Aku melambaikan tangan membalas papa yang pamit untuk berangkat kerja menggunakan taksi online. Keluarga kami hanya punya satu mobil yang sekarang ini selalu dipakai Kak Nino. Hadirnya mobil itu juga sedikit unik.
Akhir tahun lalu saat Kak Nino mulai sibuk dengan pekerjaan di studio fotonya, papa dengan enteng berucap akan membelikan mobil baru untuk Kak Nino, mengingat sejak kecelakaan bersamaku dia masih enggan mengendarai motor. Dalam pikiran kami-mama dan aku bersaudara-akan ada dua mobil di rumah ini. Tapi ternyata papa malah menjual mobilnya dan membeli yang baru sesuai pilihan Kak Nino.
"Papa nggak punya uang sebanyak tetangga kita," jawabnya santai kala kami mempertanyakan keputusannya. "Nino lebih butuh kendaraan sekarang ini. Toh, akhir tahun depan Papa bakal pensiun juga."
Dasar papa, sekarang malah dia yang kewalahan kalau harus bepergian.
Aku kembali ke dalam rumah dan berniat melanjutkan kegiatan beberes. Tapi, mendapati Kak Nino tengah menikmati roti bakar buatanku dengan tampang kusut membuatku memilih ikut duduk di meja makan bersamanya.
"Papa sudah berangkat?"
Aku mengangguk. "Pesan taksi online. Kakak, sih, bangunnya telat. Untung taksinya cepat datang."
"Harusnya aku belajar bawa motor lagi," selorohnya sambil menggaruk punggung. "Kasihan papa harus terganggu kalau situasi begini."
Aku menatapnya iba. Lima tahun berlalu, tapi bayang-bayang kecelakaan kami nyatanya masih enggan beranjak dari pikiran Kak Nino.
"Kamu yakin mau tinggal di rumah sendirian?" Suara Kak Nino masih terdengar serak, terlihat sekali kalau dia masih mengantuk.
"Habisnya mau ke mana lagi? Kakak juga nggak pernah kasih izin kalau aku mau ikut ke studio, kan?"
"Mandi sana. Satu jam lagi kita berangkat."
"Hah?! Serius, Kak? Wah ... dalam rangka apa nih?"
Kak Nino bertolak pinggang menatapku. "Ya, sudah kalau nggak mau ikut," ucapnya, kemudian berbalik dan mengambil langkah ke kamarnya.
"Aku mau!" seruku dan bergegas ke kamar untuk mandi dan bersiap-siap. Sejak studio foto itu selesai, Kak Nino selalu melarangku untuk ke sana. Bahkan dia meminta pada penghuni rumah untuk merahasiakan alam6atnya. Dan tiba-tiba saja hari ini dia sendiri yang mengajakku untuk berkunjung. Kesempatan langka ini harus digunakan sebaik mungkin.
***
Kak Nino memacu mobil dengan kecepatan sedang. Aku bersandar bosan pada kursi penumpang di sampingnya. Kalau aku adalah satu-satunya penumpangnya, dia selalu saja seperti itu. Padahal dari cerita Kak Nita, saudara cowokku satu-satunya ini bahkan pernah melajukan mobil dengan kecepatan hampir 100 km/jam saat mereka jalan berdua saja.
"Loh, yang di depan itu Kak Andra?"
Aku bergerak antusias saat mobil mulai memasuki pekarangan studio. Fokusku langsung tertuju pada sosok yang sedang sibuk mengatur beberapa barang di depan sana. Kak Andra, teman kakakku yang dulu sering main ke rumah. Kehadirannya selalu sukses membuatku senyum-senyum sendiri kala itu.
"Mulai deh." Kak Nino memukul pelan kepalaku. "Andra sudah punya tunangan. Jangan macam-macam sama dia. Kalau renovasi studio selesai, dia orang pertama yang mau pre wedding di sini," jelasnya, "Turun sana, ada barang yang mau di bawa masuk di bagasi."
Aku hanya bisa menuruti perintah. Jadi, ini tujuannya mengajakku ke studio. Kak Nino butuh tenaga ekstra gratisan untuk membantunya. Dasar.
"Eh, Nina, kan? Astaga ... lama banget nggak ketemu. Kamu sudah gede, ya, sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Actor and I
ChickLitOrang-orang mengenalnya sebagai aktor ternama dengan akting yang memukau. Teman-temanku bahkan terlalu sering membicarakan apa saja tentang dia. Namun, bagiku dia hanyalah salah satu penghuni rumah sebelah yang jarang berinteraksi denganku. Sedangka...