Kurang 13 menit menuju jam 10.00, mobil yang dikendarai Kak Nino akhirnya terparkir di halaman rumah. Sebenarnya kami pulang dari studio saat petang, tapi singgah dulu di rumah Kak Nisa menjemput papa dan sekalian numpang makan malam. Aku yang membuat waktu singgah semakin lama karena memilih bermain dulu dengan keponakan kembarku dan merasa enggan meninggalkan mereka meski keduanya sudah terlelap.
"Besok mau ikut ke studio lagi, Na?" Papa bertanya saat aku memutar kunci pintu depan.
"Tergantung, Pa. Kalau yang punya tempat kasih izin." Aku melirik Kak Nino penuh harap.
"Nggak!" tegas Kak Nino, lalu mendahuluiku melangkah masuk ke rumah. "Nina, tuh, Pa. Suka caper sama Andra. Sudah dikasih tahu kalau Andra mau nikah juga."
"Andra? Yang sering main ke sini?"
Aku yang masuk paling terakhir dan baru saja mengunci pintu sontak berbalik. "Kak Andra sering datang ke sini, Pa?!"
Papa mengangguk sambil melepas sepatu. "Memangnya kenapa?"
"Tuh, Pa. Nina mulai genit sama cowok."
"Apa, sih, Kak? Nggak jelas banget."
"Wah, anak Papa sudah besar ternyata." Papa terkekeh sambil memukul pelan kepalaku. "Awas, ya, jangan sampai kebablasan mainnya."
"Tenang aja, Pa. Nina tahu aturan kok." Aku mengedipkan mata membalas ucapan papa.
"Ya, sudah. Kalian istirahat sana. Jangan begadang lagi," perintah papa, kemudian meneruskan langkah menuju kamarnya.
Aku juga mengambil langkah menuju kamar. Bersiap menjatuhkan diri di atas kasurku yang empuk. Meninggalkan Kak Nino yang tampak sibuk dengan ponselnya.
Baru saja selesai ganti baju, ponselku menerima pesan beruntun. Dasar teman-teman asramaku, mereka masih saja hobi membuat kerusuhan pada obrolan grup menjelang tengah malam. Segera aku meraih ponsel, kemudian rebahan di atas pembaringan.
"Eh? Keenan?"
Keenan : Kamu bareng Nino, kan?
Keenan : Kok belum dibaca?
Keenan : Sudah tidur, ya?
Keningku mengkerut membaca pesan dari Keenan. Tanganku reflek menggulir layar ke atas, membaca semua pesan yang sudah kuterima darinya. Ingatanku juga memutar kembali percakapan saat kami bicara melalui ponsel. Sebenarnya, apa maksud dari semua tindakan Keenan?
Keenan : Cuma dibaca, nih?
Satu pesan lagi masuk. Aku menggeleng dan menepis semua prasangka, lalu mengetik balasan.
Nina : Ada apa?
Keenan : Boleh saya telepon.
Nina : Maaf, aku sudah mengantuk. Ada apa?
Keenan : Ya, sudah. Selamat tidur, ya.
Mataku terus saja menyorot pesan terakhir Keenan. Apa dia sedang mendalami peran untuk pedekate dengan anak yang baru keluar asrama dan dikiranya kurang pergaulan? Entahlah. Aku mematikan ponsel dan merilekskan badan agar bisa terlelap lebih cepat. Biarlah Keenan hidup dengan urusannya sendiri.
***
Hari yang membosankan. Kak Nino benar-benar meninggalkan aku sendirian di rumah. Pagi tadi dia mengantarkan papa ke kantor dan tidak kembali lagi. Sekarang belum setengah hari, tapi rasanya sudah sekian tahun saja. Yang kulakukan sejak tadi hanyalah mondar-mandir tidak jelas sambil bermain ponsel.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Actor and I
Chick-LitOrang-orang mengenalnya sebagai aktor ternama dengan akting yang memukau. Teman-temanku bahkan terlalu sering membicarakan apa saja tentang dia. Namun, bagiku dia hanyalah salah satu penghuni rumah sebelah yang jarang berinteraksi denganku. Sedangka...