Sudah lebih dari 30 menit aku dan Mama menghabiskan waktu berdua di dapur. Mencampur dan mengaduk ragam bahan untuk mencoba resep brownies ciptaan mertua Kak Nisa. Aku mengikuti setiap instruksi Mama dengan sigap, berharap kegiatan masak-masak ini segera selesai sehingga segera ada waktu untukku bicara serius dengan Mama. Mumpung kedua kakakku sudah meninggalkan rumah sejak satu jam yang lalu.
"Bicara aja, Dek, nggak perlu nunggu sampai semua ini kelar," seloroh Mama yang masih sibuk menakar bahan karena akan menambah porsi browniesnya. Sepertinya Mama mendengar helaan napas tidak sabaran dariku yang kini memilih duduk di ujung meja tempat bahan kue brownies diletakkan.
Aku meringis salah tingkah menanggapi ucapan Mama. Tidak ada kata lolos jika Mama sudah mulai menyadari saat aku menyembunyikan sesuatu.
"Emm ... sebenarnya Nina sekarang punya pacar, Ma," ucapku langsung pada inti penuh sikap hati-hati, dengan pandangan tak lepas dari Mama untuk melihat reaksinya.
Gerakan Mama yang sedang mengayak tepung terigu seketika terhenti, tapi kembali dilanjutkan beberapa detik kemudian. Tanpa menoleh padaku, Mama tersenyum kecil.
"Anak bontot Mama udah kenal cinta juga, ya," komentarnya.
Aku ikut tersenyum mendengar ucapan Mama. Setidaknya satu langkah jujur sudah kulakukan.
"Tetap jaga batasan, ya. Kuliah juga harus tetap nomor satu," pesan Mama, "Atau segera bawa sini pacarmu, Mama mau kenalan."
"Mama udah kenal dia, kok."
Mama menoleh menatapku dengan kedua mata yang menyipit. Menyelidik dan mungkin sedang mengabsen dan memikirkan semua cowok seumuranku di sekitar lingkungan kami.
Aku mengangguk semangat. Rasanya lebih mudah mengakui dan mengungkap semuanya pada Mama. "Aku ... pacaran sama Keenan, Ma."
TAK!!
Gerakan Mama yang tengah mencincang cokelat batang sebelum dilelehkan itu seketika terhenti. Bisa kulihat kedua bahu Mama naik dan turun dengan tegas, tampak jelas jika sedang menarik napas dan mengeluarkannya dengan berat. Dan tentu saja reaksi itu sukses membuat nyaliku untuk bercerita lebih panjang lagi tiba-tiba menciut.
"Ma?" pantauku lirih, karena Mama tidak kunjung bersuara setelah aku menyebut nama Keenan.
Mama melepaskan pisau dari genggamannya, kemudian melangkah mendekatiku dengan raut wajah yang serius. "Jadi, apa karena ini kamu diem-dieman sama Nino?" tanya Mama setelah duduk di dekatku.
Aku hanya tersenyum kecut. "Mama, kok, tahu?"
"Nak," lirih Mama, kemudian mengusap kepalaku lembut, "Dari saat kalian hanya bisa menangis saja Mama sudah paham dan mengerti setiap tingkah laku juga sikap kalian."
Aku merekah senyum dan bersandar manja di pundak Mama.
"Jadi, kalau Mama juga nggak setuju kamu pacaran sama Keenan, kamu mau diemin Mama juga kayak sikap kamu ke Nino?"
"Mama nggak setuju?" Aku kembali menegakkan punggung, menghadap Mama penuh keseriusan.
Mama menghela napas. "Nggak juga," jawab Mama, "Tapi, untuk alasan yang sama dengan kakakmu, Mama sedikit ragu untuk mendukung pilihanmu yang satu ini."
Hanya embusan napas kecewa yang kulakukan mendengar ucapan Mama.
"Nak." Mama meraih telapak tanganku dan menggenggamnya, "Kita memang kenal dan punya hubungan baik sama keluarga Keenan, tapi itu bukan jaminan kalau dia nggak akan mengulangi perilaku buruknya itu lagi. Terlebih lingkup pergaulannya masih sama dengan saat kejadian waktu itu, dan jauh berbeda dari pergaulan kamu juga. Mama cuma nggak mau kamu ikut-ikutan terpengaruh sama kehidupan dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Actor and I
ChickLitOrang-orang mengenalnya sebagai aktor ternama dengan akting yang memukau. Teman-temanku bahkan terlalu sering membicarakan apa saja tentang dia. Namun, bagiku dia hanyalah salah satu penghuni rumah sebelah yang jarang berinteraksi denganku. Sedangka...