Sedikit demi sedikit aku merasa sudah bisa menerima kenyataan jika dia hanyalah bagian dari masa lalu. Dan saat ini aku sedang dalam proses upaya menghapus sakit hati akan caranya mengakhiri hubungan kami.
Akan mudah melupakan mantan jika sosoknya bukanlah seorang pesohor terkenal. Upayaku yang berusaha mengabaikan eksistensinya dalam hidupku di masa lalu terasa sia-sia saat mendapati senyum menawannya dalam iklan yang secara tiba-tiba muncul dan tidak bisa kulewatkan ketika sedang bermain internet.
Aku hanya bisa menghela napas berat memikirkan hati dan pikiranku yang tidak bisa sejalan akhir-akhir ini dibuatnya.
"Hei, kamu Nana, kan? Adiknya Nita."
Aku mengangkat kepala--dari perenungan konyol itu, melihat ke arah dua orang yang menghampiriku, kemudian mengangguk sambil mengulum senyum. Kak Nita sepertinya terlalu malas memberikan penjelasan pada teman-temannya kalau mereka salah paham jika panggilan 'Na' yang pernah mereka dengar adalah singkatan dari Nina, bukan Nana.
"Loh, Nita ke mana?" Salah satu dari mereka--kalau tidak salah ingat namanya Dian bertanya setelah mengintip ke dalam ruang rawat yang kosong.
"Sedang konsultasi di bagian fisioterapi, Kak," jawabku, "Tunggu di sini aja." Aku menawarkan, meski sebenarnya berharap mereka menolak. Aku masih merasa canggung jika harus menghadapi keduanya karena baru beberapa kali bertemu.
Ah, iya. Sekarang ini aku sedang di rumah sakit. Kak Nita mengalami kecelakaan saat mendaki Gunung Semeru minggu lalu. Awalnya kukira dia hanya menderita cedera ringan atau sekadar terkilir, tapi saat melihat dia harus memakai kursi roda dengan tangan kiri yang dibantu arm sling, aku turut panik sekaligus khawatir. Tidak heran ketua rombongannya meminta Papa dan Mama menyusul ke Malang secepat mungkin segera setelah menerima kabar itu.
"Nita udah mulai baikan, kan?" tanya yang satu lagi, Asri namanya.
Aku mengangguk pelan. "Nyeri di bahu sudah mulai berkurang saat bergerak katanya."
"Untunglah. Tau, nggak? Mungkin saking paniknya kalau udah dekat sama kematian, Nita terus minta maaf sama gue. Tiba-tiba bikin pengakuan dosa. Segala hal iseng yang pernah dia lakuin sama gue langsung dia ungkap semua. Padahal kesadarannya hampir hilang waktu itu." Dian bercerita
"Kelakuannya itu justru bikin kita makin panik, Na," tambah Asri.
Aku menahan senyum mendengar penuturan keduanya. Kak Nita juga minta maaf padaku saat pertama kali menemaninya di ruang rawat. Membuat pengakuan jika saat melakukan panggilan video bersama dia tempo hari, Kak Nita iseng mengaktifkan kamera belakang. Yang artinya, sepanjang perbincangan mereka, hanya penampakanku yang tampil di layar ponselnya.
"Eh, kamu juga sering ketemu Keenan, dong?"
Aku hampir mendengus jengkel saat mendengar nama itu disebut lagi. Berusaha keras mengendalikan emosi, aku mengulas senyum dengan anggukan kecil.
"Kenal pacarnya juga?" tanya Dian dengan nada antusias.
"Nita enggak mau kasih bocoran muka pacarnya Keenan, nih. Kamu punya fotonya?" Asri menimpali.
Aku seperti orang tersedak, tiba-tiba terbatuk mendengar pertanyaan beruntun itu. Dalam hati bersyukur mereka tidak tahu nama asliku.
"Gue udah stalking medsosnya, tapi dia ga pernah upload foto. Keenan juga jarang banget post foto pacarnya. Kalau pun ada, mentok potret tampak belakang atau tangannya aja."
"Eh, sekarang mereka udah putus, kan?"
"Begitulah," jawabku dengan cengiran yang terasa aneh.
"Penasaran banget sama pacar, eh, sekarang mantannya Keenan, ya. Kerasa banget ga, sih? Keenan tuh kaya bucin banget dulunya."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Actor and I
ChickLitOrang-orang mengenalnya sebagai aktor ternama dengan akting yang memukau. Teman-temanku bahkan terlalu sering membicarakan apa saja tentang dia. Namun, bagiku dia hanyalah salah satu penghuni rumah sebelah yang jarang berinteraksi denganku. Sedangka...