Bab 11 : Something Weird

13.4K 1K 5
                                    

"Saya mau, kok, jadi pacar pertama kamu. Hubungi saya kapan saja kalau kamu sudah siap."

Hari sudah berganti sejak satu jam yang lalu. Artinya sudah delapan jam kalimat yang Keenan ucapkan saat kami mencuci piring bersama terus terulang seperti kaset rusak di pikiranku.

Aku bahkan lupa sudah melakukan apa saja disisa hari setelah kejadian itu. Aku merasa baru tersadar saat mendapati diri kini hanya berbaring di tempat tidur, menatap lurus langit-langit kamar yang seolah menjadi proyektor dan menampilkan adegan saat Keenan mengucapkan kalimatnya itu.

Jika ini hanya tentang ucapannya saja, aku mungkin bereaksi santai dan menganggapnya sekadar guyonan. Bahkan bisa saja membalasnya dengan lelucon senada. Tapi, ekspresi wajahnya yang tegas menatap lurus mataku dengan sungguh-sungguh sukses membuatku terganggu. Ada keseriusan yang coba Keenan sampaikan lewat sorot mata yang tajam, tapi lembut itu.

Sel pemikir otakku rasanya terbagi dua sisi. Satu sisi ingin mempertimbangkan tawaran Keenan untuk menjalin hubungan. Tapi sisi lainnya seolah dengan lantang menyuarakan hal yang paling logis yang bisa diterima akal sehatku. APA YANG DILIHAT KEENAN DARI DIRIKU HINGGA MEMBUATNYA MENGAJAKKU UNTUK PACARAN?!

Aku sama sekali tidak insecure dengan kondisiku. Maksudku, Keenan itu orang terkenal. Fansnya banyak. Dia sering juga dikelilingi oleh cewek-cewek good looking, bahkan diantaranya banyak artis papan atas. Tapi, atas dasar apa dia mengatakan kalimat itu bahkan hanya dalam beberapa minggu kami baru mulai akrab dan intens bertemu? Tidakkah rasanya terlalu tiba-tiba dan sulit diterima?

Rasanya wajar jika aku menaruh curiga. Takutnya aku hanyalah dijadikan objek eksperimennya untuk mendalami satu karakter yang akan dia perankan. Tapi, ketika aku mulai menerima kesimpulan bahwa Keenan hanya main-main saja. Sorot mata tegasnya kembali tercetak jelas dalam ingatan.

Aarrgghh ... Aku bisa gila memikirkan ini semua.

***

Jam 7 pagi aku baru melangkah meninggalkan kamar. Sebenarnya aku sudah terjaga sejak subuh. Tapi, waktuku kembali tersita hanya demi merenungkan ucapan Keenan. Lagi.

Aku bahkan lupa jam berapa akhirnya aku berhasil terlelap dan sempat melupakan kejadian kemarin. Dasar Keenan, setidaknya dia memberi penjelasan atau kalimat tambahan setelah ucapannya yang tiba-tiba itu.

"Pagi, Na, tumben telat bangun."

Kak Rian menyambut saat aku menapaki tangga terbawah. Dia tampak sudah rapi dengan setelan kantornya.

"Si kembar mana, Kak?"

"Di halaman depan. Lagi dijemur sama mamanya."

Aku sedikit tergelak mendengar pilihan kata Kak Rian yang terkesan menyamakan buah hatinya dengan cucian.

"Berangkat, ya, Na. Kalau sempat, bantuin Nisa buat jagain si kembar, ya."

Aku mengacungkan jempol. "Sip, Kak. Asal ada camilannya," candaku sambil mengedipkan mata.

"Dasar si tukang pamrih. Ayo, sarapan dulu."

Kak Nino yang baru muncul langsung menempatkan leherku di ketiaknya dan menyeret langkahku menuju dapur. Aku hanya bisa pasrah. Tenagaku tidak ada nilainya dibanding dia yang sering main ke gym di akhir pekan.

"Makan dulu sana. Masih pagi sudah malak kakak ipar saja," perintahnya saat kami berdiri di depan meja makan.

"Baik, Kakakku sayang," ucapku dengan nada bicara paling manis yang bisa kulakukan. Tanganku dengan cepat meraih roti bakar yang tersisa di atas meja.

The Actor and ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang