Keenan berubah. Hanya itu yang bisa kusimpulkan. Sejak tahu kalau aku sering mendapat pesan kebencian dari penggemarnya, dia semakin rajin memeriksa ponselku. Kini setiap kami bertemu, hal pertama yang dilakukannya adalah mengambil ponsel ditanganku, tanpa memberi sapaan hangat nan ramah lebih dahulu seperti yang selalu dia lakukan sebelumnya.
Pernah satu kali aku sengaja meninggalkan ponsel di kamar. Kupikir Keenan akan memaklumi, tapi ternyata dia dengan nada dan kalimat tidak senang malah menyuruhku mengambil dan membawakan padanya untuk diperiksa langsung.
"Kamu juga bebas, kok, cek isi hapeku," balasnya, saat aku menyatakan protes akan kebiasaan barunya itu.
Aku hanya mendengus, menunjukkan rasa jengkelku.
"Jadi, kapan acaranya Nino?" tanyanya, tanpa memberi reaksi pada keluhku, dan dengan santai menyimpan ponselku di atas meja.
"Tiga bulan lagi," jawabku, berusaha menekan rasa kesal karena dia dengan mudahnya mengubah haluan pembicaraan.
"Oh, syukur lah. Semoga nanti enggak bentrok sama jadwalku, ya," harapnya, tangannya dengan lembut mengusap kepalaku. "Oh, ya, lusa aku mulai syuting di luar kota."
Untuk pertama kalinya aku justru merasa senang akan berpisah dengan Keenan. "Berapa lama?"
"Hampir dua bulan kayaknya," jawabnya, wajahnya menyiratkan rasa tidak senang.
Aku hanya mengangguk. "Semoga lancar, ya."
Keenan menggeser posisi duduknya, menjadi lebih menempel padaku. Aku bahkan bisa mencium bau asap rokok yang menguar bersama wangi parfum mahalnya.
"Kamu lagi PMS, ya?"
"Apa, sih?" Aku tidak bisa menyembunyikan rasa jengah karena pilihan pertanyaannya yang tiba-tiba.
"Tuh, kan? Dari tadi kamu sensi terus, muka juga ditekuk mulu," selorohnya, kemudian kembali meraih ponselku yang memang berdering lagi.
Dengan sigap aku merebut gawaiku yang sudah ada di tangan Keenan. "Bisa, enggak, kamu berhenti ngelakuin ini?!"
Ada raut terkejut dari wajah Keenan saat aku mengucapkan kalimatku tadi. Kulihat dia mengatur ritme napas sebelum membuka mulut.
"Aku punya Kak Adi yang dengan sukarela membersihkan pesan dan komentar enggak baik di akunku. Dan sekarang kamu punya aku yang akan melakukan hal itu," jelasnya, kemudian berusaha mendapatkan kembali ponselku.
"Aku bisa ngelakuinnya sendiri," bantahku, dan tetap mempertahankan ponsel.
"Sayang," ucap Keenan dengan ekspresi yang tampak menahan geram dari sudut pandanganku, "Kamu dapat semua pesan yang enggak baik itu karena aku. Ini cuma bentuk tanggung jawab aku, kok."
Aku menggeleng tegas. "Tapi aku enggak suka. Enggak nyaman. Harus gimana lagi, sih, jelasinnya?"
"Ayo lah, kamu enggak usah panjang-panjangin masalah ini dong."
"Aku juga enggak bakal protes begini kalau kamu enggak ngelewatin batas."
Keenan diam, hanya terus menatapku intens dengan ekspresi menuntut.
"Sebelum kita pacaran, aku udah tahu dan sadar kalau kamu itu orang terkenal. Aku paham saat jadi pacar kamu bakalan ada yang enggak suka sama aku. Bakal ada yang bandingin aku sama lawan main atau bahkan mantan kamu. Dan aku jelas udah siap sama semua resiko itu.
"Jadi, please, berhenti buat periksa-periksa ponsel aku lagi. Aku enggak suka. Ponsel ini privasi buat aku. Aku merasa enggak nyaman kalau ada yang ngutak-ngatik ponselku tanpa izin."
"Kamu enggak bisa kasih izin buat aku? Aku ini pacar kamu," tegas Keenan.
"Iya, kita pacaran. Itu jelas. Tapi enggak berarti kamu bebas melanggar privasiku dong?"
"Melanggar privasi?!" Emosi Keenan tampak mulai meninggi. "Jadi, kamu anggap perhatian dan bentuk tanggung jawabku ini melanggar privasi kamu, begitu?"
"Keenan, aku akan dengan senang hati memberi jawaban jujur kalau kamu tanya apapun. Apapun itu," jelasku penuh penekanan pada dua kata terakhir. "Tapi kalau harus memeriksa langsung ponselku, jujur itu mengganggu," tambahku dengan nada bicara yang kuatur agar tidak memberi kesan marah.
"Mengganggu bagaimana?" Keenan tersenyum miring. "Bagian mananya, sih? Aku ngelakuin itu semua juga pas sama kamu, kan? Di depan kamu. Kamu sendiri juga liat semuanya, kan? Aku cuma liat dm-dm kamu aja.
"Atau ada hal lain yang kamu sembunyiin dari aku lagi? Perkara gangguan di medsos kamu aja, kalau enggak ketahuan, kamu enggak bakal bilang sama aku, kan?!"
"Kamu enggak percaya sama aku?!"
"Loh? Kelakuan kamu sendiri yang bikin aku curiga. Apa salahnya, sih, ngecek hape pasangan? Kamunya aja yang terlalu berlebihan nanggepin perhatian aku ini."
Aku memilih diam. Menanggapi ucapan Keenan hanya akan membuat percakapan ini terus berputar pada titik masalah yang sama.
"Nih, hapeku," ucapnya menyodorkan ponsel miliknya. "Aku enggak pernah kasih larangan atau batasan buat kamu periksa isinya. Silakan buka sendiri semua obrolannya. Kamu bebas liat isi galeriku. Semuanya, deh. Impas, kan?"
Aku menghela napas. Merasa bingung harus menjelaskan seperti apa lagi agar Keenan mengerti titik masalahnya. Aku hanya ingin dia berhenti mengutak-atik ponselku. Berharap kami saling menghargai privasi masing-masing. Hanya itu.
"Iya, aku salah enggak ngomong langsung waktu dapat pesan-pesan yang mengganggu itu," lirihku, "Tapi serius, enggak ada yang aku sembunyiin lagi dari kamu. Aku cuma enggak suka sama cara kamu. Kita bisa diskusiin baik-baik, kan? Please, ngertiin aku kalau aku enggak suka hapeku diperiksa terus."
"Kamu yang bikin masalah sepele ini tambah makin ribet. Sadar enggak, sih?"
Amarahku tentu tersulut kembali mendengar tuduhan Keenan. "Oh, ribet, ya?! Aku enggak pernah maksa kamu, loh, buat periksa sama ngehapusin semua dm enggak jelas itu.
"Kalau bagi kamu aku ini bikin ribet, ya, udah kita selesai aja sampai sini. Aku enggak mau bikin hidup kamu yang simpel itu makin rumit cuma karena masalah sepele yang kubesar-besarin."
Tanpa menunggu tanggapan Keenan, aku berdiri dan segera mengambil langkah membuka pintu dan masuk ke rumah. Berlama-lama bersama Keenan bisa membuat tensiku terus naik. Dia yang memulai masalah, tapi malah menuduhku yang terlalu lebay. Benar-benar menyebalkan.
Ponselku terus berdering sepanjang langkahku menuju kamar. Aku tahu itu Keenan. Kuabaikan saja panggilannya. Sengaja tidak langsung menolak atau sekalian mematikan daya ponselku, supaya dia tahu betapa menyebalkan rasanya saat ingin bicara, tapi tidak ditanggapi. Diabaikan begitu saja.
Susah-susah aku memberi penjelasan tentang ketidaknyamananku, malah terus dibantahnya begitu saja. Padahal aku sudah berusaha jujur demi kebaikan hubungan kami juga. Ah, dasar Keenan menyebalkan!
Bagiku, meski dalam status pacaran, tetap harus ada batasan dan privasi yang dijaga. Orang tua dan kakak-kakakku--yang membersamaiku seumur hidup, saja enggak pernah dengan lancang memeriksa isi ponselku. Dan aku menganggap itu adalah bagian dari sopan santun. Rasanya hanya tidak terima saja saat ada orang lain yang nekat melakukan hal yang sudah jelas kularang tepat di depanku.
Nada dering ponselku terus berbunyi. Sepertinya Keenan masih belum menyerah. Dan tentu, aku juga tidak akan luluh dengan mudah.
***
Terima kasih sudah mampir
🙏🙏🙏

KAMU SEDANG MEMBACA
The Actor and I
ChickLitOrang-orang mengenalnya sebagai aktor ternama dengan akting yang memukau. Teman-temanku bahkan terlalu sering membicarakan apa saja tentang dia. Namun, bagiku dia hanyalah salah satu penghuni rumah sebelah yang jarang berinteraksi denganku. Sedangka...