Bab 22 : Thinking Out Loud

9K 714 5
                                    

Aku mengembuskan napas panjang sebelum membuka pintu kamar. Bagaimana pun marahnya aku pada Kak Nino semalam, aku tetap wajib menyiapkan sarapan untuk kami berdua pagi ini. Dengan gerakan yang amat pelan, aku mulai melangkah menuruni tangga dan terus menuju dapur. Sambil berharap jika kakakku itu masih berdiam di kamarnya.

Sepi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di lantai bawah. Aku bergegas ke depan, memeriksa halaman, apakah masih ada mobil atau Kak Nino memang sudah berangkat bahkan sebelum matahari terbit.

"Masih ada, ya," lirihku saat mendapati satu-satunya mobil yang dimiliki keluarga kami masih terparkir tenang di halaman rumah. Kuputuskan untuk bergegas ke dapur dan menyiapkan sarapan seadanya karena memang bahan makanan yang terbatas.

Lima buah roti bakar dengan selai cokelat kutinggalkan di meja dapur. Hampir tiga puluh menit menghabiskan waktu di dapur, Kak Nino tidak juga muncul. Sebenarnya aku ingin membangunkannya, tapi bisa jadi dia sengaja menghindar untuk bertatap muka denganku. Jadi aku memilih kembali ke kamar dan bersiap untuk berangkat kuliah.

Jam 8.17 aku sudah siap. Berjalan santai keluar dari kamar dan menuruni tangga. Keadaan rumah masih sama sebelum aku mandi. Tidak ada tanda-tanda kalau Kak Nino sudah bangun dan menghabiskan sarapan buatanku. Mungkin dia benar-benar marah dan menghindari interaksi denganku.

"Pagi, sayang."

Mataku membulat sempurna saat membuka pintu depan, mendapati Keenan merentangkan tangan menyambutku. Segera kuhampiri dia dan menyeretnya sampai keluar pagar.

"Kamu ngapain? Kakakku ada di dalam," selorohku.

Keenan terkekeh. "Dia udah berangkat dari tadi. Kayaknya buru-buru sampai nggak denger pas kusapa."

"Oh, ya? Tapi kenapa nggak bawa mobil?"

Keenan mengendikkan bahu. "Ayo, biar aku yang nganterin ke kampus," ucapnya, kemudian menggandeng tanganku dan menuntunku ke mobilnya.

Keenan membukakan pintu mobil dan memaksaku duduk di kursi penumpang. Ia kemudian berlari kecil mengitari mobil dan duduk di belakang kemudi.

"Pasang sabuk pengamanmu," perintahnya, "Atau mau aku yang pasangkan?" tanyanya saat aku hanya berdiam dan terus menatapnya.

Aku mencebik, kemudian memasang sabuk pengaman sendiri. "Jam berapa kamu liat Kak Nino ninggalin rumah?"

Keenan yang mulai melajukan mobil mengerutkan kening, tampak berpikir. "Sekitar setengah enam kalau nggak salah," jawabnya.

Jadi, Kak Nino sudah pergi saat aku masih di kamar.

"Kenapa? Ada masalah?"

Ada, dan semua itu karena kamu. Kalimat itu tentu hanya ada di kepalaku. Aku justru menggeleng pelan menanggapi pertanyaan Keenan.

Keenan mengangguk, menatapku sejenak, kemudian beralih fokus pada jalanan yang mulai padat di pagi hari ini. "Kamu lagi banyak pikiran, ya?"

"Hah?!" Aku sontak menoleh, menatap Keenan yang sedang menatap lurus ke depan. "Kenapa bilang begitu?"

"Mata nggak bisa bohong, sayang."

Dia benar-benar peka. Aku mengulas senyum, lalu berucap, "Hanya tugas kuliah yang terlalu banyak." Aku berbohong lagi. Maaf.

Keenan mengusap pelan rambutku. "Seandainya aku bisa bantu," selorohnya. Aku bisa merasakan sorot matanya yang turut bersedih.

Aku memegang tangan Keenan. Menggenggamnya erat dengan kedua tanganku. Mengucap maaf berulang kali di dalam hati. Aku sungguh bingung dengan situasi saat ini.

"Kamu mulai berani, ya." Dia kembali menggodaku, sedikit menggerakkan tangannya hingga jemari tangan kami saling bertaut. "Sayang sekali, mulai besok kita bakal jarang ketemu lagi."

The Actor and ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang