannya, itu asetnya."

"Tidak, kurasa tidak terlalu keras," Lisa menoleh menatap Jiyong, memperhatikan raut wajah pria itu kemudian menyentuh pipi Jiyong dengan jari telunjuknya. "Kenapa oppa bercanda dengan wajah serius? Membuatku takut. Kalau aku marah kalian tidak akan bisa mengatasinya," sindir Lisa dan kali ini Jiyong yang menoleh menatapnya. Hanya sepintas karena ia masih mengemudi, karena masih ada jalan yang harus ia perhatikan.

"Tadi aku serius," balas Jiyong, meraih tangan kekasihnya untuk ia genggam. "Memalukan kalau kalian bertengkar di sana, jadi aku sedikit marah."

"Tapi bukan aku yang memulainya," gumam Lisa, dengan wajah cemberut yang tidak bisa ia sembunyikan. Atau sengaja ditunjukkan agar Jiyong memihak padanya. "Hari ini aku lelah sekali, aku merindukan ibuku. Sangat merindukannya sampai menangis. Lalu aku pikir oppa dan Nara eonni makan bersama. Suasana hatiku sedang buruk, aku tidak bisa menahannya. Lalu aku menjatuhkan semua makanan dan kopinya. Dan saat aku melihat ke dalam studio, Nara eonni ada di sana. Dia tersenyum bersama teman-temanmu. Aku tidak bisa mengatasinya. Aku kesal. Aku marah, aku tidak bisa menahannya tadi. Apa aku harus minta maaf? Aku tidak ingin melakukannya. Aku tidak akan minta maaf."

"Kalau begitu, aku yang harus minta maaf?"

"Tidak," pelan Lisa, sangat pelan, Jiyong hampir tidak bisa mendengarnya. "Tapi aku akan merasa lebih baik kalau oppa melakukannya," susulnya, jauh lebih pelan lagi.

"Aku minta maaf, karena membuatmu salah paham dan memperburuk suasana hatimu."

***

Like a Romance DramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang