Hari baik berhasil dipilih. Kegiatan selanjutnya adalah persiapan. Ayah menyerahkan segala urusan upacara dan detail-detailnya kepada pihak perempuan. Sebagai keluarga laki-laki, kami akan mengikuti seluruh prosesi adat yang hendak digelar oleh pihak perempuan. "Yang penting akad nikahnya sah. Itu saja dari kami, keluarga laki-laki," pungkas Ayah.
"Untuk pesta pernikahan, saya mau diadakan di Disneyland Tokyo, tepat di depan kastil Cinderella," tiba-tiba Zea mengajukan permintaan yang membuat ibunya sontak bertingkah canggung.
"Ah, ngga usah terlalu megah begitu. Pesta pernikahan itu, kan, hanya sehari, yang jauh lebih penting dipikirkan adalah rencana jangka panjang untuk menghabiskan sisa hidup bersama," Ibu Zea berujar sembari menyentuh lutut anak gadisnya.
"Kalau aku tidak bisa mendapatkan pernikahan yang kuinginkan, apa aku juga tak layak mendapatkan pesta pernikahan yang kuimpikan?" Zea membalas tajam, membuat kedua belah bibir ibunya makin rapat mengatup.
"Saya punya teman di Tokyo. Nanti saya akan minta tolong dia untuk membantu menguruskan pesta pernikahan di depan kastil Cinderella," jawabku, berusaha meredakan ketegangan yang tiba-tiba mencuat di antara ibu dan anak itu.
***
Setelah mengantar Ayah dan Ibu pulang, aku menyuruh Aghnia pindah ke bangku depan. "Mau pizza, ngga?" kataku, ketika dia menolak dengan mulut cemberut. Tanpa membantah lagi, dia segera melompat ke kursi di samping supir.
Di kedai pizza, dia memesan satu loyang pizza dengan topping keju favoritnya beserta side dish yang gurih-gurih manis untuk menemani. "Ini kalo ngajak makan langsung ke restorannya, kayanya mau minta extra service, nih," tebak Aghnia dengan lirikan usil.
"Tau aja. Aku mau minta tolong lagi."
"Apa?"
"Tolong cari tahu, dia terpaksa atau ngga menyetujui pernikahan ini."
Aghnia mendecak kesal. "Halah, masih denial juga," katanya lugas, "jelas-jelas dia mau nyusahin Kakak, minta pesta di Disneyland. Itu, kan, sama aja kaya nutup seluruh Disneyland sehari. Mana Disneyland Tokyo lagi, keliatan banget mau morotin."
Aku tak membantah.
"Kalo aku jadi Kakak, skip cewek kaya gitu. Belom apa-apa udah terniat morotin suami, gimana kalo nikah beneran? Hepi ngga, bangkrut iya."
"Aku tahu dia bukan cewek kaya gitu," jawabku lemah, tak begitu yakin lagi dengan penilaianku.
"Tahu apa, sih, Kak? Kemaren aja dia minta ketemuan di Starbucks, trus sekarang minta pesta pernikahan di Disneyland. Apa namanya kalo bukan mau morotin?"
Aku tak membantah. Bagaimanapun, Aghnia tidak salah.
"Ngomong-ngomong, itu cewek beneran ada?"
"Cewek? Yang mana?"
"Yang katanya Kakak suka itu? Beneran ada, atau cuma buat mancing Kak Zea doang?"
Kuanggukkan kepala. "Ya, tapi ...."
"Tapi?" Suaranya meninggi, menahan kesal.
Kuhela napas dalam. "Tapi dia yang sekarang, bukan dia yang dulu."
"Maksudnya?"
Kutarik lagi napas lebih dalam. "Kakak suka sama dia lebih dari sepuluh tahun yang lalu, waktu masih SMA."
"Wow! Masih suka sampe sekarang?"
"Hampir lupa, tapi, ya, masih."
"Ketemu lagi sama dia?"
Kuanggukkan kepala. "Tapi dia udah beda."
Aghnia tertawa. "Ya, iyalah. Makin cantik, ya?"
Aku mengiakan dengan senyuman. "Dan pintar," tambahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ta'aruf
RomantikAku tak berminat menikah, tetapi begitu dia menolakku, kupikir, menikah bukan hal yang buruk.