Bab 10 : Confession?

15.1K 1.2K 11
                                    

Banyak hal menyenangkan terjadi beberapa hari terakhir. Rumah mulai ramai lagi bersama datangnya kedua keponakanku. Teriakan mama yang kembali menggema di pagi hari membuatku mengingat masa kecil kami bersaudara yang lebih sering rusuh. Ditambah lagi kali ini ada suara tangisan si kembar yang kadang terdengar bersahutan seperti tidak ingin kalah lantang dari keriuhan yang diciptakan orang dewasa di sekitarnya.

Hari ini kami sekeluarga sedang menyusun rencana untuk melakukan barbeque ala Korea di teras belakang rumah. Mama juga mengundang penghuni rumah sebelah untuk bergabung. Ah, iya, orang tua Keenan juga sudah pulang, setelah berhasil membujuk nenek Keenan untuk tinggal dan menetap di sini tentunya. Ngomong-ngomong tentang Keenan, aku jarang melihatnya akhir-akhir ini. Sepertinya dia mulai sibuk dengan jadwalnya.

Aku bersama Kak Nita sedang sibuk menyusun meja dan kursi di teras belakang saat Kak Nino datang membawa alat grill pan yang baru dibeli. Aku tidak bisa menyembunyikan senyuman mendapati sosok yang mengikuti langkah Kak Nino yang mendekat. Untuk sesaat aku berhenti menyeret kursi agar merapat ke dinding dan fokus merapikan penampilan.

"Eh, calon pengantin sudah datang."

Satu kalimat dari mama yang menyambut Kak Andra sukses membuatku cemberut. Ucapan mama dengan jelas membuatku sadar untuk berhenti berusaha tampil menarik di depan sahabat kakakku itu secara berlebihan.

"Wah ... Mas Bro Andra sudah mau nikah, nih?"

Keningku kontan mengkerut mendengar sambutan Kak Nita. Jadi, dia juga sudah akrab dengan Kak Andra? Rasanya aku tertinggal jauh di belakang dalam perkara interaksi dengan orang-orang di sekitar lingkaran keluargaku.

"Hai, Nin, kok cemberut? Nggak suka, ya, kalau saya ikut gabung?"

"Eoh?" Aku terlalu fokus dengan pikiran sendiri sampai tidak sadar Kak Andra sudah berdiri di sampingku. "Nggak, kok, Kak. Aku malah senang kalau Kak Andra juga di sini," balasku cengengesan salah tingkah.

Kak Andra mengulas senyum kecil-dan sukses membuatku meleleh-kemudian mengambil alih kursi di depanku untuk dideretkan dengan tiga kursi lainnya yang sudah merapat pada dinding.

"Andra sudah mau nikah. Ingat itu." Kak Nino berbisik setelah meletakkan grill pan di atas meja panjang.

Aku mendelik sinis menanggapinya. Tanpa pengawasan berlebih dan kebohongan Kak Nino, bisa saja aku lebih akrab dengan Kak Andra sejak dulu.

"Mikirin apa kamu, hah?" Kak Nino mencubit pipiku gemas dan tentu saja segera kutepis.

"Kakak, tuh, yang menyebalkan." Aku bergegas mengambil langkah ke dapur untuk membawa beberapa daging yang akan dipanggang nanti.

Saat melangkah kembali ke teras belakang. Tante Ana-ibu Keenan-sudah ada di halaman sedang mendorong kursi roda nenek Keenan. Senyum ramah dia hadiahkan untukku saat mata kami bertemu. Aku bergegas menghampiri dan membantu mendorong agar kursi roda sampai dengan aman di lantai teras.

"Terima kasih, sayang." Tante Ana mengusap lenganku lembut. "Kamu makin cantik saja."

Aku tahu kalimat itu sekadar basa-basi, tapi cukup sukses membuatku mengulum senyum dan merasa senang. Aku memilih jongkok di depan nenek Keenan, kemudian memperkenalkan diri. Beliau mengangguk sambil mengelus lembut kepalaku. Rasanya menenangkan.

"Keenan belum pulang?"

Mama menghampiri dengan senyum yang tidak kalah hangat menyambut nenek Keenan. Aku memantaunya meraih kedua tangan nenek Keenan dan mengusapnya pelan.

"Sepertinya dia akan pulang agak sore untuk hari ini. Tadi juga sudah kuberi tahu kalau kita akan makan bersama di sini," jawab Tante Ana.

Aku bangkit dan kembali menyibukkan diri membantu kakak-kakakku menyiapkan peralatan makan di atas meja. Sambil sesekali mencuri pandang pada Kak Andra yang sedang sibuk memeriksa suhu grill pan di samping Kak Nino. Setelah hari ini aku harus berusaha keras mengingatkan diri akan status orang yang kukagumi itu.

The Actor and ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang