"Kak Nita!"
Aku benar-benar tidak sabaran setelah kalimat terakhir Kak Nita. Bisa kusadari ekspresi wajahnya yang tampak menyesali ucapannya sendiri. Biasanya aku akan berhenti untuk mencari tahu jika tampangnya sudah seperti itu, tapi kali ini aku tidak akan membiarkannya lolos. Rasa penasaranku harus tuntas saat ini juga.
Kak Nita menghela napas. Dengan gerakan pelan, dia menoleh dan menatapku penuh makna. "Janji jangan bilang ke siapa pun tentang ini, ya."
Aku mengangguk cepat menanggapi.
"Jangan laporin juga kalau kamu tahunya dari Kakak. Oke?"
"Iya, Kak. Memangnya apa, sih?"
"Keenan pernah ditemukan dalam kondisi overdosis narkoba di rumahnya."
"Hah?!" Kalimat Kak Nita layaknya suara lonceng besar yang dipukul bertalu tepat di dekat telingaku. "Ke-Keenan pakai narkoba?" Aku mengulang, mencoba memastikan kebenaran pendengaranku.
Dan anggukan kepala Kak Nita sukses membuatku membeku. Aku menelan ludah yang tiba-tiba terasa begitu mengganjal di kerongkongan. Bagaimana bisa orang yang tampak selalu ceria dan mudah bergaul seperti Keenan tersangkut dengan penggunaan obat terlarang itu? Dia juga tidak pernah cerita atau bahkan menyinggung tentang perkara ini padaku.
"Sebenarnya kita semua yang tahu ini sudah saling janji buat nyimpan cerita ini. Tapi, aku baru tahu kalau kamu bertengkar hebat sama Kak Nino karena dilarang pacaran sama Keenan jad--"
"Sebentar, 'kita semua' itu siapa aja?"
"Orang tua Keenan, papa, mama, Kak Nino sama aku. Bahkan manajernya Keenan juga nggak tahu kejadian itu. Entah dia sudah tahu atau enggak saat ini kalau Keenan pakai barang haram itu. Yang jelas, kejadian pas Keenan sekarat itu adalah rahasia di antara kami saja.
"Mama juga sampai harus bohong sama temannya yang dokter. Waktu itu, karena Keenan nggak langsung dibawa ke rumah sakit, mama memutuskan menelepon temannya. Menyebut kalau Kak Nino yang sedang overdosis, dan minta tolong dibimbing untuk memberi pertolongan pertama. Baru beberapa hari setelahnya, dokter keluarga Keenan dipanggil untuk memeriksa kondisinya."
Kepalaku seketika pening. Banyak tanya yang tiba-tiba muncul. Separah apa situasi Keenan sampai tersesat dan menjadi pengguna narkoba? Bagaimana caranya mama--yang hanya pernah menjadi seorang apoteker, memberi perawatan dengan bimbingan dokter hanya lewat sambungan telepon?
"Waktu itu nama Keenan baru mulai dikenal. Dia juga baru saja dapat kontrak jadi brand ambassador salah satu brand terkenal," buka Kak Nita, seolah paham dengan tanya yang kini menyesakkan kepalaku. Dia mengambil jeda untuk menghela napas, kemudian melanjutkan,
"Tante Ana yang pertama kali menemukan Keenan di kamarnya. Waktu itu papanya Keenan masih di luar kota, jadi dia yang panik langsung minta bantuan ke rumah kita. Papa sudah inisiatif untuk segera bawa Keenan ke rumah sakit. Tapi mengingat status Keenan saat itu, mereka sepakat untuk memberi pertolongan pertama saja dan Keenan dirawat sementara di rumah.
"Kami yang terlibat dan tahu kejadian hari itu sepakat untuk merahasiakannya. Menganggap peristiwa menegangkan itu tidak pernah terjadi. Awalnya saat sudah kembali beraktifitas, Keenan masih canggung dan sedikit menjaga jarak. Tapi karena kami tidak pernah mengungkitnya sama sekali, dia mulai nyaman dan berinteraksi lebih akrab lagi. Yah, seperti yang bisa kamu lihat sekarang. Tapi sejak kejadian itu, mama sama papa mulai memberi perhatian lebih sama Keenan."
Ah, sekarang semua tanya akan perhatian berlebihan dari orang tuaku pada Keenan terjawab sudah. "Kapan itu terjadi?"
"Dua atau tiga tahun yang lalu. Entahlah. Seperti kesepakatan bersama, aku hanya mencoba melupakan semua yang terjadi hari itu. Detail waktunya tidak kuingat lagi. Tapi, setiap momen kepanikan saat itu masih terasa jelas sampai sekarang."
"Apa sampai sekarang Keenan masih pakai barang haram itu?"
Kak Nita mengendikkan bahu. "Entah. Sebenarnya aku juga sudah masa bodoh sama perkara ini. Sampai Kak Nino cerita kalau kalian habis bertengkar hebat."
Aku tidak menanggapi lagi. Rasa bersalah pada Kak Nino turut memenuhi pikiranku. Kak Nino benar, aku belum mengenal Keenan dengan baik. Hanya terjebak menjadi manusia bucin yang nekat melawan saudara sendiri.
"Na," pantau Kak Nita. "Kak Nino itu sayang banget sama kamu. Dia nggak mau kamu terlibat sama lingkup pergaulan Keenan."
"Tapi, itu kan masa lalu. Bisa saja sekarang Keenan sudah berhenti." Rasanya aku ingin memaki diri sendiri karena masih bertahan untuk memihak dan membela Keenan.
Bisa kudengar Kak Nita menghela napas kasar. "Kami memang dilarang mengungkit kejadian saat Keenan overdosis. Tapi, aku sama Kak Nino yang terlalu penasaran saat itu mencoba mencari tahu alasan Keenan sampai bisa terlibat sama narkoba."
Aku kembali memusatkan perhatian pada Kak Nita yang kini menatapku prihatin.
"Kami juga belum yakin apa ini adalah alasan utamanya. Yang kami temukan dan duga waktu itu adalah Keenan hanya sedang stress dan kelelahan dengan jadwalnya yang mulai padat. Ditambah lagi dia juga baru diputuskan sama pacarnya yang masih merintis karier jadi model saat itu.
"Arabella Adonia. Kamu bisa cari sendiri berita tentang mereka. Dulu Keenan lumayan terbuka tentang hubungannya. Semuanya terlihat baik. Tapi, saat aku memeriksa akun media sosial Arabella, ternyata banyak komentar negatif yang menganggapnya pansos sama Keenan dan menuntut mereka untuk segera putus."
Aku hanya bisa diam. Menunggu Kak Nita melanjutkan setiap kisah yang dia tahu tentang Keenan.
"Keenan memang bisa saja sembuh dan akhirnya berhenti pakai narkoba. Tapi, bukan itu yang jadi fokus Kak Nino. Dia cuma khawatir kalau kamu dapat perlakukan yang sama seperti Arabella. Dihujat hanya karena jadi pacar seorang Keenan Byantara. Terlebih sekarang ini Keenan sudah punya lebih banyak penggemar dibanding waktu pacaran sama Arabella.
"Jujur kakak sendiri bebasin kamu, sih. Kamu sudah dewasa, bisa bikin keputusan sendiri. Semua terserah sama kamu. Kakak cuma bisa kasih bahan pertimbangan saja. Foto sama Keenan di akun gosip kemaren saja sudah bikin kamu uring-uringan. Yakin masih mau lanjut? Ingat juga sama resikonya. Sekarang ini memang masih aman, tapi cepat atau lambat hubungan kalian berdua bakal terungkap juga."
Aku mengangguk lemah. Sepenuhnya menerima saran dari Kak Nita. Tidak akan kuulang lagi sifat badung seperti saat berhadapan dengan Kak Nino tempo hari. Ah, sial, aku benar-benar tidak sopan saat itu. "Makasih, Kak," lirihku.
Kak Nita mengangguk, seulas senyum dia berikan. Tampak sedikit menenangkan untukku. "Masih mau turun dan mengejar kelas Pak Gun?"
Aku mengangkat kepala, melihat ke jendela luar. Ya, kami masih di dalam mobil yang terparkir tak jauh dari gedung fakultasku. Entah lah, rasanya sudah tidak ada semangat untuk menimba ilmu lagi setelah mendengar fakta yang baru saja diungkap Kak Nita.
"Na?"
"Masih ada mata kuliah setelah Pak Gun. Aku pamit, Kak."
"Oke. Hati-hati, ya."
"Hmm ...."
Aku membuka pintu mobil dan berjalan lemah meninggalkan Kak Nita. Pikiranku saat ini rasanya sudah seperti benang kusut, sedang mencoba mengurainya malah terasa semakin kacau.
Aku sungguh sangat lah naif. Entah bagian mana kini yang mendominasi otak sok polosku. Keenan yang masih menyembunyikan fakta tentang masa lalunya dariku atau tentang satu tekanan besar yang akan kuhadapi jika memilih bertahan bersama Keenan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
The Actor and I
ChickLitOrang-orang mengenalnya sebagai aktor ternama dengan akting yang memukau. Teman-temanku bahkan terlalu sering membicarakan apa saja tentang dia. Namun, bagiku dia hanyalah salah satu penghuni rumah sebelah yang jarang berinteraksi denganku. Sedangka...