Sejujurnya, aku tak sabar menunggu Sabtu, bahkan besok pun terasa terlalu lama. Padahal, kesabaran adalah sesuatu yang penting dalam pengambilan keputusan. Seperti kata orang bijak,
... only fools rush in,
but I can't help falling in love with you.
Begitu Aghnia keluar dari ruanganku, kukirim pesan chat kepada Zea, "Ada yang perlu kubicarakan. Kapan kamu ada waktu?"
Tak sampai semenit, balasannya masuk ke ponselku, "After hours?"
Aku tertegun membaca balasannya. Biasanya dia akan menulis panjang lebar, ditambah emoji di sana-sini. Segurat kekecewaan seketika muncul di sudut hatiku. Namun, aku tak akan memperpanjangnya, lebih baik fokus pada tujuan semula. "Okay," balasku, "kujemput jam lima?".
"Kirim saja lokasinya, aku bawa mobil."
Meski sedikit kecewa karena waktu untuk bersamanya menjadi lebih sedikit, tetapi aku tetap mereservasi satu meja di restoran dan mengirimkan lokasinya kepada Zea. "Meja atas nama Rofiq Muhammad," tulisku sebagai caption.
"Noted," balasnya, singkat padat, jelas, dan sukses memasygulkan hatiku.
Kuabaikan kekecewaan yang makin bersarang dan tetap fokus pada rapat siang hingga sore itu. Mereka akhirnya bulat memutuskan untuk mengirimku sebagai kepala cabang di Port Moresby. Meski demikian, aku meminta waktu satu pekan untuk memikirkannya.
Aku bisa saja menolak, tetapi itu bisa berarti harus terdepak. Seorang yang dekat dengan bos besar di Amerika sudah siap mengambil alih posisiku. Buatku yang hanya bermodalkan kerja keras, itu sama saja dengan pensiun dini.
***
Aku sedikit terlambat karena macet. Begitu tiba di restoran, aku segera menuju musala yang disediakan untuk salat maghrib. Tak kusangka, di sanalah aku bertemu Zea. Dia tiba-tiba menghentikanku yang hendak mengangkat takbiratul ihram. "Afwan, apa kita bisa berjamaah?" pintanya sopan.
Saat aku menoleh ke belakang, dia sama terkejutnya denganku. Untuk beberapa saat, aku tak bisa berkata-kata dan hanya menjawab dengan anggukan. Untuk kedua kali, dia yang lebih dulu mengambil inisiatif. Bisa dibilang, aku selalu kalah langkah darinya.
Kami berjalan bersama keluar musala menuju meja yang sudah kupesan. Dia mengenakan hijab yang rapi dan modis dipadankan dengan blazer serta rok panjang. "Ganti gaya?" tanyaku sedikit berbasa-basi.
Dia tersenyum. "Bagaimana menurutmu?"
"Aku selalu suka gayamu. Seragam cheerleader atau berhijab seperti ini, semua terlihat sangat cantik."
Dia tergelak. "Aku agak sedih membaca chat-mu tadi siang," katanya dengan nada sedikit lega, "story-mu manis-manis banget, bikin semangat tiap kali baca. Aku sampai SS semua story-mu, loh, buat reminder kalo ada kamu yang nunggu hasil belajarku."
Aku begitu tersanjung hingga tak mampu berkata-kata.
"Eh, ternyata, kamu cuma dingin di chat, ya? Aslinya memang manis seperti di story," lanjutnya, sedikit mengerling kepadaku.
Aku hanya membalas dengan dehaman. "Baiklah, lain kali aku akan menulis chat dengan lebih manis."
Dia tertawa kecil. "Ngga apa-apa, aku ngerti, kok. Kita belum ada hubungan apa-apa, kan? Memang seharusnya begitu ngomong sama lawan jenis yang bukan mahrom, kan? Straight to the point. Seenggaknya aku bisa yakin, kamu ngga suka flirting sembarangan."
Penjelasannya tentang mahram dan hubungan lelaki-perempuan membuatku sedikit terpana. "Jadi selain tentang aurat, kamu juga belajar lagi soal mahrom?"
Dia tergelak, dan terlihat ingin menjelaskan, tetapi seorang pelayan keburu menghentikan kami untuk menanyakan tentang reservasi meja. Setelah kusebutkan tentang meja yang kupesan, dia pun memandu dengan sopan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ta'aruf
RomanceAku tak berminat menikah, tetapi begitu dia menolakku, kupikir, menikah bukan hal yang buruk.