Kak Nisa hampir saja berteriak histeris mendapati Keenan memasuki ruang perawatannya. Dia begitu semringah menyambut tetangga kami yang menyempatkan waktu untuk menjenguknya. Kak Nita hanya bisa mendengkus jengkel melihat reaksinya dan langsung mengambil langkah menghampiri dua box bayi di samping ranjang Kak Nisa.
"Nina sudah libur semester, ya?"
Akhirnya ada juga yang menyadari kehadiranku. Aku mengangguk memberi jawaban pada Kak Rian, iparku, kemudian mengikuti gerakan Kak Nita.
"Lucunya," komentarku saat mendapati kedua keponakanku tengah terlelap di pembaringan mereka masing-masing. Aku mengeluarkan ponsel untuk mengabadikan gambar keduanya. "Fotonya boleh kuunggah kan, Kak?" Bagaimanapun aku harus meminta persetujuan kedua orang tua bayi ini jika ingin menyebar fotonya.
"Boleh kok. Tapi, wajahnya ditutupi stiker, ya," jawab Kak Nisa.
"Mama sama papa ke mana, Kak?"
"Mereka sudah pulang, bareng sama ibu mertuaku," jawab Kak Nisa lagi, lalu memberi isyarat pada Keenan untuk ikut mendekati box bayinya. "Sini Keenan gabung juga. Kapan lagi anakku bisa ditengok seleb," serunya.
Kak Rian hanya bisa tertawa melihat tingkah istrinya. Sepertinya dia juga sudah akrab dengan Keenan, tidak ada kecanggungan yang kutangkap dari gerak tubuh keduanya.
"Kalian naik mobil bareng?"
"Iya, Kak."
"Yang bawa mobil Nita?"
"Keenan," Kak Nita yang menjawab, "Kapan lagi bisa disopirin artees."
Keenan mencibir. "Tapi, nanti yang duduk di depan Nina aja, ya. Nggak kuat gue dengar celotehan lo."
"Gue duduk di belakang pun tetap bakal berisik." Kak Nita nggak mau kalah.
"Ya setidaknya auranya menenangkan," bantah Keenan lagi.
Kak Nita tidak lagi membalas. Dia memilih sibuk dengan keponakan kami yang mulai bergerak-gerak dengan mata yang masih tertutup. Aku mengambil tempat Kak Rian yang sebelumnya pamit keluar untuk membeli sesuatu.
"Kamu nggak apa-apa, kan, kalau duduk di depan?" tanya Keenan saat aku duduk di sampingnya.
Aku mengangguk memberi jawaban, lalu menyibukkan diri memilah foto keponakanku untuk diunggah.
"Kak Nisa nanti pulangnya ke mana?"
"Ya, ke rumahku lah. Mama sama ibu mertuaku sudah siap membantu. Jadi, kalian nanti harus mandiri, ya. Masak dan beberes rumah yang rajin."
"Lah, minggu depan gue bakal berangkat mendaki lagi. Lo bisa ngurus rumah sendiri, Na?"
Aku mengangguk sambil mengacungkan ibu jari.
"Tenang, gue bisa bantu Nina kok." Keenan menawarkan diri.
"Justru lo adalah tersangka utama yang bisa bikin adek gue repot terus."
"Sinis amat sama gue, Ta."
Kak Nita hanya mengangkat bahu cuek, lalu kembali fokus pada keponakan kami.
Kak Rian muncul lagi sambil membawa beberapa keperluan untuk istrinya dan juga beberapa botol minuman dan makanan ringan. Kami mulai berbincang ringan dan seketika terdiam ketika salah satu bayi tiba-tiba menangis. Kak Rian dengan sigap menghampiri box bayi untuk membantu istrinya menenangkan anak mereka. Aku benar-benar kagum melihat kakak iparku yang cekatan itu. Kak Nisa benar-benar beruntung mendapatkannya.
"Pulang, yuk," ajak Kak Nita sambil melihat jam tangannya, "Sudah sore ini."
"Terima kasih, ya, sudah dijenguk."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Actor and I
ChickLitOrang-orang mengenalnya sebagai aktor ternama dengan akting yang memukau. Teman-temanku bahkan terlalu sering membicarakan apa saja tentang dia. Namun, bagiku dia hanyalah salah satu penghuni rumah sebelah yang jarang berinteraksi denganku. Sedangka...