Aku hanya bisa mengerang frustrasi. Menatap dua koper di dekat kakiku dengan bibir dimajukan. Hari ini merupakan momen awal aku meninggalkan asrama kampus. Dalam bayanganku ada orang tua dan kakak-kakakku yang akan menyambut di teras, sayangnya yang kudapati hanyalah pintu rumah yang tertutup rapat.
Tepat saat aku memberi kabar akan meninggalkan asrama siang tadi, aku justru mendapat mendapat pesan jika Kak Nisa-kakak pertamaku, dilarikan ke rumah sakit karena akan melahirkan. Semua anggota keluarga ikut membersamainya. Dan sepertinya mereka terlalu panik dan terburu sampai lupa meninggalkan kunci rumah yang biasanya di letakkan di bawah keset.
Entah sampai kapan aku harus bertahan duduk seperti orang tersesat di rumah sendiri. Beruntungnya baterai ponselku tidak ikut serta dalam konspirasi menciptakan rasa bosan sore ini. Jadilah aku bersandar santai di teras depan sambil sibuk berselancar di dunia maya.
"Nina, kan?"
Satu suara menginterupsi kegiatanku. Aku mendongak dan hampir terlonjak mendapati sosok yang baru kulihat di timeline berita kini berdiri tepat di depanku.
"Ngapain sendirian di sini?" Dia bertanya lagi, matanya sempat beralih melihat koper di sampingku. "Oh, kamu beneran keluar asrama, ya?"
"Iya." Aku mengangguk dan mengulas senyum untuknya. Masih merasa canggung karena belum terbiasa berinteraksi dengannya meski kami sudah menjadi tetangga sejak aku masih TK.
"Kenapa nggak masuk?"
Aku hanya bisa menelan ludah saat dia ikut duduk di undakan tangga di dekatku. Bagian diriku yang selalu merasa kurang nyaman di dekat orang asing bergejolak.
"Semuanya ke rumah sakit, Kak Nisa mau melahirkan."
"Oh, ya? Cucu pertama dan kedua akan segera lahir akhirnya. Selamat, ya, kamu bakal jadi tante," selorohnya santai.
Aku lagi-lagi hanya bisa mengulas senyum canggung. Sebenarnya seberapa dekat dia dengan keluargaku sampai tahu perihal anak kembar yang dikandung Kak Nisa?
"Kalau begitu ke rumahku saja. Kamu nggak mau, kan, duduk di sini terus sampai ada yang pulang dan bukain pintu." Dia bangkit dan menarik satu koperku, kemudian berjalan lebih dulu. "Kamu juga pasti butuh makan."
Aku hanya bisa menatap setengah percaya sosok yang berjalan menuju rumah sebelah itu. Keenan Byantara, aktor terkenal yang namanya baru saja kubaca dalam judul artikel tentang ulasan film terbaru itu kini menggiring koperku dengan santai menuju rumahnya. Keluarga kami memang akrab, tapi statusku sebagai anak asrama selama lima tahun terakhir membuatku merasa punya jarak dengannya. Kami jarang bertemu, apalagi bicara. Tapi kenapa dia bisa bersikap begitu santai padaku?
"Orang tuaku sedang ada acara di luar kota. Santai saja, anggap rumah sendiri," ucapnya saat aku melangkah memasuki rumahnya. Dia mengambil alih koper yang kubawa dan membiarkan tas besar itu di samping pintu utama. "Semoga ada makanan yang disiapkan ibu sebelum pergi tadi siang," monolognya, kemudian mengarahkan aku untuk mengikuti langkahnya menuju meja makan.
"Kamu mau pesan apa?" tawar Keenan saat tidak menemukan sesuatu yang bisa dimakan.
"Nggak usah. Aku nggak lapar kok."
"Saya yang lapar," ucapnya cepat, "Dan saya nggak mau makan sendiri."
Aku menatapnya yang sedang menunggu jawaban. "Samakan saja dengan pesananmu," ucapku akhirnya. Ditatap lama-lama sama aktor terkenal bisa-bisa membuatku merona sendiri.
"Baiklah," ucapnya, kemudian sibuk dengan ponsel. "Jadi, bagaimana kuliahmu?"
Aku yang sibuk mengamati interior rumah Keenan kembali memusatkan perhatian padanya. "Begitulah," jawabku sekenanya. Bingung harus menjelaskan seperti apa situasiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Actor and I
ChickLitOrang-orang mengenalnya sebagai aktor ternama dengan akting yang memukau. Teman-temanku bahkan terlalu sering membicarakan apa saja tentang dia. Namun, bagiku dia hanyalah salah satu penghuni rumah sebelah yang jarang berinteraksi denganku. Sedangka...