Bukan Jaka Tarub

312 84 22
                                    

"Aku juga kangen," katanya dengan senyum semanis gula merah.

Aku yang tadinya ingin sedikit berkilah jadi kehilangan kata-kata. "Ehem, yah, akhir-akhir ini aku sedikit kacau."

"Karena kangen?" tanyanya dengan tatapan antara menyelidik dan menggoda.

"Ehm, ya, salah satunya."

Dia tertawa kecil, menelungkupkan sendok di mangkuk. Aku mengikuti gerakannya hingga pelayan yang tanggap kemudian mengambil mangkuk sup dari meja kami.

Gerakan pelayan yang cekatan cukup memberi jeda bagiku untuk sedikit bernapas dan menyusun ulang kata-kata. "Ada perubahan besar yang terjadi di perusahaan," kataku memulai topik yang menjadi alasanku mengundang Zea untuk bertemu.

Dia memajukan badan, siap menyimak dengan perhatian penuh. Kuceritakan dengan runut mengenai rencana ekspansi ke Papua Nugini hingga pada keputusan penunjukanku sebagai kepala cabang di sana.

Zea terlongong mendengarnya. "Berarti kamu mau pindah ke sana?"

"Aku masih minta waktu seminggu untuk memikirkannya. Aku ingin tahu dulu, bagaimana pendapatmu?"

"Kalau kamu pindah, trus gimana kita?"

"Makanya aku minta pendapatmu."

Zea menyandarkan punggung dan melipat tangan di dada. "Apa pendapatku penting?" Aku mendengar kekesalan yang tertahan dalam suaranya.

"Kamu ada dalam visi masa depanku, tentu pendapatmu sangat penting."

Dia diam, menatapku dalam. "Aku ngga bisa," ujarnya datar, "aku ngga bisa ikut pindah ke sana dan aku ngga mau LDM-an. Jauh-jauhan sama kamu itu penyiksaan."

Jika baginya penyiksaan, apalagi bagiku. Aku bahkan hampir membakar rumah karenanya. "Kamu mau aku tolak penawaran itu?"

Dia diam. Ujung telunjuknya kembali mengusap-usap embun di dinding gelas.

"Kalau menolak, maka kemungkinan besar, aku akan dipaksa resign. Itu berarti jadi pengangguran. Untuk beberapa bulan, mungkin masih bisa bertahan dengan tabungan, tapi belum pasti juga seberapa cepat aku bisa dapat pekerjaan lagi."

Zea menghela napas, memajukan badannya, mendekat ke meja. "Sekarang, aku baru mulai merintis usaha konsultan bareng teman-teman. Aku jadi investor utamanya, sekaligus pimpinannya. Mulai tanggal 27 nanti, aku resmi resign dan fokus di konsultan milik sendiri. Kita baru mulai, tapi udah dapat proyek rest area di tol lintas sumatera. Sekarang juga lagi ikut tender buat bikin area transportasi terpadu di Kalimantan. Semua baru merintis, jadi ngga mungkin ditinggal gitu aja."

Aku manggut-manggut. Zea ternyata makin bersinar ketika menjauh dariku. "Luar biasa. Ya, perusahaan baru pasti butuh energi besar. Semangat!"

Dia tersenyum lebar. "Thanks. Selain itu, Ayah sekarang juga makin seperti anak kecil. Kadang-kadang kaya orang pikun, suka tiba-tiba ada di luar, tapi ngga tahu mau ngapain. Ibu jadi capek banget ngurusin Ayah. Dalam kondisi kaya gitu, ngga mungkin aku ninggalin Ibu sama Ayah berdua aja. Kasian."

Lagi-lagi, aku tak bisa membantah. "Dalam kondisi seperti itu, ibumu pasti bersyukur sekali sudah memutuskan untuk menikah dan punya anak. Semua kesulitan yang pernah dialaminya pasti sepadan dengan putri hebat yang menemani di hari tua."

Zea tertegun. Tak ada kata-kata yang keluar lagi dari mulutnya. Dia seperti terlempar ke alam lain hingga pelayan tiba dan menyajikan steak pesanan kami.

Pelan-pelan, dia memotong daging steak yang sangat lembut dan terasa lumer di mulut. Setelah beberapa suapan, baru dia mulai bicara lagi, "Apa gini caranya kamu mutusin aku?"

Ta'arufTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang