Aku merebahkan badan di tempat tidur dengan tenang. Tak kusangka, hidup ternyata bisa seringan ini. Meski tak jadi menikah, tetapi mengetahui bahwa Ibu merestui, rasanya sudah sangat melegakan.
Sebelum benar-benar tidur, kuperiksa notifikasi ponsel untuk terakhir kali. Terdapat beberapa pesan yang masuk dari Zea. "Aku nangis denger suaramu di sini," tulisnya, membalas pesan suaraku.
"Egois, ngga, sih, kalo aku ngga mau ngelepasin kamu?"
"Tapi aku ngga mau nikah sama kamu."
"Tapi aku juga ngga mau kamu nikah sama yang lain." Sampai di pesan ini aku menahan tawa sambil menggelengkan kepala.
"Gimana, dong, Rofiq?" Beberapa emoji tangis ditambahkannya hingga satu baris penuh.
Kutekan simbol telepon setelah selesai membaca seluruh pesannya. Hanya butuh satu kali nada dering, panggilanku langsung diterima. "Rofiq, jangan tinggalin aku."
Aku hampir tak bisa berkata-kata mendengar suaranya di telinga. "Aku ngga ninggalin kamu."
"Tapi tadi kamu bilang bakal nikah sama orang lain."
Kuhela napas dan kuembuskan cepat. "Ya, kamu ngga mau nikah sama aku, jadi kalau ada ...."
"Kenapa harus nikah, sih?"
Pertanyaannya seperti petir yang menusuk otak. "Maksudnya?"
"Kamu sendiri yang bilang, nikah itu ngga wajib, kan?"
"Hm, ya."
"Kalo gitu, ngga usah nikah."
"Ya, kalau ngga ketemu yang cocok buat diajak hidup bersama, ya, ngga usah memaksakan diri."
"Nah, ya, udah."
"Tapi kalau ketemu yang cocok diajak hidup bersama dunia akhirat, kenapa tidak?"
Tak terdengar jawaban dari seberang.
Kuhempaskan kepala ke bantal. "Kalau kamu ketemu orang yang bisa membuatmu yakin bisa bikin kamu lebih bahagia, lebih baik, dan lebih semuanya ...." Kalimat selanjutnya terasa berat untuk diucapkan, tetapi harus disampaikan dengan gagah. "Aku ikhlas kamu nikah sama dia. Dan kuharap, kamu juga melakukan hal yang sama."
Samar, kudengar isak dari speaker ponsel. "Kalau aku ngga mau?"
"Itu hakmu, aku tak bisa memaksa."
Isak itu makin terdengar jelas. "Kalo kamu nikah nanti, kita masih tetap bisa temenan, kan?"
"Kalau aku nikah sama orang lain?"
Tawa kecil terdengar meningkahi isak yang samar. "Hm, kita tetap masih bisa ngobrol kaya gini, kan?"
"Tengah malam seperti ini?"
Tak ada jawaban dari Zea.
"Tergantung apa kata istriku nanti karena waktu pulang kantor harusnya adalah waktuku untuknya."
Masih tak ada balasan apa pun lagi, hanya isak yang terdengar samar di ujung speaker.
"Sudah malam, Zea. Selamat tidur."
Dia tidak menjawab. Kupejamkan mata dan kutelungkupkan ponsel di atas kasur. Tak lama kemudian, terdengar jawaban dari speaker, "Selamat tidur, Rofiq."
***
Keesokan harinya adalah akhir pekan yang harusnya merupakan waktu untuk mengisi ulang energi, tetapi aku terbangun dengan perasaan hampa. Pagi itu dimulai dengan mengumumkan perkembangan hubunganku dengan Zea atau lebih tepat disebut penyusutan hubungan. Ayah meresponsnya dengan manggut-manggut dan menanyakan rencanaku selanjutnya. Kujawab saja dengan enteng, "Bulan depan, rencananya pindah ke Port Moresby, jadi rencana selanjutnya menjalani hidup baru di negeri orang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ta'aruf
RomanceAku tak berminat menikah, tetapi begitu dia menolakku, kupikir, menikah bukan hal yang buruk.