Rumah terasa sepi saat matahari menyapa, biasanya suara peralatan dapur yang beradu saat mama memasak sudah menyapa saat aku membuka pintu kamar. Aku melangkah menuruni tangga sambil menahan kantuk. Semalam aku baru bisa masuk rumahku sendiri saat Kak Nino datang dari rumah sakit sekitar jam 9, dan ya, aku hampir mati kutu karena terjebak berdua dengan Keenan yang sepertinya tidak pernah kehabisan pertanyaan untukku.
"Selamat datang di rumah adik bungsuku yang cantiik." Kak Nita berteriak dari depan TV saat melihatku menapaki anak tangga terakhir. "Akhirnya ada yang bisa kusuruh-suruh di rumah ini," sambungnya dengan isyarat memanggilku mendekat.
"Kapan datang, Kak?"
"Tadi subuh," jawabnya, "Aku nggak mau jadi orang terakhir yang melihat anaknya Kak Nisa," tambahnya.
"Loh? Kirain lo ikut nginap di rumah sakit."
Satu suara menyentakku. Aku berjalan lebih dekat ke sofa dan mendapati Keenan tengah berbaring santai pada karpet depan TV. Ada satu toples camilan yang terbuka di sampingnya.
"Iya, kamu nggak salah lihat," ucap Kak Nita seolah paham ekspresiku, "Tetangga kita yang katanya selalu dapat bayaran mahal tiap main film ini memang suka numpang makan di sini," lanjutnya, kemudian melempar Keenan dengan bantal sofa.
Keenan menoleh dan hanya menyengir padaku.
"Kak Nino mana?" tanyaku karena belum melihat penampakannya. Biasanya dia selalu ada di sekitaran ruang TV kalau pagi.
"Keluar beli sarapan," jawab Kak Nita, "Apalagi ada satu mulut tetangga yang minta makan pagi ini," tambahnya.
Keenan tertawa keras mendengar sindiran Kak Nita. Sepertinya artis itu memang akrab dengan keluargaku. Aku memilih meneruskan langkah menuju dapur, ingin membasahi tenggorokan yang terasa gersang pagi ini.
"Nanti kita ke rumah sakit berdua saja, ya," seloroh Kak Nita saat aku kembali bergabung di ruang TV, "Kak Nino ada urusan katanya," lanjutnya saat aku hendak membuka mulut.
"Ke sana pakai angkutan umum?"
Kak Nita mendelik ke arahku. "Kakakmu yang keren ini sudah bisa bawa mobil sendiri," ucapnya menepuk dada membanggakan diri. "Kak Nino bakal dijemput sama temannya."
"Wah ... lo yakin aman, Ta? Jangan sampai ke rumah sakit niatnya mau jenguk ponakan malah jadi pasien kecelakaan." Keenan terkekeh setelah menyelesaikan kalimatnya.
Tubuhku seketika menegang. Sekalipun tahu ucapan Keenan hanyalah candaan, ternyata sistem sarafku bereaksi lain, dan tetap sukses mengusik ingatanku yang pernah menjadi pasien karena kecelakaan.
"Tenang." Kak Nita menggenggam tanganku, sepertinya dia menyadari perubahan ekspresiku. "Gue sudah punya SIM, kok. Aman," ucapnya lagi sambil menepuk pelan punggung tanganku.
"Ah ... maaf, Nin," ucap Keenan, lalu memukul mulutnya sendiri.
Aku hanya mengulas senyum tipis. "Nggak apa-apa, kok."
Situasi canggung yang tiba-tiba tercipta teralihkan saat Kak Nino datang sambil berteriak kalau dia membawa bubur ayam yang sudah lama ingin kucoba. Kak Nita bangkit pertama, meninggalkan aku yang masih mencoba menyamankan diri lagi.
Keenan ikut berdiri dan berjalan pelan mendekatiku. "Sekali lagi saya minta maaf, ya. Saya nggak bermaksud ...."
"Nggak apa-apa," ucapku lagi, "Itu juga reaksi yang tidak bisa kukendalikan sendiri."
Keenan tampak menghela napas. Rasa bersalah tercetak jelas di wajahnya. "Ayo," ajaknya sambil menepuk pundakku, "Katanya kamu sudah lama mau coba bubur ayam yang baru buka itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Actor and I
ChickLitOrang-orang mengenalnya sebagai aktor ternama dengan akting yang memukau. Teman-temanku bahkan terlalu sering membicarakan apa saja tentang dia. Namun, bagiku dia hanyalah salah satu penghuni rumah sebelah yang jarang berinteraksi denganku. Sedangka...