"Akhirnya ...."
Aku menghempaskan tubuh ke atas sofa, meluruskan punggung yang terasa kaku karena kelelahan. Meski sudah ada tim dari wedding organizer dan hanya membantu sedikit, nyatanya aku tetap merasa sibuk juga demi memastikan lancarnya acara pernikahan Kak Nino hari ini.
"Lemah," cibir Kak Nita saat melewati tempatku, dan melanjutkan langkah menuju kamarnya.
Aku tidak bisa membalas. Karena dia memang lebih banyak berkontribusi, tetap lincah dan gesit bergerak meski dalam balutan gaun dan memakai high heels. Aku bahkan tidak pernah menyangka kalau kakakku yang tomboy itu bisa memakai sepatu heels.
Aku dan Kak Nita hanya pulang berdua ke rumah. Kak Nino dan Kak Erika--istrinya tentu memilih menginap di hotel tempat pernikahan mereka dilangsungkan tadi. Sementara Mama dan Papa memutuskan ikut bersama keluarga Kak Nisa dulu. Daanish--salah satu keponakanku, terus rewel dan hanya mau digendong oleh Mama. Dan Papa sepertinya sedang dalam mode enggan berpisah dengan istrinya membuatnya ikut ke sana.
Aku memandang langit-langit saat pikiranku mulai berkelana. Tiga hari yang lalu Kak Nino menyampaikan kalau tetap mengundang dia, dengan pertimbangan hubungan keluarga kami yang selama ini sudah terjalin dengan baik. Aku tentu tidak bisa melarang dan menyatakan keberatan karena alasan pribadiku. Untungnya hari ini dia tidak menampakkan batang hidungnya.
Aku mengatur napas saat harus mengakui sendiri, meski tidak ingin memikirkan apapun tentang dia lagi, nyatanya sosoknya akan tetap menjadi beban pikiranku, entah sampai kapan.
Kuputuskan untuk bangkit dan berganti pakaian setelah meregangkan badan sambil melenguh panjang di atas sofa. Kemudian meraih tas tangan yang kubawa sepanjang pesta tadi. Namun, suara dering ponsel yang berbeda dengan milikku sukses membuatku histeris.
"Astagaa ... Aku lupa balikin hpnya Kak Nino!" seruku, kemudian mengeluarkan ponsel Kak Nino untuk segera menerima panggilan itu, menduga jika dia sudah misuh-misuh mencari gawainya ini. Tapi, nama yang tertera di layar ponsel itu membuat gerakan ibu jariku yang hendak menggeser tombol hijau seketika terhenti.
Keenan.
Aku hanya diam dan terus menatap hingga panggilan berakhir dan layar ponsel meredup dengan sendirinya.
"Na, gue mau delivery nasi goreng, nih. Lo mau juga, gak?"
Aku ingin menanggapi tawaran Kak Nita, tapi lidahku terasa kelu untuk mengucap satu kata pun. Fokusku masih terpaku pada ponsel Kak Nino di tanganku.
"Mau, gak?!"
Hanya anggukan cepat yang sanggup kulakukan sebagai jawaban.
"Lo kenapa, sih? Kesambet, ya?" gerutu Kak Nita, kemudian berlalu ke arah dapur.
"Hpnya Kak Nino," lirihku, menyusul Kak Nita yang sudah duduk santai di teras belakang rumah.
"Hah?!" Kak Nita mendengus menatap ponsel yang kusodorkan. "Udah, biarin aja. Kalau ada yang penting nanti juga dia bakal minta dibawain atau malah ngambil sendiri."
"Kakak yang pegang aja deh."
Kak Nita mendecak. "Lo aja. Sekalian mau ke kamar, kan. Simpan di kamar lo aja."
"Kak Nita aja," selorohku cepat, meletakkan ponsel di samping Kak Nita, kemudian segera meninggalkannya. Takut jika ponsel itu kembali berdering dan menampilkan nama yang sangat ingin kuhindari.
Selesai berganti pakaian, aku kembali ke teras belakang. Kak Nita sudah berteriak nyaring, memintaku mengambil pesanan yang sudah datang di gerbang depan. Aku bisa melihat ekspresi jailnya saat mengambil uang untuk diberikan kepada ojek online yang sudah menunggu. Entah apa lagi yang ada dipikirannya.
"Pengantin barunya enggak ada di sini. Yang ada cuma adek-adeknya aja."
Kalimat Kak Nita itu membuatku meliriknya penuh curiga. Terlebih saat dia malah mengedipkan sebelah mata ketika pandangan kami bertemu. Dia menempatkan ponsel Kak Nino di depan wajahnya, membuatku yakin jika itu adalah panggilan video.
Tawa pelan dari lawan bicara Kak Nita membuatku mendengus. Itu dia.
"Tolong sampaiin permintaan maaf gue, ya."
Aku memilih sibuk menyajikan nasi goreng dan menatanya pada meja bundar di depan Kak Nita. Tapi telingaku tetap awas, memantau percakapan Kak Nita dengan orang itu.
"Banyak hal yang harus gue selesaiin dulu."
"Hmm."
"Salam juga buat om sama tante, ya."
"Oke. Ada lagi?"
Tidak ada jawaban. Hanya tawa renyah yang entah kenapa terdengar begitu sumbang di telingaku.
"Lo nge-blokir dia?" tanya Kak Nita setelah mengakhiri panggilan dan melepas ponsel Kak Nino dari tangannya.
Enggan memberi jawaban, aku memilih menyendokkan sesuap nasi goreng, memenuhi rongga mulut dan memasang tampang jengkel pada Kak Nita. Menyiratkan protes karena bicara dengan dia di depanku begitu santainya, seolah tak pernah ada 'masalah' yang terjadi.
Kak Nita menghela napas, juga mengulum senyum. "Oke ... gue juga gak mau ikut campur, kok. Itu urusan lo sama dia. Lo yang ada masalah sama dia, ya. Kita--anggota keluarga yang lain, bakalan tetap bersikap seperti biasa ke dia. Ya, meski sebenarnya gue sempat misuh-misuh ke dia juga waktu pertama tahu kalian putus."
"Terserah," lirihku, kemudian lanjut menghabiskan makananku.
Aku mendengus, kesal. Tidak bisa menikmati makananku meski sudah menghabiskannya hingga butir terakhir. Dia yang tiba-tiba menyerobot isi pikiranku sepanjang hari ini sungguh sangat mengganggu dan sukses merusak suasana hati.
Aku meraih ponselku, memilih membuka media sosial. Entah kenapa merasa penasaran dan tiba-tiba ingin memeriksa teror dari para penggemarnya.
Dan mataku terasa membola ketika mendapati isi direct message akun instagramku sepi. Akun-akun yang dulu sangat rajin menggangguku lenyap begitu saja. Bahkan diantaranya sudah tampak tidak aktif lagi.
Jangan-jangan benar kata Diyah tempo hari. Dia membuat 'pengumuman' berakhirnya hubungan kami agar penggemarnya berhenti menggangguku. Dan membuat pengakuan tentang masa lalunya yang pernah menjadi pengguna obat terlarang untuk mengalihkan pembahasan media?
Tidak!
Aku memukul kepalaku sendiri. Itu hanya asumsi dari sikap yang terlalu positif. Bagaimanapun, dia sempat sukses membuatku merasa terpuruk dan sibuk menyalahkan diri. Dia mengakhiri semuanya tanpa alasan yang jelas. Dan dia bisa jadi hanya bosan, atau lebih buruknya memang tidak pernah serius denganku.
Hanya dia yang tahu alasan sebenarnya. Dan aku sangat jelas--dalam situasi sekarang, enggan menuntut penjelasan.
"Fix, lo kesambet, Na."
"Eoh?" Aku terlalu sibuk dengan pikiran sendiri sampai-sampai lupa kalau masih ada Kak Nita di dekatku.
"Jangan bilang lo mulai depresi karena putus sama Kee--"
"Enggak!" bantahku cepat sebelum Kak Nita tuntas menyebut namanya.
Kak Nita menarik napas, berdiri dan menghampiriku. "Mending lo ikut gue ke Semeru minggu depan. Yah, sekalian healing, mengusir galau karena diputusin pacar."
"Aku enggak galau, ya!" bantahku sok galak.
"Iya, deh. Iya."
Meski mengucap kata setuju dengan pernyataanku, senyum simpul Kak Nita tetap membuatku merasa jengkel setengah mati.
Dan ya, hati kecilku harus mengakui hal yang sebaliknya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
The Actor and I
ChickLitOrang-orang mengenalnya sebagai aktor ternama dengan akting yang memukau. Teman-temanku bahkan terlalu sering membicarakan apa saja tentang dia. Namun, bagiku dia hanyalah salah satu penghuni rumah sebelah yang jarang berinteraksi denganku. Sedangka...