Seharian maraton rapat sambil membenamkan diri dalam tumpukan dokumen membuat perhatianku teralihkan sementara. Jam makan siang pun hampir saja terlewatkan andai seorang OB tidak menyapa sembari bertanya, "Sup ayamnya masih ada, Pak. Apa mau buat makan siang?"
Saat itu baru aku teringat pada pertemuan Zea dengan Ibu. Setelah meminta si OB untuk membawakan sup ayam ke ruanganku, aku pun menelepon Zea. Tiga kali menelepon, tidak satu pun diangkat. Aku beralih menelepon Aghnia, tetapi hasilnya tidak berbeda. Akhirnya, aku hanya makan siang sembari berdoa, semoga Zea dapat meluluhkan hati Ibu.
Meski begitu, aku tak bisa menepis kekhawatiran dari benak. Hingga jam istirahat siang berakhir, Zea belum juga membalas teleponku. Di kepalaku hanya ada dua kemungkinan, dia memang sibuk sekali atau pembicaraan dengan Ibu tidak berjalan lancar sehingga dia tak mau bicara denganku lagi.
Namun, aku berusaha keras menepis kemungkinan kedua. Jadi, kubuat kemungkinan ketiga, mereka tidak jadi bertemu, sehingga tidak ada yang perlu dibicarakan. Meski kutahu, kemungkinan terakhir itu sangat kecil probabilitasnya.
Akhirnya, kusudahi semua kekhawatiran dengan mengirimkan tiga baris pesan chat.
"Jadi ketemuan sama Ibu?"
"Gimana hasilnya?"
"Kabari segera, okay? Supaya kita bisa bikin plan B."
Kemudian kutambahkan satu baris lagi sebagai penutup, "Kalau diperlukan."
Setelah memastikan bahwa seluruh pesan telah terkirim, kuheningkan ponsel lalu segera berpindah ke mode direktur pemasaran dan masuk ruang rapat. Setelah rapat selesai dan jam kerja berakhir, baru aku mendapat kesempatan mengecek ponsel lagi.
Zea mengirimkan balasan berupa voice chat dengan suara bernada tinggi, "Plan B? Katanya kalau Ibu ngga setuju sama aku, kamu bakal manut, siapa pun pilihan Ibu? Kaya gitu kamu masih ngomongin plan B? Kaya gimana plan B yang kamu pikirin?"
Aku terkesiap dan buru-buru menelepon Zea untuk menjelaskan. Lagi-lagi tidak diangkat. Kulirik jam di pergelangan tangan, pukul setengah enam sore. Mungkin dia sedang dalam perjalanan pulang.
Segera kuminta sekretarisku untuk menyiapkan mobil. "Pulang sekarang, Pak?" tanyanya agak bingung.
Dia pasti heran karena aku tidak lembur. Biasanya, aku memilih untuk salat maghrib di kantor dulu sebelum kembali ke rumah. Apalagi belakangan malah aku menyuruhnya pulang duluan agar tidak kemalaman di jalan karena terpaksa menungguku yang lembur sampai lewat pukul sembilan. "Apa saya tidak boleh pulang tepat waktu?" balasku sedikit tajam.
Sekretarisku itu sedikit terkesiap, mungkin menyadari perubahan mood-ku yang mendadak.
"Maaf, saya hanya ingin segera pulang," imbuhku dengan secuil rasa bersalah.
"Baik, Pak. Segera saya kabari Pak Ali." Kemudian dia keluar, meninggalkanku yang masih berusaha menetralkan debar jantung, juga perasaan. Aku harus tenang, tidak boleh terbawa perasaan lalu mengambil keputusan yang salah. Nyaris membentak sekretaris yang tidak tahu apa-apa, misalnya.
Setelah mengambil dan mengembuskan napas beberapa kali, aku kembali membuka mata dan meraih ponsel. Kubalas pesan suaranya dengan suara juga, "Sejujurnya, aku ngga punya plan B." Kulepaskan jempol dari layar, dan pesan singkat itu otomatis terkirim.
Kembali, aku menghela napas. Sulit sekali, ternyata, bicara dengan tenang tanpa melibatkan emosi. Baru kusadari, pikiranku benar-benar tak berdaya saat berhadapan dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan Zea.
Setelah cukup tenang, kembali kutekan tombol untuk merekam pesan suara. "Aku yakin, kamu pasti bisa meluluhkan hati Ibu. Karenanya, aku sama sekali tidak menyiapkan plan B." Sekali lagi, aku harus menghela napas, mencari kata-kata yang tepat untuk melanjutkan.
"Namun, aku sadar, tidak ada rencana yang sempurna. Mungkin, ada hal-hal yang tidak bisa kuprediksi, jadi ...."
Kuhela napas lagi. Udara terasa begitu sesak padahal hanya ada aku sendiri di ruangan. "Jadi, mungkin aku salah. Dan, kalau memang aku salah, maka aku harus memperbaikinya. Makanya, kita bikin plan B, karena ini menyangkut hidupmu juga, jadi harus kita putuskan bersama."
Tiba-tiba, aku merasa telah salah bicara. "Maaf, tadi pagi sudah memutuskan langkah tanpa bicara dulu denganmu. Aku pastikan bahwa ini tidak akan terulang lagi. Maaf."
Begitu aku mengangkat jempol dari layar, mataku langsung tertumbuk pada sekretarisku yang sudah berdiri di celah pintu. Dia terkesiap, tetapi segera menguasai keadaan. "Pak Ali sudah siap, Pak," katanya.
Aku mengangguk. "Terima kasih, saya turun sekarang."
Dia membalas dengan anggukan sebelum berbalik.
"Ehm, Wenda."
Dia menghentikan langkah dan berbalik. "Ya, Pak?"
"Saya tahu kamu tidak suka bergosip."
Dia terlihat agak menahan tawa. "Betul, Pak. Gosip hanya buang-buang waktu. Kalau Bapak butuh bantuan menyebarkan undangan, saya siap," balasnya dengan nada bercanda.
Kubalas candaannya dengan melengkungkan bibir yang kuyakin bisa membentuk senyuman. Sejujurnya, aku tak yakin benar-benar sanggup tersenyum sore itu. Bahkan saat Pak Ali membukakan pintu mobil dengan senyum lebar pun, aku tak berminat membalasnya.
"Langsung pulang atau ke rumah Bu Zea, Pak?" tanya Pak Ali sebelum menjalankan mobil.
Pertanyaannya terdengar mengherankan. "Kok, tahu saya mau ke rumah Zea?"
Di kaca spion tengah, Pak Ali tampak gelagapan. "Ehm, ngga, cuma kalau saya sekusut Bapak, saya akan langsung nyari istri."
Kuhela napas panjang. "Tapi dia bukan istri saya," jawabku untuk diri sendiri.
"Belum, Pak?" balas Pak Ali, melempar lirikan kepadaku melalui kaca spion.
"Ya, belum," jawabku, akhirnya bisa sedikit tersenyum. Belum, berarti akan. Aku sedang mengusahakannya agar terwujud. Pasti terwujud, jika Allah mengizinkan. Aku akan merayu-Nya dengan segala usaha.
***
Sudah adzan isya saat mobil memasuki komplek perumahan Zea. Kuminta supir untuk menepi ke masjid sebelum ke rumah Zea. Di sana, aku bertemu dengan Ayah Zea yang juga salat berjamaah di masjid. Bersama-sama, kami kemudian ke rumahnya.
"Zea berubah sekali sekarang," Ayah Zea memulai pembicaraan begitu mobil berjalan menuju rumahnya, "dia kelihatan lebih semangat menjalani hidup."
Aku hanya manggut-manggut, bingung mau merespons bagaimana.
"Pasti itu karena kamu, ya?" Ayah Zea menoleh, memandangku.
Tatapannya membuatku sedikit canggung. "Ehm, saya pikir, itu karena Zea menang gadis yang hebat."
Ayah Zea tersenyum dan kembali menatap ke depan. "Sudah lama saya tidak melihat dia seperti itu. Terakhir kali, rasanya waktu dia merengek minta kuliah di luar negeri."
Aku manggut-manggut, menyimak cerita yang belum pernah kutahu.
"Waktu itu, pacarnya, sekarang sudah mantan ...." Ayah Zea menatapku sambil menekankan kata mantan. "... kuliah di luar negeri. Katanya, dia juga harus kuliah di luar negeri agar sepadan kalau nanti mereka menikah."
Aku masih mengangguk-angguk, ternyata dia melanjutkan kuliah di luar negeri demi pacarnya. Sebanyak itu pengorbanan Zea untuk pacarnya, pantas sakit hatinya pun demikian dalam ketika tahu lelaki itu berselingkuh.
"Sekarang, dia kelihatan jauh lebih ceria daripada waktu itu. Terima kasih," ujar Ayah Zea, tulus, "tolong, jaga dia baik-baik."
Aku menelan ludah. Di mulut mengucap, "InsyaaAllah." Di hati, aku masih belum yakin bagaimana masa depan kami.
![](https://img.wattpad.com/cover/302837145-288-k746522.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ta'aruf
RomanceAku tak berminat menikah, tetapi begitu dia menolakku, kupikir, menikah bukan hal yang buruk.