Pilihan Ketiga

349 73 30
                                    

Kukenakan topi agar tidak perlu terlalu banyak memperlihatkan wajah di sekolah nanti. Bukan karena malu, tetapi karena aku berencana mengubur seluruh kenangan tentang Zea di dekat pohon tanjung. Kupikir, itu tempat yang cocok.

Rasanya seperti melakukan kejahatan. Karenanya, aku akan menyiapkan donasi dua kali lipat dari biasa, sebagai ganti rugi untuk sekolah. Yah, anggap saja begitu.

Matahari sudah terbit ketika aku tiba di sekolah. Di lapangan parkir, kulihat motorku sudah tegak berdiri, sendirian menantang sinar pagi, terlihat keren sekaligus menyedihkan.

Tanpa banyak melihat kiri atau kanan, aku langsung menuju gudang, tempat tukang kebun menyimpan berbagai peralatan berkebun. Aku tahu karena dulu, setiap pagi, aku selalu mengumpulkan daun-daun kering sebelum tukang kebun mulai menyapu. Dia tidak bertanya mengapa aku melakukannya, hanya menyuruhku mengambil serokan di gudang untuk mempermudah pekerjaan.

Mungkin, sebenarnya dia tahu apa yang kukerjakan. Mungkin, dia juga tahu soal susu cokelat dan catatan-catatan yang kutinggalkan di bawah pohon tanjung. Buktinya, saat aku tidak datang pagi itu, dia menyerahkan susu cokelat dan catatan terakhirku kepada Zea. Aku tidak yakin dia mengetahui nama Zea, tetapi bukan tidak mungkin dia tahu siapa saja yang berkunjung ke kebunnya.

Tukang kebun itu sudah tua saat aku masih SMA. Aku tidak bertemu dengannya saat reuni kemarin, mungkin dia sudah wafat, mungkin juga sudah pensiun. Entahlah.

Kubawa cangkul ke pohon tanjung dan kukupas hati-hati bagian rumput seluas kotak sepatu. Aku tidak ingin membunuh rumput-rumput itu, semoga dengan begitu, mereka semua dapat tetap tumbuh setelah kembali ke tempat tumbuhnya.

Saat aku mengangkat cangkul untuk menggali lubang, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki dari kejauhan. Refleks, aku beranjak, bersembunyi di balik pohon tanjung.

Aku tahu, itu bukan tempat sembunyi yang ideal. Diameter pohon tanjung hanya selebar bahuku, siapa pun yang lewat pasti bisa melihatku jika memperhatikan batang pohon dengan saksama.

Langkah kaki itu terhenti ketika suaranya telah dekat dengan pohon tanjung. Kemudian sepasang tangan terulur dan, sebelum aku sempat bereaksi, berhasil meraih lenganku.

Awalnya aku ingin lari, tetapi lengan jaket yang menutupi tangan itu hingga pergelangan membuatku terpaku, terlihat mirip sekali dengan jaketku.

Sepasang tangan itu ditarik, lalu dari balik pohon, muncul wajah yang ingin kukubur dalam-dalam. "Rofiq?" tanyanya tak percaya, "ngapain kamu di sini?"

Aku menelan ludah, sedikit melirik ransel yang tertinggal di dekat cangkul, lalu menjawab dengan suara senormal mungkin, "Zea, ngapain di sini? Pake jaketku?"

Dia terkejut, dan spontan merapatkan jaketku ke tubuhnya sembari bersedekap. "Oh, ini ... dingin ... jadi ..." Diurainya dekapan tangan, dan dilepasnya jaket.

"Ngga usah, pakai aja. Pagi ini memang agak dingin," kataku.

Dia berpikir sebentar, kemudian kembali merapatkan jaket. "Jaketmu hangat dan nyaman," katanya dalam senyuman.

Itu kata-kata yang kutulis di chat. Dia mengembalikannya dengan sangat manis, hampir seperti tak sengaja.

Aku mengangguk dan membalas, "Kamu suka?"

Dia mengangguk dengan senyum yang makin lebar.

"Buat kamu aja kalau kamu suka."

Matanya berbinar gembira. "Beneran? Boleh buat aku?"

Aku mengangguk, tak dapat menahan senyum melihatnya begitu senang. Itu hanya selembar jaket, apa hebatnya?

"Makasih," katanya, lalu duduk bersandar di pohon, menyamping diriku.

Ta'arufTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang