Luka

327 69 25
                                    

Aku terbangun karena getar ponsel di saku celana. Ibu Gendis menelepon, menanyakan posisiku. Kujawab dengan setengah berbisik, "Gendis masih tidur. Udah selesai meeting-nya?"

Dia menolak ketika kukatakan bahwa aku akan mengantarkan Gendis kepadanya. "Aku aja yang ke bioskop. Tunggu sebentar, ya," katanya.

Ghaida datang ke bioskop bersama Zea. Dia mengucapkan terima kasih berkali-kali sambil meminta maaf karena membuatku tidak jadi menonton. "Kubayarin di jam berikutnya, ya?" tawarnya sebagai permintaan maaf.

"Ngga usah," balasku, "aku memang ngga terlalu berminat nonton filmya."

"Aku beliin tiketnya, ya?" tiba-tiba Zea memotong, "sekalian temenin aku nonton, aku juga penasaran sama filmnya." Tanpa menunggu respons, dia langsung berbalik menuju konter tiket.

Buru-buru aku mengejarnya. "Zea," panggilku, tetapi dia sama sekali tidak memperlambat langkah, "aku serius, ngga pingin nonton."

"Kalo nemenin aku nonton?" balasnya, ketika sudah berada di baris antrean terakhir.

Aku menelan ludah. Permintaannya sulit sekali ditolak. "Tapi itu berarti kita akan berduaan di tempat gelap."

"Trus gimana? Kita beliin satu tiket lagi buat Aghnia?"

"Dia ngga akan mau nonton film yang sama dua kali."

"Kalo gitu kita tonton film yang lain." Zea menjulurkan kepalanya, membaca judul-judul film yang akan tayang hari itu.

"Zea."

"Hm?" Dia menoleh, menatapku.

"Maumu apa?"

"Nonton."

Kutatap matanya yang berusaha terlihat tanpa dosa. "Kamu bahkan ngga tahu apa yang mau ditonton."

Dia mengalihkan pandang ke konter tiket, lalu berkata lirih, "Aku mau sama kamu."

Kata-katanya membuatku nyaris tersedak ludah sendiri.

Lelaki yang mengantre di depannya bergerak maju selangkah. Zea pun melangkah mengikutinya, meninggalkanku dalam kubangan kebingungan. Teringat perbincangan dengan Aghnia dan keputusan untuk move on dari Zea. Ternyata, menjalankan keputusan bisnis lebih mudah daripada keputusan hati.

Selagi pusing dalam bimbang, Ghaida datang menghampiri dengan Gendis yang sudah bangun dan terlihat gelisah. Seluruh barang yang sebelumnya berada di tas belanja untuk dibawa Aghnia, sudah dipindahkan kembali ke dalam ransel yang sekarang terlihat menggembung di punggungnya. "Aku duluan, ya," katanya, "Gendis kayanya lapar, mau aku suapin dulu."

"Mau disuapin di mana?" Spontan saja aku bertanya.

"Di food court aja," jawabnya disertai tawa canggung.

Sudah kuduga, dia memilih tempat yang tidak memerlukan pembelian makanan tambahan.

"Food court masih terlalu ramai sekarang, apalagi hari Sabtu begini. Kenapa ngga di taman saja?" usulku.

"Taman?"

"Mall ini punya community area yang lumayan luas. Di sana ada teater terbuka, taman, juga kolam ikan. Gendis pasti senang diajak ke sana."

"Oh, di mana?" tanyanya antusias.

"Ayo, kuantar," tawarku.

"Tapi ...." Matanya beralih kepada Zea hanya berselang satu orang dari konter tiket.

"Zea mau nonton," jawabku singkat, "ngga usah diganggu."

Dia terlihat ragu. "Sini kubawakan tasnya," kataku, mengulurkan tangan.

Ta'arufTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang