Deja Vu

325 76 24
                                    

Hujan masih membandel, bahkan hingga kami tiba di rumah sakit. "Tunggu di sini," kataku mengambil jaket yang telah kulempar ke bangku belakang, "aku pinjam payung ke tukang parkir, biasanya ...."

Namun, Zea lebih dulu membuka kompartemen di dasbornya dan mengeluarkan sebuah payung lipat. Senyum lebarnya seketika menghangatkan mobil yang diguyur hujan. Jantungku berdebar cepat seiring kenangan yang memborbardir otak.

"Tunggu di situ," katanya, bersiap mengembangkan payung dan membuka pintu mobil.

Di belakang setir, kuhela napas teratur agar jantungku berhenti mengentak-entak dada. Di sela-sela wiper, kulihat Zea berjalan memutari mobil menuju pintu sopir. "Kamu ikut ke dalam, kan?" tanyanya, membuka pintu mobil.

Aku tak sanggup berkata-kata lagi, hanya mengangguk dan melangkahkan kaki keluar. Dia tersenyum sangat lebar, seperti pagi itu, merapatkan tubuhnya kepadaku agar kami berdua muat di bawah satu payung.

Aku menelan ludah dan menekan tombol kunci mobil. Semua terasa begitu sama hingga aku tak tahu harus mengatakan apa.

"Kamu tinggi banget," katanya setelah kami berjalan beberapa langkah, "kamu aja, deh, yang pegang payung, biar kamunya ngga susah nunduk-nunduk gitu."

Tatapannya, senyumannya, semua membuatku hanya bisa mengangguk. Seluruh kata yang sudah kupelajari sejak bayi seolah-olah menguap begitu saja. Lidahku benar-benar lupa bagaimana mengucap kata-kata.

"Tiba-tiba aku jadi inget sesuatu," katanya, di antara derai hujan yang tak juga berkurang derasnya, "kayanya dulu pernah gini juga, deh. Cowoknya tinggi banget, jadi waktu kuajak pake payung bareng, dia terpaksa meringkuk gitu, megangin ransel."

Tawanya berderai ketika mendongak, menatapku. "Tapi waktu itu, aku ngga berani nyuruh dia megang payung kaya gini, abis ngga kenal, sih, ntar disangka sok akrab."

"Kapan?" Akhirnya, aku sanggup juga bicara.

Dia menelengkan kepala, berusaha mengingat-ingat. "Kapan, ya? Waktu SMA, mungkin, ya. Udah lupa. Waktu itu, dia langsung kabur masuk gedung, begitu nyampe di depan pintu." Tawanya makin renyah berderai.

"Aku malah udah lupa, kaya gimana mukanya," lanjutnya lagi, sedikit menatapku, "kalo bukan karena ngeliat kamu nunduk-nunduk barusan, aku ngga akan ingat."

Aku menelan ludah, tak menyangka kami meningat peristiwa yang sama meski dengan perspektif yang berbeda. "Seenggaknya, dia ngga lupa bilang makasih."

Zea manggut-manggut. "Kayanya, sih, ya, aku ngga gitu ingat," katanya, pelan, "oh, aku ingat. Abis itu, aku minta tukeran tempat duduk, biar bisa duduk dekat jendela."

"Kenapa?"

Dia terkikik pelan. "Abis, aku penasaran sama dia."

Refleks aku mengernyit. "Apa hubungannya dengan jendela?"

"Abis, dia, kan, tinggi, kirain anak basket, gitu. Jadi, aku nyari posisi yang paling pas buat nyari dia. Kursi dekat jendela itu, kan, pas banget kalo mau ngeliatin lapangan basket."

Langkahku spontan terhenti, dan rasanya jantungku juga begitu. Dia sengaja duduk di situ untuk mencariku, sementara aku menghindarinya karena tak sanggup membayangkan penolakan. Kupikir, itu ironi terburuk abad ini.

"Kenapa?" Dia ikut-ikutan berhenti dan aku hanya bisa menggeleng. Kata-kata yang baru saja kembali, tiba-tiba menguap lagi dari lidahku.

Dia kembali berjalan begitu aku mulai melangkahkan kaki. "Tau, ngga. Gara-gara itu, aku jadi disangka ngecengin Kapten Tim Basket," lanjutnya lagi, disela sedikit tawa, "ya, udah, sekalian aja, deh, pedekate, mana dianya juga ngerespon, jadian, deh, ha ha ha."

Aku tak sanggup lagi tertawa.

"Ironis banget, ya?" lanjutnya lagi, masih dalam tawa.

Bukan hanya ironis, aku juga merasa super konyol.

"Harusnya aku berterima kasih sama dia, ya, udah bikin aku jadian sama Babang Kapten," lanjutnya lagi setengah bercanda.

Bicara soal harusnya, harusnya aku yang ada di matanya. "Ya, yang bikin kamu patah hati sampai nangis-nangis di bawah pohon."

Dia tertawa lagi. "Ya, itu pelajaran hidup," katanya, tenang, "jangan percaya sama laki-laki bermulut manis."

Ya, pelajaran hidup, jika menginginkan sesuatu, jangan ragu untuk memperjuangkannya. Betapa bodohnya aku.

Ta'arufTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang