Sup Ayam

313 74 20
                                    

Kuhempaskan punggung ke kasur. Kepala terasa makin sakit dan pening. Saat menutup mata, segalanya terasa begitu menekan. Kutarik selimut menutupi badan. Kehangatannya mengingatkan pada Zea.

Sesuatu tiba-tiba melintas di kepalaku. Handuk Zea sudah tidak ada di tempat aku meninggalkannya. Kulihat keranjang kain kotor pun sudah kosong. Sambil menahan makian, kukenakan pakaian lalu berlari ke ruang cuci.

Benar saja, mesin cuci sedang memutar-mutar pakaian di dalam air sabun. Terduduk aku di depan pintu kaca mesin cuci.

Itu hanya selembar handuk, tapi mengapa rasanya kecewa sekali? Lagipula, handuk itu juga sudah tidak bisa dibilang bersih. Memang sudah tepat, tempatnya di mesin cuci.

"Kenapa, Fiq? Lari-larian ke sini? Kangen mesin cuci?" Suara Ibu membuatku mendongak seketika. Wajah Ibu terlihat biasa-biasa saja, tak ada rasa bersalah di sana.

Kugelengkan kepala menjawabnya. Memang Ibu tidak salah. Aku saja yang terlalu konyol memperlakukan handuk kotor sebagai barang berharga.

"Keranjang baju kotormu tadi sudah penuh, jadi Ibu masukkan semua ke mesin cuci, biar besok, Bi Rinah tinggal ngejemur," papar Ibu setengah mengomel.

"Termasuk handuk yang di tempat tidur?"

Ibu mengangkat alis. "Iyalah. Handuk lembap gitu ditaro di tempat tidur, ya, sekalian saja dicuci."

Tak sengaja aku berdiri sambil mendecak.

"Kenapa? Handuknya sudah kotor, kan? Kamu, itu, ya, Fiq, sudah tua, mengurus baju kotor aja ngga beres."

"Nah! Gimana mau ngurus keluarga? Makanya jangan nyuruh-nyuruh kawin terus."

Mata Ibu membulat. Meski tak selalu mengiyakan kata-katanya, tetapi aku tak pernah membantahnya secara frontal seperti itu. Entah apa yang merasukiku. Kenapa harus kesal hanya karena selembar handuk? Benar-benar konyol!

"Maaf, Bu. Kepalaku sakit ...." Lalu kutinggalkan Ibu di samping mesin cuci. Lebih baik tidur, semoga besok sakit kepalaku akan berkurang dan kekonyolanku menghilang.

***

Aku terbangun ketika mendengar suara Ibu menawarkan sup ayam, "Ini sop ayam ala Prancis, loh."

Aku membuka mata dan melihat Ibu tersenyum lebar. "Sop ayam?" katanya, mengangkat breakfast table ke atas tempat tidur.

Aku mengangguk. Sebenarnya masih mengantuk, tetapi Ibu pasti sudah susah payah mencari ayam demi memenuhi permintaanku, padahal aku baru saja membantahnya. Tak diragukan lagi, kasih sayang Ibu memang sepanjang jalan. "Makasih, Bu. Resep baru?"

Ibu menggeleng sembari tersenyum. "Setok ayam di kulkas udah habis, mana mungkin Ibu yang bikin."

"Oh, pesan delivery?"

"Ya, tadi diantar kurir, tapi ini bukan dari restoran." Senyum Ibu terlihat mencurigakan.

"Dari mana?"

"Dari orang yang bikin kamu ujan-ujanan."

Aku menelan ludah, bahkan tak berani menyebut namanya.

"Ayo, dimakan sopnya, keburu dingin."

Kulihat mangkuk sup yang dipenuhi warna-warni wortel, seledri, dan potongan ayam. Semuanya berdesakan di dalam kuah kaldu yang aromanya menggugah selera. Namun, mengingat nada suara Ibu saat menerima telepon Zea, aku jadi merasa bersalah jika memakannya.

"Kenapa? Ngga suka? Ya, udah, besok biar Ibu bikinkan sop ayam yang biasa," kata Ibu, menjangkau mangkuk sup di depanku.

Refleks, aku menahan tangannya. "Ngga, aku suka," kataku pelan.

"Suka supnya?"

Aku mengangguk.

Ibu tersenyum, menarik tangannya, dan berkata, "Kamu bahkan belum nyicip sesendok pun."

Aku menelan ludah. "Gimana kalau aku suka yang membuatnya? Restoran sudah tutup jam segini, jadi ini pasti dia sendiri yang masak, kan?"

Ibu tak menjawab. Matanya menatapku penuh selidik.

"Dia cerita kenapa aku sampai kehujanan?"

Ibu hanya menatapku dan sedikit mengangguk.

"Apa dia juga cerita kalau Ayah ibunya kecelakaan tadi siang?"

Melihat ekspresi Ibu, aku tahu, dia tidak cerita.

"Dia pasti lelah sekali, tapi masih mau berusaha keras memasak sop ayam buatku ..."

Ibu mendengus. "Lalu kamu terharu, gitu?"

"Apa Ibu tidak?"

Ibu menyeringai sinis. "Kamu udah ujan-ujanan demi dia sampai demam begini, sudah sewajarnya dia melakukan sesuatu untuk mengatasi demammu. Itu imbal balik yang wajar, meski buat Ibu, masih kurang sepadan."

"Aku tidak pernah mengharap balasan untuk tiap pertolongan. Itu yang Ibu ajarkan, kan?"

Ibu kembali melempar senyum sinis. "Kamu udah suka dia duluan," gumamnya pelan lalu menatapku lurus-lurus, "apa kamu udah lupa gimana dia menolakmu?"

Aku menghela napas, aroma sup ayam memenuhi penciuman.

"Dia bahkan ngga ngasih alasan buat menolak, sekadar basa-basi pun tidak. Dia cuma bilang ngga mau menikah! Huh! Ngga mau menikah apanya! Ngga ketemu orang yang disuka, iya."

Aku tak menjawab, hanya memperhatikan uap sup ayam yang terus menguarkan aroma menggoda.

"Kamu udah ditolak mentah-mentah, tapi masih rela sakit demi dia. Kamu gila atau apa?" Kata-kata Ibu terdengar pedas di telinga, tetapi, seperti cabe, memberi kehangatan di dalam.

Aku tidak bisa membantah. Sejujurnya, aku sendiri merasa begitu.

Aku sudah melupakannya, berhenti mengikuti semua akun medsosnya, memasukkan seluruh kenangan tentangnya ke dalam kotak sepatu bekas. 

Dia benar-benar terlihat bahagia dengan pacar yang sama sejak kelas tiga SMA. Durasi pacaran terlama yang kutahu. Kupikir, tak lama lagi mereka pasti menikah. Mungkin setelah Zea diwisuda.

Kubulatkan tekad untuk mengubur semua tentangnya, begitu dia mengunggah foto wisuda di medsos. Dia terlihat bahagia, berfoto dengan si juara olimpiade itu. Hubungan mereka pastilah sangat kuat hingga dapat bertahan bertahun-tahun.

Sesuai rencana , kukubur semua tentangnya di bagian terbawah lemari pakaian. Mungkin harusnya benar-benar kukubur di dalam tanah atau kularung ke samudra luas, biar tak pernah muncul lagi. Namun, dia malah muncul dalam bentuk yang lain.

"Rofiq?" Panggilan Ibu membuatku mengangkat wajah, menatapnya, "apa kamu segitu sukanya sama dia?" Suaranya begitu lembut, penuh kasih sayang yang tak pernah dapat terukur jumlahnya.

Aku tak bisa menjawab.

Ibu menghela napas. "Satu hal yang Ibu tahu, kalau benar-benar suka sama seseorang, kita pasti akan memperjuangkannya. Tapi kalau cuma kamu sendiri yang berjuang, lebih baik pikirkan lagi. Kita menikah bukan untuk menjalani kehidupan ini sendiri-sendiri. Kita menikah agar bisa memperjuangkan kehidupan bersama-sama."

Aku sangat setuju dengan pernyataan itu.

"Sudahlah, habiskan sop ayamnya, lalu tidur. Kamu pasti akan tidur lebih nyenyak setelah memakannya," kata Ibu lagi dengan senyum penuh arti.

"Ngga apa-apa aku abisin sopnya?"

Ibu tertawa kecil. "Ibu ngga bisa bikinin kamu sop ayam sekarang. Kalau ada yang bisa, dan kamu juga suka, kenapa Ibu harus melarang?"

Kata-kata Ibu membuatku tercenung.

Setelah diam beberapa saat, Ibu berkata lagi, "Ibu cuma minta kamu berpikir ulang. Pikir benar-benar, jangan sampai salah memutuskan." Sambil bicara begitu, diusapnya lenganku dengan lembut.

"Udahlah, abisin sopnya," katanya lagi, berdiri dan bersiap melangkah keluar, "o, ya, maaf, tadi langsung nyuci handuknya tanpa izin. Ibu tahu, itu bukan handukmu." Senyum Ibu yang penuh arti membuatku ingin membenamkan muka ke dalam bantal. Mungkin karena pernah berada sembilan bulan di dalam tubuhnya hingga aku tak bisa menyembunyikan secuil pun hidupku darinya.

Ta'arufTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang