Keenan terus diam. Bisa kurasakan suasana hatinya memburuk saat mendapati seseorang yang sedang menunggu giliran berfoto dengannya memotretku tanpa persetujuan. Dia menegur dengan sopan, tapi tegas, karena melihatku reaksiku yang kurang nyaman.
Tadinya aku sedikit kesal karena menganggap menjadi pelampiasan amarah Keenan, tapi setelah dipikir lagi, sepertinya Keenan merasa nyaman untuk menunjukkan isi hatinya yang sebenarnya padaku. Tidak apa-apa, aku bisa menerima itu. Maka kubiarkan dia menuntun langkahku meninggalkan restoran meski dengan raut wajah yang tergores kaku.
Dan di sinilah kami sekarang, terjebak dalam padatnya jalanan akhir pekan. Aku melirik Keenan yang hanya menatap lurus ke arah depan. Kami terburu meninggalkan tempat makan tadi, bahkan sebelum menghabiskan ramen pesanan. Padahal perutku masih ingin diisi.
Astaga ... Bisa-bisanya aku memikirkan makanan di saat seperti ini. Refleks, aku memukul kepalaku sendiri.
"Eh?!"
Keenan menarik tanganku, sebelum pukulan yang ketiga mendarat di keningku. Aku menoleh padanya yang menggenggam erat pergelanganku. Dia masih fokus pada jalanan dengan sebelah tangan yang memegang kemudi.
Keenan tak kunjung mengeluarkan suara. Membuatku memilih berpaling memandang ke luar mobil, mengamati deretan bangunan yang kami lewati. Tapi tunggu ... ini bukan jalan menuju rumah.
"Kita mau ke mana?"
"Entah," jawab Keenan singkat dengan sedikit cengiran. Raut wajah kembali terlihat ramah. Tangannya kini beralih untuk menautkan jemari kami.
"Loh?"
"Aku cuma mau lebih lama berdua sama kamu malam ini," ucapnya, kemudian menatapku singkat sebelum kembali fokus pada jalanan.
"Mau pergi lagi, ya? Kali ini ke mana?"
Keenan mengangguk. "Besok berangkat ke Singapura. Bukan karena kerjaan. Mau nemenin nenek general check up sekalian ketemu sama kerabat yang tinggal di sana."
"Kerabat?"
"Saudara dari ayah sekarang ini lebih banyak yang menetap di sana," jelas Keenan.
"Oh." Sekarang rasanya semakin jauh saja perbedaan level diantara kami.
"Kok melamun? Mau ikut?"
Aku mendengkus tawa mendengar tawaran Keenan, kemudian menggeleng memberi jawaban.
"Kenapa? Aku bantu minta izin deh."
"Nggak usah," tolakku, "Banyak tugas buat minggu ini."
"Yakin banyak tugas?" godanya.
"Ck. Liat ke depan sana," perintahku sembari mengarahkan kepala Keenan untuk fokus ke jalan raya, "Kalau lagi pegang kemudi itu pandangan harus ke depan."
"Oh, ya?" Keenan menepikan mobil, dengan satu alis yang dinaikkan dia menghadapku seolah menantang. "Kalau kayak gini, aku boleh puas dong liatin kamu," godanya lagi.
"Apa, sih ...." Aku berusaha keras mengabaikan tingkah Keenan yang sukses membuat jantungku seketika berpacu lebih cepat.
"Mukamu merah," komentarnya sambil mengangkat daguku agar melihat lurus padanya.
Usahaku untuk menepis tangannya sia-sia saja saat gerakan Keenan lebih cepat mencekal kedua tanganku. Mata kami bertemu dan dia sukses membuatku membeku dengan sorot matanya yang melenakan itu. Aku sadar dia mulai bergerak mendekat. Dan seolah dihipnotis, aku malah menutup mata saat jarak kami semakin menipis, terlebih saat embusan napas Keenan menyapa kulit wajahku.
Satu. Dua. Ti ....
Bibir Keenan terasa begitu lembut saat menempel di bibirku dan tentu saja sukses mengirim gelenyar aneh serupa sengatan listrik di sepanjang pembuluh darahku. Aku menahan napas, tapi tetap menikmatinya. Ini pengalaman pertamaku. Yang bisa kulakukan hanya mencengkeram lengan bajunya, menyalurkan sensasi aneh nan menyenangkan yang memenuhi rongga dadaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Actor and I
ChickLitOrang-orang mengenalnya sebagai aktor ternama dengan akting yang memukau. Teman-temanku bahkan terlalu sering membicarakan apa saja tentang dia. Namun, bagiku dia hanyalah salah satu penghuni rumah sebelah yang jarang berinteraksi denganku. Sedangka...