Starbucks, kuparkir motor di pelataran parkirnya. Franchise kedai kopi dari Amerika itu memang terkenal sebagai tempat nongkrong orang berduit. Aku tidak terlalu suka membeli minuman di situ, bukan karena tidak punya duit, lebih tepat disebut pelit. Rasanya buang-buang uang saja minum kopi secangkir kecil sampai menghabiskan selembar uang biru.
Namun, itu adalah tempat bertemu yang dipilihnya. Dia tidak memberikan alasannya, aku pun tidak menanyakannya. Kupikir, itu tak ada perlunya.
Dia ingin bertemu lebih dulu sehari sebelum pertemuan resmi kami, sesuai janji, di rumahnya. "Aku pengen ngobrol dulu sama kamu sebelum kita ngobrol bareng keluarga juga. Soalnya, besok pasti ngga bakal bebas," begitu katanya.
Aku tak membantah. Kuiakan ajakannya dan kuajak Aghnia untuk menemani. Aghnia, adik perempuanku itu, sebenarnya tidak begitu tertarik, tetapi ketika kukatakan bahwa lokasi pertemuannya adalah Starbucks, dengan mata berbinar, dia menurut.
Kami tiba lebih dulu dan memesan segera. Dia minta dipesankan caramel macchiato dan classic tiramisu cup, sementara Aghnia dengan santainya memesan vanilla latte dengan beef lasagna. Dari senyumnya yang usil, aku merasa sedang dikerjai.
Dia datang dengan tergopoh-gopoh dan napas agak tersengal. "Maaf, Rofiq?" tanyanya, mengulurkan tangan.
Kutangkupkan tangan di dada sambil menjawab, "Ya, Zea?" balasku.
Dia mengangguk dan tersenyum, kemudian tanpa basa-basi lagi langsung menyeruput caramel macchiato yang sudah terhidang. "Hm, maaf. Tadi meeting dengan kliennya terpaksa diperpanjang karena mereka bermasalah dengan desain saya."
Aku mengangguk maklum.
Matanya memancarkan senyum sambil menyentuhkan bibirnya yang terlihat ranum dengan bibir gelas. "Kamu pasti kaget melihatku, kan?"
Kubalas senyumnya yang terkesan sama jahilnya dengan adikku. Rasanya seperti sedang dikerjai oleh dua orang perempuan yang sedang bersekongkol. "Ya. Foto yang kamu kirimkan beserta resume adalah foto memakai kerudung lebar, jadi, ya, saya agak terkejut melihatmu dengan rambut terurai."
Dia tertawa kecil sembari mengibaskan rambut ikalnya yang menyentuh bahu. "Tapi ini diriku yang sebenarnya. Yang di resume itu, pencitraan semua."
Aku mengangguk, kembali tersenyum maklum. "Aku yakin, kamu juga kaget melihatku."
Dia tertawa malu-malu sembari melirik Aghnia. "Ya, kukira kamu bakal datang sendiri."
"Pernikahan adalah penyatuan dua keluarga, jadi alangkah baiknya jika setiap step persiapannya juga melibatkan keluarga."
Dia manggut-manggut, terlihat tidak terlalu menyukai jawabanku. "Okay," katanya, meletakkan caramel macchiato di meja, "kamu sudah tahu seperti apa aku sebenarnya. Apa masih mau melanjutkan ta'aruf?"
Pertanyaannya agak mengejutkanku. Dia sama sekali tidak bertanya tentang apa dan bagaimana diriku, atau setidaknya mencari tahu sedikit saja tentang kepribadianku, tetapi langsung menantang untuk menghentikan ta'aruf. "Memangnya seperti apa kamu sebenarnya?"
"Aku ngga pakai jilbab. Aku bukan gadis shalihah. Aku bakal menjerumuskanmu ke neraka. Yah, aku tahu, aku bukan gadis idamanmu, kan?"
Kalimat-kalimat yang dilontarkan mulutnya membuatku nyaris tak bisa berkata-kata. Dia menyerang tepat langsung ke sasaran. Memang benar, andai bukan karena ta'aruf, aku pasti akan mencoret perempuan dengan penampilan seperti dia dari daftar calon istri potensial. "Hm, ya. Aku berpendapat bahwa menutup aurat adalah kewajiban setiap muslim dan aurat perempuan dewasa adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan."
Dia manggut-manggut. "Dan aku adalah perempuan yang mengumbar aurat ke mana-mana. Apa kamu masih mau melanjutkan ta'aruf ini?"
Jawabannya mengherankanku. Dia seperti dengan sengaja memancingku untuk membatalkan keseluruhan proses ta'aruf. "Aku ingin tahu, bagaimana pendapatmu soal aurat."
Alisnya terangkat sedikit, bibirnya pun membuka tipis. Dia mendeham kecil sebelum mulai bicara. "Karena di Alqur'an ngga disebutkan bahwa kita wajib pakai jilbab. Kita cuma diminta menutupi dada." Dia mengangkat tangannya hingga dada, menunjukkan bahwa tidak ada bagian dadanya yang terlihat.
Aku mengangguk. Dia tidak salah dan dadanya memang tertutup pakaian kantor yang tidak ketat.
"Selain itu, kita diperbolehkan menampakkan bagian yang biasa nampak dari diri kita. Itu berarti, bagian-bagian yang lazim terlihat dalam budaya kita, boleh saja dinampakkan, bukan?"
Aku tidak membantah. Memang ada yang menafsirkan seperti itu, meski bukan penafsiran umum yang diberikan oleh ulama. "Menarik. Jadi kamu serius mempelajari soal aurat ini?" jawabku.
Dia tersenyum sambil mengangguk mantap. "Tentu. Jadi, bagaimana?" tanyanya lagi, tak sabar.
"Bagaimana?"
"Kita berhenti di sini?"
"Kamu ingin membatalkan ta'aruf ini?"
Dia menarik tubuhnya dan menggeleng tanpa menatapku. "Bukan begitu ...."
Aku menunggunya melanjutkan kata-kata, tapi dia tak bicara lagi. Telunjuknya mengetuk-ngetuk tepian meja pelan-pelan.
"Kalau kamu mau menghentikan proses ta'aruf ini, aku tidak keberatan."
"Oh, bukan begitu. Saya ...." Dia menghela napas pelan. "Saya berharap kamu yang membatalkannya, karena saya tidak bisa membatalkannya. Ibu saya sudah mengultimatum, jika saya belum juga menikah hingga usia 27, maka beliau yang akan memilihkan suami untuk saya dan saya tidak boleh menolak."
Aku manggut-manggut. "Jadi kamu ngga suka sama saya, tapi ngga bisa menolak saya karena janji pada ibumu?"
Dia mengangguk dengan wajah memelas yang membuatnya malah terlihat menggemaskan.
"Baiklah, izinkan saya istikharah dulu malam ini."
Wajahnya terangkat mendengarku dan bibirnya pun segera menyungging senyum. "Okay."
"Apa kamu juga akan istikharah?"
Senyum di wajahnya pudar seketika. "Kenapa?"
"Apa kamu tidak ingin tahu keputusan apa yang diinginkan Allah?"
"Ah, aku sudah yakin dengan keputusanku."
Aku mengangguk dan pamit, meninggalkannya di kedai kopi mahal itu bersama espresso yang tinggal beberapa tetes di dasar sloki.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ta'aruf
RomanceAku tak berminat menikah, tetapi begitu dia menolakku, kupikir, menikah bukan hal yang buruk.