Kepalang Basah

342 65 12
                                    

"Apa?" tanya Zea, antara ingin tahu dan insecure.

Haruskah aku menceritakannya? Sebuah cerita panjang yang sebenarnya tidak terlalu menyenangkan.

"Ayo, pulang," kataku, mengambil jaket yang tersampir di kursi, "kuceritakan sambil jalan."

Dia terlihat ingin membantah awalnya, tetapi kemudian mengikutiku, berpamitan kepada Nia dan suaminya.

Begitu sampai di luar, cuaca terasa begitu berbeda. Seingatku, sebelum masuk auditorium, langit masih biru dan matahari bersinar terang. Namun, ketika keluar dari ruangan, awan hitam sudah bergulung-gulung di angkasa.

"Kenceng banget anginnya," komentar Zea, "apa mau puting beliung?"

Aku hanya bisa mengangkat bahu, cuaca bukanlah keahlianku. Namun, angin yang bertiup saat itu memang terasa sedikit berbeda.

"Kalo beneran puting beliung, gimana?"

"Ya, mau gimana lagi? Seenggaknya aku bisa memastikan kalau kamu aman," balasku, tanpa mengalihkan pandang dari dedaunan yang melayang membentuk lingkaran tak jauh dari tempat kami berjalan. Tampaknya, kekhawatiran Zea akan terbukti.

Tiba-tiba, Zea berhenti, mengambil ponsel dari tasnya. Aku tak begitu memperhatikan percakapannya di telepon, dedaunan yang semakin tinggi diterbangkan angin terlihat lebih mengkhawatirkan.

"Trus, Ayah di mana sekarang?" Suara Zea terdengar panik. "Ya, ini aku lagi jalan ke parkiran. Nanti aku langsung ke sana."

"Ada apa?" tanyaku.

"Ibu muntah-muntah, lemes. Ini lagi dibawa Ayah ke rumah sakit," katanya dengan mata berkaca-kaca, "padahal tadi pagi masih sarapan, loh."

Angin makin kencang, menerbangkan helaian rambutnya tak tentu arah. Namun, Zea tak peduli. Dia terus saja berjalan cepat, nyaris berlari menuju parkiran. Di depan mata, tenda-tenda pameran bergoyang-goyang, mencoba bertahan dari embusan angin.

Orang-orang berlarian keluar tenda, menuju gedung kelas, tak jauh dari situ. Zea terhenti, melihat orang-orang yang berlari berlawanan arah dengannya.

"Ayo!" kataku, menarik tangan Zea agar ikut berlari menuju gedung yang pasti lebih kokoh. Sekilas, kulihat salah satu tiang tenda telah lepas dihempas angin.

Gedung itu segera dipenuhi anak SMA yang melarikan diri dari tenda pameran. Mereka berceloteh sambil menganalisis apa yang baru saja dialami. Beberapa bahkan langsung menggelar livestreaming di medsos.

Aura kepanikan mengental di udara, menyesakkan dada. Terlalu banyak orang, terlalu bising, kepalaku mulai pusing.

Kutarik Zea melewati kerumunan, naik ke lantai dua, tempat area kelas berada. Berada di kerumunan yang tak bisa dikendalikan selalu membuatku sesak napas. Aku perlu mencari udara segar, di tempat yang tidak terlalu banyak orang.

Tiba di lantai dua, baru rasanya bisa bernapas lega. Dari jendela di ujung koridor, bisa kulihat angin yang berputar kencang menerbangkan dedaunan dan ranting-ranting kecil.

"Ehm, kamu mau gandeng tanganku sampai kapan?"

"Eh?" Baru sadar, tangannya masih ada dalam genggamanku. "Maaf." 

"Ngga apa-apa," katanya lemah, lalu bersedekap, ikut memandang ke luar jendela. Angin masih ribut menerbangkan dedaunan. Tetes hujan mulai jatuh satu-satu, lalu menjadi banyak, memukul-mukul jendela seperti sabetan cambuk air.

"Parah banget, kayanya. Apa ini kejadian di seluruh Jakarta?" tanyanya semakin khawatir, "eh, di parkiran gimana, ya?" Cepat-cepat, dia berbalik menuju kelas A yang berada tepat di samping tangga.

Ta'arufTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang