Keenan : Aku punya salah, ya?
Helaan napasku dipenuhi rasa bersalah saat membuka pesan dari Keenan. Tiga hari terakhir aku menolak melakukan panggilan telepon ataupun video dengan beragam alasan yang tentu saja kubuat-buat. Membalas pesannya dengan kata dan kalimat singkat ala kadarnya. Bahkan aku juga sampai menolak tiket premier filmnya.
Keenan memang peka, tapi ternyata dia juga butuh beberapa hari untuk bertanya langsung padaku.
Nina : Maaf, ya.
Aku mengetukkan salah satu sudut ponsel di kening. Merasa amat sangat bodoh dengan balasan yang baru saja kukirim. Sekarang aku paham akan rasa bingung bercampur segan untuk mengutaran isi pikiran bahkan pada pacar sekali pun.
Padahal dulu aku sering mencibir temanku yang memilih menyelidiki sendiri informasi tentang kekasih mereka daripada bertanya langsung untuk memperoleh kejelasan. Dan ya, sekarang aku sendiri menghadapi situasi seperti itu. Rasanya benar-benar tidak enak hati untuk bertanya langsung pada Keenan tentang kasus rahasia di masa lalunya.
Keenan : Sebenarnya aku sedang meeting sekarang. Kalau ini selesai, bisa bicara di telepon?
Nina : Lihat nanti, ya. Aku masih ada kelas sampai sore.
Keenan : Oke. Kalau ada masalah cerita sama aku, ya.
Lagi, Keenan sukses membuat rasa bersalahku semakin menggunung. Dia masih sempat memikirkan aku di tengah jadwalnya yang sudah sangat padat. Jemariku sudah bergerak mengetikkan balasan. Tapi, rentetan huruf yang sudah kuketik itu malah kuhapus lagi. Rasanya tidak ada kalimat yang pas untuk membalas pesan Keenan.
Keenan : Aku sayang kamu. Semangat, ya.
Nina : Kamu juga.
Segera kumasukkan ponsel ke dalam tas tepat saat dosen masuk ke kelas. Kucoba menitikkan fokus pada mata kuliah yang akan kuterima.
Hah ... Seharusnya kuturuti pinta Papa untuk fokus kuliah dulu. Urusan perasaan apalagi menjalin hubungan sebaiknya kutepikan saja sebelum lulus.
Mataku memandang lurus pada papan tulis putih yang kini dipenuhi coretan spidol penuh kalimat akan materi ekonomi makro di depan kelas, tapi otakku malah berkelana merangkai dan menyusun rencana agar terbebas dari kebuntuan solusi untuk mendapatkan fakta nyata tentang Keenan. Dan nihil, hasilnya tetap saja buntu.
"Bakteri di otak lo lagi demo?" Lirih kudengar bisikan Mila yang duduk di sampingku.
Aku menoleh menatapnya dengan kening mengkerut. Berharap dia tidak menambah beban pikiranku lagi.
"Gue, sih, nggak masalah kalau hobi baru lo itu nyakitin diri sendiri. Tapi, ngelakuinnya jangan pas kelas Bu Yani juga, Na. Lo mau kita semua kena amuknya karena lo ketahuan nggak konsen pas mata kuliahnya," seloroh Mila panjang, tentu dengan nada bicara yang masih berbisik. Dia juga menarik tangan kananku yang sedang memegang pulpen yang menempel di pelipis.
Astaga, aku bahkan tidak sadar terus mengetukkan pulpen pada pelipisku berulang kali. Satu hal yang sering kulakukan saat sedang berpikir keras. "Thanks, Mil."
Mila mengangkat bahu, cuek. Dia kembali melihat ke depan dan memperhatikan Bu Yani yang masih setia memberi penjelasan.
***
Rumah terasa semakin sepi. Hanya ada aku dan Kak Nita yang lebih sering sibuk dengan ponselnya. Papa dan Mama masih betah di rumah Kak Nisa meski si kembar sudah dinyatakan membaik. Sementara Kak Nino bahkan tidak pernah pulang sejak kami bertengkar tempo hari.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Actor and I
Chick-LitOrang-orang mengenalnya sebagai aktor ternama dengan akting yang memukau. Teman-temanku bahkan terlalu sering membicarakan apa saja tentang dia. Namun, bagiku dia hanyalah salah satu penghuni rumah sebelah yang jarang berinteraksi denganku. Sedangka...