Bismillah

331 78 19
                                    

Aku pulang begitu selesai merapikan rumput yang kukupas dan mengembalikan cangkul ke gudang. Kotak sepatu berisi kenangan itu akhirnya kembali lagi ke kamarku. Kuputuskan untuk membungkusnya dengan kertas kado dan akan kuberikan kepadanya nanti, di hari pernikahan.

Membayangkan pernikahan dengannya, membuatku kesulitan menghentikan senyum. Aku bisa maklum mengapa Aghnia menjadi sangat heran. "Kenapa? Bajuku aneh, ya?" tanyanya ketika aku ke kamarnya untuk meminta selembar kertas kado.

"Ngga, bagus," jawabku, melipat bibir ke dalam agar tak kelepasan tersenyum. Aku tak mau Aghnia salah paham, mengira aku menertawakannya.

"Tapi Kak Rofiq senyam-senyum aneh, gitu. Apa mending aku pake rok aja?"

"Emang mau ke mana?"

"Nonton," jawabnya, membuka lemari pakaian dan mengeluarkan selembar rok.

"Sama cowok?"

"Ngga. Sama temen-temen." Mukanya memerah ketika menjawab.

Aku tidak bisa tinggal diam. "Bilang, sama siapa?" tanyaku, melipat tangan di dada.

Dia berhenti mematut-matut diri di cermin lalu berbalik menghadapku. "Eh? Kakak mau ngasih ceramah soal pacaran?"

"Eh? Siapa yang ...."

"Cowok, yang berduaan sama cewek, mau ngasih aku ceramah soal pacaran?"

"Berduaan? Siapa yang berduaan?"

"Sebulan ini, ngga ada yang tahu kalo Kak Rofiq ternyata masih berhubungan sama Kak Zea, tahu-tahu ngirimin sup ayam aja. Udah gitu, Kak Zea nyantai aja nelepon Kak Rofiq malem-malem. Pasti kalian udah biasa telepon-teleponan sampe malem, ya? Kak Rofiq, kan, nyampe rumah aja kadang jam delapan-sembilan malem, kan? Trus jam berapa biasanya kalian telepon-teleponan? Tengah malem?"

Dibombardir pertanyaan seperti itu, aku kehabisan kata.

"Apa namanya itu kalau bukan berduaan? Itu yang di telepon, ya? Kalau yang ketemu berduaan ngga tahu, deh."

"Hei, aku ngga pernah ketemu berduaan aja sama dia." Tidak dengan sengaja maksudnya.

"Loh? Bukannya Kak Rofiq nganterin Kak Zea ke rumah sakit? Apa bukan berduaan itu namanya?"

"Itu, kan, terpaksa. Ngga mungkin aku biarin dia nyetir dalam kondisi kacau kaya gitu. Bisa kecelakaan nanti."

"O, ya? Berapa persen kemungkinan kecelakaannya? Yakin alasannya karena khawatir Kak Zea kecelakaan? Bukan karena insting melindungi seorang kesayangan?" ledeknya.

Aku diam. Muka Aghnia terlihat muak sekali menatapku. "Apa kamu juga ngga suka sama Zea?" tanyaku akhirnya.

"Keluar, aku mau ganti baju," katanya berbalik, kembali menghadap cermin.

Kuhela napas panjang. Proyek Surga untuk Bidadari ternyata lebih sulit dari dugaanku. "Setelah kupikir-pikir, alasan utamanya memang yang kedua."

Aghnia mengembus napas keras. "Kak, plis, deh, jangan jadi bucin. Kak Zea udah nolak Kakak. Yang ada, dia nanti manfaatin Kakak aja."

"Gimana kalau ternyata dia sama sepertiku?"

"Sama bucinnya?"

Aku tak menjawab.

"Ngga usah ngimpi, deh. Kak Zea itu pinter. Dia pasti udah tahu kelemahan Kakak sekarang, dan gampang banget buat dia manfaatin Kakak. Lupa, ya? Sejak awal dia berusaha buat bikin Kakak ngikutin apa maunya dia."

"Tapi ngga berhasil, kan? Malah akhirnya dia yang mengikuti saranku buat jujur sama ibunya."

Aghnia menyeringai. "Iya, karena itu sejalur sama tujuannya. Kalo jadi bucin, apa sejalur sama tujuannya?"

Pertanyaan Aghnia memusnahkan senyuman di bibirku. Jika tujuannya adalah untuk menyenangkan ibunya dan satu-satunya cara adalah dengan menikah, maka, iya, itu sejalur dengan tujuannya.

Kesimpulan itu membuat darahku bergejolak seketika. Sulit dipercaya, Zea memanfaatkanku. Apakah semua yang dikatakannya adalah dusta? Apakah janjinya untuk belajar menjadi partnerku juga kebohongan?

Kuambil segulung kertas kado dari keranjang persediaan Aghnia lalu kuucapkan terima kasih sebelum keluar dari kamarnya. Kepalaku yang sudah terasa ringan tiba-tiba jadi berat lagi.

Aku tak percaya Zea tega memanipulasiku seperti itu. Namun, logika yang disampaikan Aghnia juga masuk akal. Di kamar, menatap kotak sepatu berisi kenangan, aku malah menjadi malas melakukan apa-apa. Akhirnya menjatuhkan diri ke atas jaket yang tergeletak di atas kasur, menenggelamkan napas di dalam sisa aroma parfumnya.

***

Aku terbangun saat Ibu mengetuk untuk mengajak makan siang. Mungkin aku terlalu lelah, mungkin efek demam semalam masih ada yang tertinggal, yang pasti, kepalaku agak pening saat berdiri dari tempat tidur.

"Sup ayamnya masih ada?" tanyaku begitu tiba di meja makan.

"Udah abislah," jawab Ibu agak ketus, "sana, minta dikirimin lagi sama orangnya."

Aku menggeleng. "Aku ngga akan telepon-telepon dia lagi." Setidaknya, sampai semua orang siap menerimanya.

"Kalian putus?"

"Putus? Memangnya pernah nyambung?"

Dan Ibu pun tertawa. Dengan gembira, beliau menyendokkan lapis daging ke piringku. Ayah menatapku dan menepuk pundakku. Kurasa, dia tahu, aku hanya setengah jujur.

***

Aku masih tak bisa menepis analisis Aghnia dari kepalaku. Ingin sekali aku menelepon Zea untuk mengonfirmasi, tetapi itu akan merusak usahaku untuk benar-benar memastikan apa yang sungguh-sungguh aku dan dia inginkan. Pada akhirnya, aku memutuskan untuk percaya pada kata-katanya. Jika dia berbohong ataupun dengan sengaja memanipulasiku, maka itu adalah urusannya dengan Allah, bukan aku.

Kubungkus kotak sepatu berisi kenangan itu serapi mungkin lalu kutuliskan dua kata di atasnya, Terima Kasih. Sekali lagi, kotak itu masuk ke pojok terdalam lemari pakaianku. Terhalang barisan jas dan mantel bertahun-tahun, aku hampir melupakannya.

Kututup lemari pakaian dan kubaringkan badan di tempat tidur sambil mengecek notifikasi yang tak sempat dibaca sejak semalam. Tak banyak notifikasi di hari libur, hanya notifikasi otomatis dari kalender mengenai beberapa jadwal untuk Senin lalu pesan-pesan pribadi dari Hasan, Gaia, dan yang paling lama dikirim subuh tadi, dari Zea.

Aku spontan terduduk membaca pesan dari Zea. "Pinjam jaketnya, ya. Maaf, ngga ngomong-ngomong dulu," demikian ia menulis di bawah foto dirinya yang sepertinya baru bangun tidur dengan berselimutkan jaketku.

Kuusap bibirnya yang separuh tertutup kerah jaketku. Tak sengaja, gambar itu membesar, memperlihatkan matanya yang bengkak. Dia tak berbohong. Dia benar-benar telah terlalu banyak menangis.

Ah, gara-gara Aghnia, aku jadi meragukannya. Harusnya, sebagaimana dalam bisnis, aku fokus pada apa yang bisa kukendalikan karena hanya itu yang bisa kukuasai. Soal dia berbohong atau tidak, tulus atau tidak, sudah di luar kuasaku. Itu adalah hal-hal yang harusnya kupasrahkan kepada Allah.

Kubuka aplikasi catatan, kutuliskan besar-besar sebagai judul file, Heaven for Angel. Setelah membaca ulang, kutambahkan kata My sebelum Angel. Kemudian, di bawahnya, kucatat langkah-langkah demi menyiapkan surga untuk sang bidadari.

Bismillah.

Ta'arufTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang