Situasi di kamar itu terasa terlalu menyedihkan buatku. Dengan sedikit anggukan, aku pamit kepada Ayah Zea untuk menunggu di luar. Tampaknya mereka punya urusan keluarga yang perlu diselesaikan.
Aku menunggu di bangku, yang memang tersedia di dekat tempat perawat. Kepalaku sudah mulai pusing dan hidungku pun sudah terasa gatal sekali. Dalam hati, aku menimbang-nimbang untuk langsung pulang dan istirahat sebelum serangan flu bertambah parah. Namun, akhirnya, aku tak punya hati untuk mengganggu keluarga itu hanya demi menyerahkan kunci.
***
Kurasa, aku bermimpi. Aku mendengar suara Zea, lembut mengalun, seperti seruling dari kahyangan. Kemudian tangannya yang sejuk, seperti air, mengguyur punggung tanganku, juga keningku.
Saat membuka mata, kulihat matanya yang bening bagaikan kristal dari surga, memancarkan kesejukan yang manis. "Ayo, pulang," ajaknya lembut.
Aku bertanya-tanya, kenapa harus pulang? Bukankah kita sudah ada di surga?
Kuhela napas untuk menjawab, tetapi yang masuk ke dalam penciuman adalah aroma desinfektan. Bagaimana mungkin surga masih butuh desinfektan?
Seketika aku sadar dan membuka mata lebih lebar. Tentu, aku masih di rumah sakit. Perawat berpakaian merah muda berjalan cepat melewatiku sembari mendekap papan jalan di dada. Ayah Zea duduk di kursi rodanya, menatapku penuh tanya.
Kuusap muka dengan dua tangan. Seharusnya, aku tidak usah bangun saja.
"Yuk, pulang," kataku, berdiri dan bersiap keluar.
"Kamu pasti capek banget, biar aku yang nyetir," balas Zea, menadahkan tangan.
Kuhela napas. Kepalaku memang terasa agak sakit sekaligus pusing. Bisa jadi berbahaya jika memaksakan diri menyetir. "Okay," kataku, menyerahkan kunci mobil, "duluan aja, aku biar naik ojol."
"Oh, naik taksol aja, biar kamu bisa tidur. Kupesenin, ya," katanya, merogoh ke dalam tasnya.
"Ngga usah, langsung pulang aja, biar Bapak bisa istirahat," kataku, lalu beralih ke Ayah Zea, "semoga lekas pulih, Pak."
Ayah Zea mengangguk. "Kamu juga, jaga kesehatan."
***
Aku memutuskan langsung pulang dan membiarkan motor terbaring di parkiran sekolah. Lagipula, itu hanya motor, akan lebih membahayakan jika aku memaksakan diri mengendarainya dengan kepala pusing tidak keruan.
Sesampai di rumah, Ibu dan Aghnia sedang duduk di sofa, menonton televisi yang menayangkan drakor dengan backsound pemicu tangis. Tanpa permisi, kupisahkan mereka berdua dan langsung merebahkan kepala di pangkuan Ibu.
Sontak Aghnia protes sambil memukul-mukul kakiku. "Minggir-minggir, ih, ngalangin aja."
Kutendang-tendang dia dengan telapak kaki agar menjauh hingga ke ujung sofa. "Sana-sana! Mau bobo!"
"Ih! Udah tua, juga! Sana cari cewek, biar ngga ngerusuhin Ibu mulu!" balas Aghnia kesal, tapi dia tetap mlipir hingga ke ujung sofa.
Jari-jari Ibu menyisir rambutku sementara aku membenamkan muka ke perutnya yang empuk. "Kok, kamu anget?" katanya tiba-tiba.
"Hm." Kepalaku pusing juga, dia pasti sudah bisa menebak.
"Kamu ujan-ujanan, ya?"
"Hm."
"Duh, udah tua, masih main ujan-ujanan." Lalu dimulailah omelannya yang meski mengalir seperti air bah, tetapi kadang kurindukan. Ibu sudah lama tak pernah lagi mengomel seperti itu.
"Sana! Mandi air anget dulu! Abis itu tidur. Duh, badanmu panas banget, loh, ini," katanya, menginspeksi seluruh bagian tubuhku yang terjangkau tangannya, "ini celana juga, kok, lembap gini? Ayo, ganti baju sana."
"Hm, bikinin sop ayam." Kalau sedang demam, biasanya, Ibu akan langsung menyiapkan sop ayam yang menurutnya bisa menjadi obat demam.
"Iya, sana, mandi dulu."
Aku bangkit, dengan malas menuju kamar. Saat memindahkan isi kantong ke atas nakas, baru teringat bahwa handuk Zea masih melingkar di leherku. Dengan menahan senyum, kusampirkan handuk itu di tepi tempat tidur. Biar saja kusimpan dulu. Dia juga pasti tidak ingat tentang handuknya yang masih ada padaku.
Saat sedang mengoleskan sabun ke badan, tiba-tiba terdengar suara pintu kamar dibuka, lalu Ibu mengetuk pintu kamar mandi. "Setok ayam habis, tadi barusan dibikin semur. Mau makan semur aja? Ibu angetin?"
Ah, aku tidak berselera. "Ngga usah, Bu. Aku mau tidur aja."
"Okay. Abis mandi langsung tidur, ya."
Sepertinya Ibu belum keluar ketika terdengar dering ponsel. "Ada telepon, mau diangkat, ngga?" serunya.
"Ngga usah, biar aja." Aku ingin tidur, tak ingin diganggu oleh siapa pun.
Tak ada jawaban lagi dari Ibu. Aku meneruskan mengusapkan shampo ke rambut. Dering telepon itu berhenti, lalu mulai lagi.
"Dia nelepon lagi, Ibu angkat aja, ya?" Ternyata Ibu masih di kamar.
"Iya, suruh telepon lagi besok, aku mau tidur."
Kemudian terdengar Ibu menjawab telepon. "Oh, Rofiq lagi mandi."
Jeda beberapa saat, kemudian Ibu berkata lagi dengan sedikit ketus, "Ngga usah, katanya dia mau istirahat, ngga mau diganggu."
Mau tak mau, aku mengurungkan niat menyalakan keran pancuran, penasaran, siapa yang membuat Ibu terdengar begitu ketus.
"Kalian pergi bareng tadi? Jadi dia ujan-ujanan bareng kamu?"
Loh? Zea? Buru-buru kubersihkan busa-busa sabun yang melekat di seluruh tubuh dan kepala. Suara air pancuran memenuhi telinga, memblokir suara-suara dari luar kamar mandi.
Buru-buru kukeringkan badan dan kulingkarkan handuk di pinggang. Namun, setelah berada di luar, panggilan telepon sudah berakhir dan Ibu sudah keluar kamar. Kulihat daftar panggilan di ponsel, Zea berada di urutan teratas.
Aku terduduk di tepi tempat tidur. Entah apa yang ada di pikiran Ibu. Namun, mendengar nada suaranya saat menjawab telepon, aku yakin, itu bukan hal yang baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ta'aruf
RomanceAku tak berminat menikah, tetapi begitu dia menolakku, kupikir, menikah bukan hal yang buruk.