Semester baru. Harusnya ditambah kata 'semangat baru' sebagai pelengkap. Sayangnya, belum satu jam aku duduk di kantin kampus bersama teman-teman satu lantai asramaku dulu, semangat itu sudah menguap menghilang begitu saja. Bukan pasal capaian SKS semester lalu yang tidak sesuai harapan, tapi karena kabar dari Mila—fans garis keras Keenan, yang baru saja muncul dengan memamerkan story artis idolanya itu.
Aku mulai pening melihat tingkah Mila. Dia bahkan memamerkan screenchoot notifikasi saat Keenan menyukai storynya. Maksudku, kami semua sudah tahu saat dia mengumumkan hal yang sama di grup chat saat liburan kemarin.
Hidupku rasanya sudah aman dan sentosa sejak terkahir bertemu Keenan yang sukses mengacaukan pikiranku sekitar dua minggu lalu. Terlalu senang menghabiskan waktu dengan si kembar selama rentang waktu itu bahkan membuatku tidak sadar jika Keenan benar-benar tidak pernah menampakkan diri di sekitaku setelahnya.
Dan ingatan akan peristiwa itu serta merta terputar otomatis saat Mila menunjukkan tawa renyah Keenan di lokasi pengambilan gambar series terbarunya. Bisa-bisanya dia seceria itu setelah sukses mengusik ketenangan pikiranku dengan kalimat dan tindakan manisnya yang tiba-tiba. Ah, sial. Kenapa pula dadaku harus berdebar demi mengingat semua perlakuannya hari itu?
"Lo kenapa, Na?"
Sikutan Nara di pinggangku seolah menarik jiwaku kembali untuk mendengar celotehan antusias Mila yang ditanggapi Diyah dengan tak kalah hebohnya. Apa jadinya kalau mereka berdua tahu kalau Keenan adalah tetanggaku? Bisa repot aku direcoki terus.
"Bosan gue dengerin mereka bahas Keenan terus."
Suaraku yang kuanggap lirih ternyata mampu mencapai indera pendengaran Mila. Dia menoleh dan menatapku sinis.
"Lo belum ngerasain, sih, Na. Dinotis artis terkenal itu seperti apa. Lo iri, kan?"
Aku hanya bisa tertawa hambar. Rasanya mau pamer saja kalau aku bahkan sudah punya nomor ponsel idola mereka itu.
"Iya, iya. Gue kalah," ucapku, malas memperpanjang perdebatan.
Mila dan Diyah langsung high five mendengar kalimat kalahku. Sementara Nara hanya bisa menggeleng melihat kami, statusnya sebagai mahasiswi psikologi layaknya seorang pengamat dalam grup dan menjadikan kami objek penelitian.
"Eh, Uty, kok, belum muncul?"
"Ya, elah, Na. Anak kedokteran kayak dia mana ada, sih, waktu leha-leha di pagi hari kayak kita?" seloroh Diyah, kemudian bangkit sambil menenteng tabung gambarnya. "Gue duluan, ya. Bentar lagi kelas bakal mulai."
"Eh, gue ikut, Yah. Gedung fakultas kita kan deketan. Gak enak jalan sendiri." Nara ikut bangkit dan bergegas menyusul Diyah. "Dah ...." Pamitnya dengan lambaian tangan.
Tersisa aku dan Mila yang saling pandang di meja. Kami satu kelas di jurusan manajemen. Dan perkuliahan baru akan dimulai dua jam lagi.
"Apa?!" tanyaku pada Mila yang terus menatap sambil melipat tangan.
"Gue masih boleh curiga sama lo nggak, sih?"
Keningku tentunya mengkerut mendengar pertanyaan Mila. Susah sekali memahami kalimatnya hanya dalam sekali dengar.
Mila mengendikkan bahu. "Cardigan yang lo pake sekarang bikin gue ingat sama foto idola gue di akun lambe."
Sial.
"Foto itu masih ada di hape gue loh."
"Males, Mil, bahas itu lagi."
"Tapi gue enggak, Na."
"Iya," tegasku, "Itu gue."
Tawa Mila akhirnya meledak. Sesuai tebakanku, dia tidak akan percaya sama sekali jika cewek yang tertangkap kamera bersama idolanya itu adalah aku. Dia hanya suka menggoda dan membuatku kesal saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Actor and I
ChickLitOrang-orang mengenalnya sebagai aktor ternama dengan akting yang memukau. Teman-temanku bahkan terlalu sering membicarakan apa saja tentang dia. Namun, bagiku dia hanyalah salah satu penghuni rumah sebelah yang jarang berinteraksi denganku. Sedangka...