Selesai acara tanya jawab, Ayah Zea mengajak kami sekeluarga untuk masuk ke halaman belakang. Ketegangan di ruang tamu serta-merta berubah karena kesegaran hamparan rumput hijau. Sebuah gazebo dibangun di atas kolam ikan koi warna-warni. Gemericik air berpadu dengan kesegaran aroma bunga jeruk yang sedang bermekaran di sudut taman, membuat syaraf-syaraf yang tegang menjadi rileks.
"Silakan, seadanya," kata Ayah Zea berbasa-basi sembari mempersilakan kami duduk di gazebo dan menyantap hidangan yang sudah ditata di atas sepra lebar.
Entah disengaja atau tidak, tiba-tiba Zea telah duduk tepat di sampingku. Ayah ibuku beserta Aghnia duduk di sebelah kananku, sementara keluarga Zea duduk manis di sebelah kirinya. Yap, aku yakin, posisi tempat duduk seperti itu pasti settingan.
Kami berbincang santai sepanjang acara makan bersama. Masing-masing bergurau tentang makanan kesukaan dan cerita-cerita kecil tentang masa lalu anak-anak. "Zea selalu minta-minta adek, tapi saya sudah disteril, jadi tidak mungkin memberinya adek. Sekarang ketemu sama calon suami yang sudah punya adek, sepertinya cita-cita Zea bakal terkabul," kata Ibu Zea setengah bercanda.
"Eh, jangan begitu, Bu. Ini calon pengantennya saja belum bilang iya atau ngga," timpal ayahnya sambil melirik kepadaku, juga masih dalam nada bercanda.
Aku tahu, itu kode buatku mulai bicara, tetapi aku hanya membalasnya dengan senyum. Jujur, aku tidak tahu bagaimana harus menjawabnya.
Zea tidak menginginkan pernikahan ini. Dia bahkan minta bertemu sebelum waktu pertemuan resmi untuk menegaskan hal itu. Meski menginginkan yang sebaliknya, tetapi aku tak mau memaksanya. Pernikahan atas dasar keterpaksaan sama saja dengan pemerkosaan.
"Bagaimana Fiq? Lanjutkan atau tidak?" tanya Ayah tajam. Suaranya terdengar seperti ultimatum, runcing menghujam jantung.
Kureguk air di gelas untuk membersihkan kerongkongan sekaligus mengambil jeda sejenak buat berpikir. Kulirik Zea, dia hanya menunduk, memandang piring makannya yang sudah kosong. Ujung jari telunjuknya mengusap-usap tepian piring perlahan. Melihatnya begitu putus asa, aku tidak tega.
"Sebenarnya, ada seseorang yang saya sukai," kataku hati-hati.
Gerakan jari Zea terhenti. Aku yakin, dia pasti menunggu kelanjutan kalimatku.
"Tapi dia ngga suka sama saya."
Jari-jari Zea perlahan mengepal.
"Sayangnya ...." Aku sengaja memberi jeda sejenak, ingin tahu bagaimana respons Zea.
Namun, dia diam saja. Seluruh tubuhnya seolah-olah sedang diam menunggu.
Akhirnya, kulanjutkan kalimatku, "Saya tidak bisa melupakannya."
Zea menoleh sedikit, tetapi tetap tak langsung menatapku.
"Apakah Zea tidak keberatan hidup bersama saya, sementara saya memikirkan perempuan lain?"
Dalam satu gerakan tajam, Zea akhirnya benar-benar mengangkat wajah, menatapku dengan kening mengernyit.
"Jika Zea tidak keberatan, kita bisa lanjutkan pembicaraan ini," kataku, menantang matanya lurus-lurus.
Aku tidak tahu bagaimana respons dari anggota keluarga lainnya. Mataku hanya menunggu reaksi dari Zea sembari menenangkan debar jantung. "Kenapa ngga nikah sama dia saja?" tanyanya.
"Maunya begitu, tapi dia ngga mau nikah sama saya."
"Kenapa?"
Aku mengangkat bahu.
"Mungkin kamu hanya perlu memintanya baik-baik," Zea menasihati dengan senyum terulas, "aku yakin ngga akan ada cewek yang bisa nolak laki-laki yang baik sepertimu. Apalagi pekerjaanmu adalah direktur di oil company dengan gaji dalam besaran dollar. Masa iya, dia masih nolak?"
Aku hanya membalas kata-katanya dengan seulas senyum sambil manggut-manggut menyetujui. Untuk sesaat dia tiba-tiba terpaku lalu membuang muka, kembali menunduk, menatap piring kosong.
"Jadi, apa itu artinya aku diterima?" tanyaku dengan nada setengah bercanda.
Ayahku dan ayahnya tiba-tiba meledak dalam tawa. "Ya, ya. Masa iya, dia masih nolak?" Ayah Zea menimpali masih sambil tertawa.
Ibu Zea kemudian memanggil pembantu rumah tangga mereka untuk merapikan piring-piring kotor dan menggantinya dengan makanan penutup. Puding serta buah pun mengambil alih peran sebagai peningkah pembicaraan tentang hari baik dan bulan baik.
Kulihat Zea tidak terlalu bersemangat. Tatapannya seperti sedang mengawang-awang, berkelana entah ke mana. Jujur, melihatnya seperti itu, menerbitkan rasa bersalah di hatiku.
Berbagai pertanyaan berkecamuk di dalam hati. Apakah aku telah berbuat zalim kepadanya? Apakah aku sudah terlalu egois, hanya memikirkan apa yang kuinginkan tanpa memedulikan apa yang diinginkannya? Apakah aku masih layak mengatakan bahwa aku menyayanginya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Ta'aruf
RomanceAku tak berminat menikah, tetapi begitu dia menolakku, kupikir, menikah bukan hal yang buruk.