Step by Step

308 67 12
                                    

Hal pertama yang kutulis dalam to do list adalah mendekati Ayah. Beliau adalah seorang yang sangat logis dan rasional sehingga paling mudah untuk diajak bicara dengan tenang. Lagipula, karena sangat rasional, bicara dengan Ayah selalu memberiku wawasan-wawasan baru yang memperkaya pemikiran.

Subuh itu, aku sengaja ke masjid mengenakan jaket. Selain karena udara memang sangat dingin, juga karena kupikir jaket itu akan menjadi sarana yang baik untuk membuka pembicaraan tentang Zea.

Seperti dugaanku, Ayah memperhatikan jaket yang kukenakan subuh itu. "Masih ngga enak badan?" tanyanya seolah-olah bukan pertanyaan penting.

"Ngga. Udah enakan."

"Kalau masih ngga enak badan, ngga usah ngantor dulu. Biasa, bulan-bulan Juli-Agustus gini memang cuaca lebih dingin." Ayah menggosok-gosokkan tangan ke lengannya.

"Iya, memang lebih dingin. Cuacanya makin ekstrim sekarang. Kemarin dulu malah hujan badai," kataku melepas jaket dan menyampirkannya ke pundak Ayah, "Ayah aja yang pakai. Keterlaluan memang dinginnya hari ini."

Ayah tertegun menatapku lalu tersenyum. Harusnya, itu adalah kesempatanku untuk membelokkan pembicaraan dan mulai minta dukungan. Namun, melihat Ayah begitu tulus, aku tidak tega. Baiknya, kucari cara lain untuk bicara tentang Zea. Mungkin lebih baik benar-benar minta waktu untuk bicara man to man kepadanya.

"Jaketmu agak kebesaran," kata Ayah, melanjutkan perjalanan seraya menghirup napas dalam-dalam.

"Misi Ayah memperbaiki keturunan berhasil."

Ayah tertawa. Beliau memang sepuluh sentimeter lebih pendek dariku, padahal tingginya pun sebenarnya sudah cukup untuk jadi tentara.

"Hm, kamu pakai parfum apa ini?"

"Parfum?"

"Mirip dengan parfum Ibu, tapi sedikit beda."

"Oh, itu ...."

Ayah kemudian menyeringai tipis dan menatapku penuh tanya. "Kamu pakai parfum perempuan?"

Jelas aku terbahak mendengarnya. "Bukan. Itu ...."

"Itu hanya parfum, kan?"

Mata Ayah yang menyelidik dengan serius membuatku juga berpikir keras. "Maksudnya?"

"Ayah tidak ridha kalau kamu jadi ...." Beliau berhenti bicara seolah-olah tak sanggup melanjutkan. Matanya makin tajam menyelidik ke dalam mataku.

Di keremangan lampu jalan, aku kebingungan meresponsnya. "Jadi ...?"

"Apa itu sebabnya kamu ngga pernah tertarik pada perempuan?"

"Hah?" Spontan, aku terbahak begitu menyadari maksudnya. "Ayah ngga ngira aku gay, kan?"

Ayah mengedikkan bahu tanpa melepaskan tatapan dari mataku. "Ya, mana tahu. Sampai lewat umur 30 begini, kamu ngga pernah kelihatan suka dengan perempuan. Lalu sekarang, ternyata kamu pakai parfum perempuan yang mirip sekali dengan parfum ibumu. Apa penjelasan yang masuk akal?"

Aku berhenti tertawa, membalas tatapan beliau dengan ketenangan yang dipaksakan. "Itu parfum Zea."

Ayah ternganga, tapi kemudian tertawa lega. "Serius? Dia pakai jaketmu?"

"Yeah. Jaketku ketinggalan di mobilnya kemarin dulu. Dia memakainya agar bisa tidur."

Ayah terdiam. Meski tidak sesuai harapan, setidaknya, aku tetap bisa bicara tentang Zea dengan beliau.

Tanpa bicara lagi, Ayah kemudian melanjutkan perjalanan. Aku pun mengikutinya dengan jantung berdebar cepat, menantikan tanggapannya. "Bagaimana menurut Ayah?" tanyaku tak sabar begitu kembali berjalan di sisinya.

Ta'arufTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang