"Kamu bilang susu kotak, kan? Seingatku, di kantin cuma ada ultra milk," balasku cepat, sekenanya.
"O, ya? Emang aku bilang susu kotak?" Matanya memandangku heran.
"Ehm, emang kamu ngga bilang?"
"Perasaan aku cuma bilang susu cokelat, deh. Soalnya, aku takjub banget, jin pohonnya itu bisa-bisanya tahu rasa favorit aku."
Aku manggut-manggut, berusaha menyembunyikan tawa. Tentu saja aku tahu. Tiap kali ke kantin, dia selalu membeli ultra milk rasa cokelat.
"Sebenernya, dokter nyuruh minum susu steril gitu, tapi aku ngga suka rasanya, eneg banget."
"Kamu disuruh dokter?"
Dia mengangguk, lalu tersenyum pahit. "Waktu SMP, kakiku pernah retak. Jadinya, terpaksa keluar dari klub senam. Pas SMA, aku maksa ikut cheers, karena itu yang paling dekat dengan senam. Pertamanya, ngga dibolehin sama Ibu, tapi aku keukeuh sampai konsultasi ke dokter. Akhirnya, berdasarkan saran dokter, Ibu ngebolehin ikut cheers, asal rajin minum susu."
Aku manggut-manggut takjub. Ternyata ada cerita tentang tekad yang kuat di balik sekotak susu cokelat.
"Jinnya perhatian banget, ya?" katanya lagi, seperti sengaja mengerling kepadaku.
"Apa itu pertanyaan?"
Dia tertawa. "Ngga. Kamu pasti bilang, itu ngga mungkin jin."
"Ya."
"Trus, siapa, dong?" Tiba-tiba dia berhenti, seperti teringat sesuatu. "Apa mungkin cowok itu, ya?"
"Cowok mana?"
"Cowok itu, yang datang trus ngomong sama pohon itu?"
"Hhh, kamu benar-benar penasaran."
"Iya, dong. Soalnya, dia selalu ngasih kalimat-kalimat yang bikin aku termotivasi. Dia bilang, never surrender, Zea! Fight, lovely Zea! Be the best, Zea!"
Aku mati-matian menahan tawa mendengarnya. Itu adalah kalimat-kalimat yang kusalin dari internet. Tidak kusangka, kalimat-kalimat sederhana itu sangat berarti buatnya.
"Ih, kamu, nih, ya. Ngga bisa menghargai orang lain."
Aku tak membantah, khawatir salah bicara lagi.
"Aku simpen, loh, semua surat yang dia kasih."
"O, ya?" Jujur, aku tersanjung mendengarnya.
"Iya. Tiap kali sedih, atau ngerasa down, pasti kubuka lagi, buat mengingatkan kalau aku sangat berharga."
Aku tak bisa berkata-kata.
"Eh, aku baru sadar!" serunya tiba-tiba, "cowok itu pake seragam yang udah dicoret-coret. Berarti dia kelas 12 juga dan cuma anak F yang coret-coret seragam." Dia menoleh sambil mencengkeram tanganku. "Berarti sekelas sama kamu, kan?"
"Aaargh!" Kenapa dia begitu pintar?
"Kamu pasti kenal dia, kan?" Dia malah mencengkeram makin kuat, padahal aku sudah pura-pura kesakitan.
"Kalau kenal, trus mau apa?"
"Ya, kenalin aku, dong."
"Kalau udah kenal, lalu mau apa?"
"Ya, aku mau bilang makasih, udah nemenin aku di waktu-waktu terendahku."
Kutatap matanya yang benar-benar tulus. Jika aku tidak memberitahunya, apa berarti aku telah berbohong kepadanya? "Itu sudah berlalu," kataku lagi, akhirnya, melepaskan cengkeraman tangannya dari lenganku, "dia ngga memperkenalkan dirinya waktu itu, kenapa kamu harus mengorek tentang dia sekarang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ta'aruf
RomanceAku tak berminat menikah, tetapi begitu dia menolakku, kupikir, menikah bukan hal yang buruk.