Pilihan

354 68 29
                                    

Sup itu enak.

Rasanya tidak sekaya dan sesegar buatan Ibu, tetapi enak. Maksudku, sup itu mampu membuatku tersenyum di tiap suapannya. Seenak itu rasanya.

Setelah mangkuk sup licin, aku baru ingat, belum sempat berterima kasih kepada Zea. Kupotret mangkuk yang telah kosong dan kukirimkan kepadanya dengan tulisan, "Terima kasih. Rasanya hangat dan nyaman."

Tak ada jawaban, tetapi aku tahu pesan itu telah sampai di ponselnya. Mungkin Zea sudah tidur. Dia pasti lelah sekali seharian. Kata orang, beban emosional bisa menggandakan kelelahan fisik berkali-kali lipat. Entah benar, entah tidak, aku belum pernah menemukan timbangan kelelahan.

Saat adzan subuh berkumandang, aku bangun dengan badan segar. Pening di kepala hilang, begitu pula demam di badan. Bahkan, mangkuk kosong beserta breakfast table pun sudah tidak ada di tempatnya.

Ibu benar, aku memang bisa tidur sangat nyenyak setelah menghabiskan semangkuk sup ayam ala Prancis itu. Entahlah, apakah itu karena supnya memang manjur atau karena Zea yang memasaknya dengan sepenuh hati.

Karena merasa sudah sehat, aku berangkat ke masjid untuk salat subuh. Udara subuh itu terasa sangat sejuk dan segar, mungkin karena hujan deras kemarin atau memang hanya perasaanku yang sedang sangat lapang.

Pulang salat, Ayah mengajakku bicara sambil jalan, "Jadi hubunganmu dengan Zea masih berlanjut?"

"Hm, kita tidak boleh memutus tali silaturahmi."

Ayah tersenyum, mengangguk. "Sekadar menjalin silaturahmi?"

"Apa tidak boleh?"

Ayah mengangguk dengan sedikit menghela napas. Tangannya bergerak-gerak ke samping dalam gerakan senam ringan untuk peregangan otot. Udara subuh itu memang sangat segar, sayang sekali jika disia-siakan. Aku pun turut menghela napas, mengambil udara hingga sepenuh paru-paru.

"Ayah hanya mengingatkan, jangan sampai kamu menginvestasikan perasaan dengan sia-sia," lanjutnya lagi.

"Maksudnya?"

Ayah diam sejenak. "Memberikan perasaan kita kepada seseorang berarti mengeluarkan energi untuknya. Jika dia membalas perasaan kita, energi itu akan kembali berlipat-lipat, tetapi kalau dia tidak membalas, lama-lama kita akan kehabisan energi."

Aku terdiam. Perumpamaan yang digunakan Ayah terasa sangat menohok. Aku pernah melakukannya, menghabiskan energi sehabis-habisnya untuk gadis yang bahkan mengetahui keberadaanku pun tidak, jangankan menyadari kehadiranku. Tiga tahun di SMA, tiga setengah tahun setelah lulus SMA, akhirnya energiku habis, aku berhenti memikirkannya dan pelan-pelan melupakannya.

"Kurasa Ayah ada benarnya," jawabku, hampir seperti menggumam sendiri.

Angin pagi yang sejuk bertiup lembut, membuat Ayah melipat tangannya di dada. "Pernikahan itu memberi kita ruang investasi yang nyaman. Di dalamnya, kita tahu, kita tidak sendiri. Perasaan kita akan berbalas. Ada komitmen yang disahkan di hadapan Allah di dalamnya. Hubungan di luar pernikahan tidak bisa memberikan jaminan seperti itu."

Aku hanya manggut-manggut. Bicara pernikahan dengan Ayah, seperti sedang membeli jam terbang dari seorang master, lebih baik terima dan pahami saja.

Sesampainya di rumah, kami langsung menuju dapur, mencari pengisi perut menjelang sarapan. Aghnia masuk dengan pengumuman, "Aku mau bikin teh manis, ada yang mau?"

Ayah mengangkat tangan. "Jahe anget, please, Ayah butuh kehangatan," katanya.

"STMJ," kataku, ikut-ikutan mengangkat tangan, "aku butuh energi banyak untuk pemulihan."

Ta'arufTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang