Bab 15 : A Warning

12.2K 953 5
                                    

Menjalani hari dengan status sudah punya pacar ternyata sama saja dengan masa jomloku. Atau ini hanya terjadi padaku? Karena pekerjaan pacarku yang seorang aktor dengan jadwal padat sampai hanya sempat mengirim pesan maksimal tiga setiap harinya. Itupun hanya berisi laporan kalau dia akan mulai syuting dan saat selesai, ditambah bonus pesan ucapan selamat tidur.

Rumah yang bersebalahan bahkan tidak bisa memudahkan kami untuk bertemu. Jadwal Keenan benar-benar menggila. Tapi, dia masih sukses membuatku tersenyum pagi ini dengan pesan puitis untuk memperingati satu bulan kami resmi jadi sepasang kekasih. Astaga, bahkan aku sendiri lupa dengan tanggal istimewa ini.

"Nina sayang, selesai sarapan nanti bawa minuman yang Mama bikin buat Keenan, ya."

Mama sepertinya mulai terbiasa dengan kehadiranku di rumah ini. Padahal sebelumnya nama Kak Nita yang sering disebutnya kalau ada perlu.

"Keenan nggak di rumah, Ma. Dia nggak pulang dari kemarin."

Aku baru akan memasukkan suapan ketiga ketika menyadari ucapanku yang mampu mengundang kecurigaan anggota keluarga yang mendengarnya. Ragu, aku meletakkan sendok dan mengangkat kepala. Benar saja, ada dua pasang mata yang menatapku siap menginterogasi. Mama dan Kak Nino.

"Kamu tahu dari mana kalau Keenan nggak pulang dari kemarin?"

"I-itu ... mobilnya nggak ada."

"Sejak kapan kamu perhatiin garasi tetangga?"

Aku hanya bisa menghela napas. "Kemarin sore pas bantuin Kak Nisa bawa perlengkapan si kembar ke mobil, aku sempat nengok ke rumah sebelah." Beruntungnya kemarin aku membantu Kak Nisa berkemas. Terima kasih otakku yang langsung menampilkan ingatan itu.

"Oh ...."

"Tapi, kalian pernah makan siang bareng, kan?"

"Hah?!" Kak Nita yang kupikir hanya fokus pada gawainya ternyata juga menyimak percakapan kami. "I-iya," jawabku, dengan sedikit perasaan bingung karena Kak Nino memasang tampang tidak suka.

"Kapan?"

"Waktu aku ditinggal sendiri di rumah?" ungkapku dengan muka sinis membalas tatapan Kak Nino. "Kakak pertamaku sibuk mengurus anak kembarnya, kakak keduaku meninggalkanku sendirian karena tidak suka aku dekat-dekat dengan temannya sementara kakak ketiga jauh lebih cinta alam daripada diriku." Aku berucap penuh drama, berharap mereka berhenti bertanya ini dan itu terkait aku dengan Keenan.

Mama hanya terkekeh, lalu melanjutkan makan, membersamai papa yang tampak tidak tertarik dengan dialog pagi di meja makan ini.

"Waktu itu juga sebenarnya nggak makan bareng, tepatnya Keenan yang numpang makan di sini. Apa salahnya memberi makan tetangga yang kelaparan?"

Kak Nita hanya mengendikkan bahu cuek. Aku tidak berani menatap Kak Nino, sungguh setelah ini pasti pertanyaannya jadi bercabang. Dia seperti bodyguard yang siap menerkam semua cowok yang mau dekat denganku. Beruntung lah dia kembali fokus pada roti bakarnya.

Akhirnya aku bisa melanjutkan sarapan dengan tenang. Setelah ini aku harus menjaga sikap dan ucapanku. Setiap anggota keluargaku seperti memancarkan sinyal yang bisa mendeteksi hubunganku dengan Keenan. Aku bukan ingin terus merahasiakan hubungan kami. Hanya saja rasanya masih terlalu cepat untuk mengungkapnya.

"Nanti berangkat ke kampus bareng Kakak, ya."

"Oke."

***

"Jadi, sejak kapan kamu mulai akrab sama Keenan?"

Kak Nino membuka percakapan saat laju mobil terhenti di lampu merah. Aku menoleh, mendapatinya tengah menatapku. Tampak menuntut jawaban dan siap melanjutkan interogasi di meja makan tadi.

The Actor and ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang