Zea menatapku sembari mengetuk-ngetukkan kunci mobilnya ke meja. "Aku ngga tahu," katanya setelah beberapa saat.
"Kalau begitu, bagaimana aku bisa meyakinkanmu bahwa pernikahan memang seharusnya meningkatkan kualitas hidup, bukan malah menurunkannya?"
Dia tersenyum sinis. "Bagaimana kamu bisa yakin bahwa pernikahan meningkatkan kualitas hidup, padahal terbukti bahwa pernikahan berada di urutan teratas penyebab stres seseorang?"
Lagi-lagi dia mengejutkanku dengan informasi baru. Di kepala, aku membuat pengingat penting untuk mencari rujukan tepercaya mengenai pernikahan. "Karena pernikahan itu menggenapkan agama kita, jadi tak mungkin merupakan sesuatu yang merusak."
Zea tertawa kecil dengan nada mengejek. "Aku ngomongin fakta berbasis logika dan kamu menjawabnya dengan iman yang basisnya cuma percaya tanpa tapi." Dikedikkannya bahu sedikit. "Yah, dari sini saja sudah terlihat bahwa cara pikir kita berbeda. Ini sudah cukup jadi alasan agar tidak menikah."
"Sebaliknya," jawabku cepat, "buatku, itu justru jadi alasan penguat bahwa kita sebaiknya menikah."
"O, ya?" balasnya, tanpa menyembunyikan sedikit pun nada meledek dalam suaranya.
"Yap. Itu sebabnya aku suka bertukar pikiran denganmu. Kamu memiliki insight menarik dan memandang sesuatu dengan cara berbeda. Buatku, itu memperluas cakrawala pemikiranku sendiri dan membuatku melihat sesuatu dengan cara yang berbeda."
Dia tertawa kecil. "Kamu laki-laki anti-mainstream, rupanya."
"Kamu belum mengenalku, rupanya."
Lagi-lagi, dia mengedikkan bahu. "Anggap saja, aku tak tertarik mengenalmu."
"Kenapa?"
Dia menatapku sebentar, lalu berkata, "Kamu laki-laki shalih, yang tiap waktu salat selalu ke masjid, yang tiap saat hanya memikirkan akhirat, yang pasti jadi idaman ibu-ibu untuk dijadikan calon mantu."
Caranya berbicara dengan ekspresi meledek membuatku tak dapat menahan tawa. "Aku tahu kamu tidak sedang memuji."
"Oh, syukurlah kalau kamu paham."
"Laki-laki seperti apa yang kamu inginkan untuk jadi suami?" tanyaku, setelah tak ada seorang pun dari kami yang mengaturkan kata.
Dia diam beberapa saat, lalu menjawab. "Aku sudah bilang, aku memilih untuk tidak menikah, jadi, tidak ada seorang lelaki pun yang ingin kujadikan suami."
Giliran aku yang terdiam mendengar jawabannya. "Apa ibumu tahu pilihanmu ini?"
Dia tak menjawab. Namun, dari tatapannya, aku tahu dia menafikan.
***
Keesokan paginya, Ayah mengetuk pintu kamarku. "Ayah Zea mengundang makan siang," katanya dengan nada datar yang menyimpan gemetar, "sepertinya bukan berita baik."
Aku membalasnya dengan senyum. "Baik," jawabku tenang.
Makan siang kali itu dilaksanakan di salah satu restoran milik keluarga Zea. Mereka menyiapkan satu ruang VIP untuk menjamu kami sekeluarga. Ibu Zea terlihat tidak sesemringah hari sebelumnya. Matanya bahkan tampak berair, seperti sedang menyimpan tangis. Ayahnya tetap menjaga penampilan penuh wibawa, meski aku merasakan jarak yang jauh lebih lebar dibandingkan ketika beliau bercanda-canda di tengah makan siang sebelumnya.
Suasana makan siang terasa dingin, ditambah lagi dengan pendingin udara yang hampir membuat ujung-ujung jari terasa beku. Zea duduk tepat di hadapanku, menyuap makanannya dengan anggun. Dia tersenyum manis kepadaku, lebih manis dari senyuman mana pun sejak kami bertemu kemarin dulu.
Setelah piring-piring makan terlihat kosong dan kegiatan mengunyah berkurang, barulah Ayah Zea memulai pembicaraan. Intinya dia ingin memperbarui apa yang sudah diputuskan sebelumnya di rumah mereka. "Zea memiliki sesuatu untuk disampaikan kepada Nak Rofiq," katanya, mempersilakan Zea untuk bicara.
Zea merapikan sendok dan garpu di atas piringnya, kemudian tersenyum kepadaku. Wajahnya terlihat jauh lebih percaya diri dari hari-hari sebelumnya. Dalam pandanganku, dia jadi terlihat jauh lebih cantik.
"Aku akan berkata jujur sama kamu," katanya dengan senyum mengembang, "aku tidak ingin menikah."
Aku membalasnya dengan senyuman disertai anggukan maklum.
"Jadi, mari kita sudahi saja rencana pernikahan ini," pungkasnya masih dengan senyum mengembang.
Suara ingus diingsut, tiba-tiba datang dari ibunya. Perempuan paruh baya itu mengusap mata dengan tisu yang baru ditarik dari kontainernya.
"Maksudnya gimana?" tanya ibuku bingung.
"Baik," potongku langsung, "saya mengerti."
"Sebentar." Ibu terdengar tidak terima. "Kamu mengerti? Maksudnya?"
Kusentuh punggung tangan Ibu untuk menenangkannya. "Terima kasih, sudah bersikap dan berkata jujur," kataku.
Dia tersenyum lega. "Terima kasih, sudah memahamiku," balasnya dengan senyum termanis yang pernah kuterima.
Siang itu tidak berakhir baik bagi keluargaku dan keluarganya. Namun, bagiku, itu adalah ta'aruf yang berakhir bahagia. Aku terhindar dari kasus pemerkosaan terencana dan Zea akhirnya bisa menyampaikan pikirannya dengan bebas kepada kedua orang tuanya. Dia benar-benar berterima kasih kepadaku karena itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ta'aruf
RomanceAku tak berminat menikah, tetapi begitu dia menolakku, kupikir, menikah bukan hal yang buruk.