Kesedihan

295 65 16
                                    

IGD ramai sekali. Dua ambulans datang hampir bersamaan dengan raungan sirine yang melengking minta perhatian. Dua buah brankar dibawa masuk dengan sangat cepat oleh beberapa orang perawat sebelum ambulans berikutnya datang lagi. Tampaknya ada kejadian besar tak jauh dari sana.

Di lobi IGD, aku berhenti sebentar dan melipat payung, sementara Zea langsung merangsek masuk, menembus kerumunan. Setengah baju dan lengan kiriku basah kuyup, dingin pun mulai menjalar ke seluruh tubuh. Aku harus mengeringkan badan dan pakaian untuk mencegah flu dan demam menyerang. Untung, handuk yang dipinjamkan Zea masih kulingkarkan di bawah kerah demi menahan tetes-tetes air yang masih meluncur dari ujung-ujung rambut.

Setelah sedikit mengeringkan kemeja dan lengan, aku masuk mencari Zea di IGD. Suara langkah kaki berbaur dengan suara-suara manusia yang seolah-olah berebutan menarik perhatian. Aku tidak pernah suka suasana bising dan ramai seperti itu. Hampir aku berbalik menghindar, tetapi mengingat Zea, aku harus kuat.

Selangkah demi selangkah masuk sambil mengedarkan pandang mencari sosoknya. "Maaf, Pak," seorang perawat lelaki tiba-tiba menghadangku, "yang tidak berkepentingan harap menunggu di luar."

Aku menahan langkah, tak mau beranjak. "Saya mencari Ibu Sri Sundari," kusebut nama ibu Zea yang sudah kuhafal sejak SMA, tak disangka, bertahun-tahun kemudian ada gunanya, "tadi saya mendapat kabar bahwa beliau dibawa ke sini."

Perawat itu kemudian memanduku menuju meja pendaftaran. Di sana, Zea terlihat beradu mulut dengan perawat lain. "Ada jaminan, ngga, kalau saya urus administrasinya, ayah saya akan langsung ditangani?" katanya dengan nada tinggi yang membuat dadanya naik turun.

"Kami akan menangani sesuai urutan prioritas. Mbak lihat sendiri ada banyak pasien saat ini," perawat itu menjawab dengan nada yang disabar-sabarkan.

"Kalau gitu, saya bawa aja ...."

Kupotong kalimatnya dengan satu bisikan, "Biar aku yang urus."

Dia agak terperangah, melihatku sudah ada di sampingnya, lalu pecahlah tangisnya. "Ayah kecelakaan, Fiq. Mobilnya kena pohon tumbang. Ngga tahu, deh, itu kakinya patah apa gimana," ceritanya meluncur cepat, seolah-olah tanpa spasi dan koma.

Pantas dia sepanik itu. "Kalau gitu, kamu temani Bapak dulu aja."

"Ibu juga." Tangisnya makin keras. "Sekarang ngga sadar di sana."

Ternyata benar-benar kacau. "Ibu sudah ditangani?"

"Itu lagi ditangani," katanya, menunjuk satu bagian yang ditutupi tirai, "tapi Ayah masih belum diapa-apain, dan mereka cuma minta-minta administrasi terus." Lalu beralih ke perawat di balik meja pendaftaran, "Kita pasti bayar, kok!" ucapnya ketus.

"Iya, pasti akan kita tangani sesuai kegawatannya," si perawat berusaha menjelaskan.

"Temenin Bapak dulu aja, sambil nunggu dokter," kataku, mengusap lengannya, sambil mengarahkan ke tempat ayahnya terbaring.

Dia tak membantah, lalu perlahan membersihkan air mata di pipinya dan berjalan menuju tempat tidur sang ayah. Di meja pendaftaran, aku duduk mengurusi pernik-pernik administrasi.

***

Hanya sebentar di IGD, begitu sadar, Ibu Zea segera dipindahkan ke kamar perawatan. Kami pun berbagi tugas, Zea menemani ibunya di kamar, sedangkan aku menunggui ayahnya hingga mendapatkan tindakan.

Ayah Zea mengalami keretakan pada tulang paha akibat tertekan setir yang dihantam pohon tumbang. "Geser sedikit saja, pohonnya kena kepala saya," katanya dalam nada bercanda.

"Alhamdulillah, ya, Pak," kataku, mendorong kursi rodanya ke kamar Ibu Zea. Dia sudah diperbolehkan pulang, tetapi ingin bertemu dengan istrinya terlebih dahulu.

"Saya tidak menyangka, kamu masih berhubungan dengan Zea," kata Ayah Zea, mengalihkan topik pembicaraan.

"Iya, Pak."

"Saya kira, kamu pasti marah atau bahkan dendam karena ditolak begitu saja tanpa alasan yang jelas."

"Saya bisa memahaminya, Pak."

Ayah Zea manggut-manggut sembari menghela napas. "Ini bukan karenamu, kamu tahu itu, kan?"

"Iya, Pak."

"Itu karena Zea memang tidak layak untukmu."

Aku menghela napas, tak tahu harus membalas apa.

"Jadi, jangan sampai Zea menghalangimu untuk bertemu dengan gadis lain yang memang layak untukmu."

Aku kembali menghela napas. "Iya, Pak." Tak ada jawaban lain yang kurasa lebih tepat.

"Kamu tidak sedang mengharapkan Zea, kan?"

Aku tak bisa menjawab.

"Dia benar-benar tidak ingin menikah." Ayah Zea menghela napas dalam. "Buat dia, pernikahan itu adalah beban bagi perempuan."

Aku ikut-ikutan menghela napas.

"Ibunya menangis berhari-hari karena merasa telah menunjukkan contoh yang salah tentang pernikahan." Ayah Zea memberi jeda dan mengusap matanya. Perlahan, dia mengembus napas.

Kuhentikan kursi roda tepat di depan pintu kamar Ibu Zea. "Kita sudah sampai, Pak. Apa mau masuk sekarang?"

Ayah Zea mengangguk, lalu kubukakan pintu untuknya. Di dalam kamar, Zea menelungkupkan wajah di tepi tempat tidur ibunya. Saat mendengar suara kursi roda, baru dia mengangkat wajah. Matanya sembap, hidungnya merah, dan pipinya basah, khas seseorang yang baru saja menangis hebat.

Melihat kedatangan sang ayah, tangisnya kembali meledak. "Maafin aku, Ayah," katanya di sela tangis yang menggema. Kulirik, Ibu Zea hanya membuang muka.

Ta'arufTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang