A to F

397 85 25
                                    

Aku sudah melaju jauh meninggalkan mobil Zea. Rasanya malas untuk melanjutkan perjalanan, tapi gedung sekolah sudah di depan mata. Tinggal beberapa meter lagi, pintu gerbangnya akan kulewati.

Kuhela napas panjang sebelum benar-benar masuk area sekolah. Sepuluh meter dari tempatku berhenti, masih berdiri halte bus penuh kenangan itu. Dia tidak pernah tahu. Mungkin memang lebih baik begitu.

Kulajukan motor memasuki gerbang sekolah. Kukira, reuni akan jadi momen yang tepat untuk mengingatkannya kepadaku, tetapi setelah kupikir ulang, sebaiknya masa lalu memang tetap berada di masa lalu.

Baru saja kulepas helm dan kutarik kunci dari sarangnya, layar ponsel berpendar lagi. Telepon dari Zea.

"Aku baru baca resumemu, untung masih tersimpan di dashboard mobil. Ternyata kita dulu satu SMA, ya?"

"Hm, apa itu penting?"

Dia tertawa canggung. "Sorry, aku bener-bener ngga tahu, dan ngga sadar. Kamu dulu ikut klub apa? Kelas berapa? A, B, C? Kamu dulu ambil IPS, ya? Aku ambil IPA, pantas kita ngga pernah ketemu."

"Hm."

"Kamu dateng reuni, kan? Aku udah di parkiran. Kamu udah nyampe belum? Kok, aku belum lihat mobilmu?"

Kualihkan pandang ke parkiran mobil. Dia baru menutup pintu dan mengedarkan pandang ke sekeliling. Dresscode reuni tahun itu adalah warna logo sekolah, hitam putih, dan dia termasuk yang patuh mengikuti. Blus putih, kulot putih, dan luaran hitam sepanjang lutut, terlihat sangat stylish. Tidak sepertiku yang hanya mengenakan kemeja putih dan celana jeans hitam. Lebih cocok disebut sebagai pegawai magang daripada direktur perusahaan minyak.

"Halo, Rofiq?" Dia terlihat fokus mendengarkan telepon.

"Aku pakai mobil cuma buat ke kantor," jawabku ringan.

"O, ya?" Dia melempar pandang ke area parkiran motor. "Trus kamu pakai apa?"

Kulambaikan tangan kepadanya.

"My Goodness," balasnya nyaris tak terdengar.

Kumatikan telepon sambil berjalan mendekatinya. "Ayo, masuk. Kelamaan di sini, mukamu bisa benar-benar terbakar nanti."

"Heh?" Dia menyentuh pipinya panik.

"Mukamu udah merah sampai ke kuping-kuping."

"Eh?" Buru-buru, dia menunduk sambil memegangi kedua kuping.

Kulepas jaket dan kubentangkan beberapa senti di atas kepalanya.

"Ih, Rofiq lebay!" protesnya, mendorong badanku menjauh.

"Okay." Kutarik jaketku dan kutinggalkan dia sendiri.

"Hey! Rofiq!" Dia mengejarku hingga bisa menjajarkan langkah.

"Kamu marah?" tanyanya setelah melangkah di sampingku.

Kuhela napas agak dalam. "Aku ngga punya hak untuk itu."

"Sorry, ya, aku ngga tahu kalo itu kamu."

Aku sudah tidak peduli lagi. "Sekarang, kamu tertarik untuk mengenalku?"

Tiba-tiba dia berhenti, seperti Aghnia kalau sedang caper. Namun, dia bukan adikku, bukan siapa-siapaku, jadi, apa peduliku?

Lewat beberapa meter, masih tak terdengar langkah kakinya di belakangku. Sial, aku tak tahan untuk tidak berbalik. Dan di sanalah dia, mengobrol bersama seorang lelaki yang sangat tinggi, tertawa-tawa tanpa menyadari keberadaanku.

Memang selalu begitu. Sebaiknya, memang selalu begitu.

Kulanjutkan langkah ke arena pameran, yang digelar di lapangan sekolah. Acara reuni masih mengusung konsep yang sama sejak aku masih bersekolah di sana, pertemuan alumni dengan para siswa. Sebagai sekolah swasta, para alumni diharapkan menjadi salah satu penyokong kebutuhan operasional sekolah. Di sisi lain, mereka juga dianggap dapat menjadi inspirasi bagi adik-adik kelas yang sedang menata masa depan.

Untuk kedua tujuan tersebutlah, pameran karya siswa diadakan. Tiap kelas memiliki booth sendiri-sendiri, tempat mereka memamerkan hasil karya kelas masing-masing.

Kelas pertama yang berada di area pameran paling depan adalah kelas A, kelasnya anak-anak pintar dan kaya, kelas yang selama dua tahun pertama dimasuki Zea. Anak-anak kelas A terkenal sebagai anak-anak berprestasi yang suka berorganisasi. Para ketua OSIS dan pengurusnya seringkali berasal dari kelas itu.

Aku ingat, di kelas sebelas, Zea menjadi sekretaris OSIS. Dia yang memang sudah sibuk, berubah menjadi sibuk sekali. Selain latihan cheerleader setiap hari, dia juga sibuk rapat dengan pengurus atau guru-guru. Tak jarang, aku melihatnya berjalan keluar gerbang dengan langkah satu-satu, sambil memijit tengkuk.

"Hai!" Tiba-tiba Zea sudah ada di belakangku dengan senyum lebar. "Kok, ngilang, sih."

"Kamu yang tiba-tiba berhenti jalan," balasku, meneruskan perjalanan, menuju booth kelasku.

"Ih, masih marah, ya?" Ditariknya lenganku hingga aku terpaksa berhenti melangkah. "Kan, aku udah minta maaf," katanya sedikit merajuk.

"Sudah kubilang, aku tak punya hak untuk marah." Kulepaskan tangannya dari lenganku, tapi dia malah merangkulnya lebih erat.

"Oh, aku tau sekarang kenapa kamu ngga mau diajakin reunian."

"Kenapa?"

"Kamu pasti pengen ketemu sama mantan dan ngga mau keliatan lagi jalan sama cewek, ya, kan?"

"Hah? Mantan? Yang punya mantan waktu SMA itu kamu. Kelas sepuluh, sama ketua klub basket. Kelas sebelas, sama ketua OSIS. Kelas dua belas, sama juara olimpiade," balasku dengan kekesalan berlipat-lipat.

Zea ternganga, hingga membuatku merasa telah salah bicara. "Kamu? Bisa hafal gitu? Kamu beneran stalker atau fanboy-ku?"

Aku benar-benar telah salah bicara. Kutarik tanganku dari rangkulannya dan berjalan mendahuluinya.

Baru selangkah meninggalkannya, tiba-tiba seorang gadis berhijab berlari ke arah Zea sambil berseru, "Zeeeeee!"

Seorang lelaki menggendong bayi di dada, mengikutinya sambil tersenyum ke arahku. "Pa kabar, Mas?" sapanya, sembari mengulurkan tangan kepadaku, "nemenin juga?"

Kulirik Zea yang terlihat semringah, tertawa-tawa dengan sahabat lama. "Ya, begitulah," balasku, menyambut uluran tangan lelaki, yang tampaknya merupakan suami sahabatnya itu.

Dia membalas dengan tawa ringan. "Cewek-cewek kalo udah ngumpul, lupa sama suami." Kalimatnya terdengar seperti kelakar, tetapi aku tak punya ide bagaimana harus membalasnya jadi kuambil langkah paling aman, tertawa saja.

Tak lama kemudian, muncul seorang perempuan berhijab lagi, menambah keriuhan obrolan mereka. Ketiganya saling bergandengan tangan sambil tertawa-tawa. Di belakang perempuan itu, seorang anak kecil, yang tampaknya baru belajar berjalan, mengejar dengan langkah pendek-pendek yang belum tegap benar.

Seorang lelaki muda menangkap anak kecil itu lalu menggendongnya sambil tertawa penuh canda. Si perempuan memperkenalkannya kepada Zea dan temannya yang satu lagi. Lelaki di sampingku pun akhirnya mendekat dan ikut berkenalan.

Zea memandangku canggung. Aku bisa menebak apa yang ada dalam pikirannya, tapi apa peduliku?

"Eh, Zee, kenalin, dong," desak temannya, setengah bercanda.

Zea tertawa canggung sambil melirik kepadaku dengan pandangan minta tolong. Kuhela napas untuk meredam kekesalan. Mudah sekali jika ingin berpura-pura menjadi pacarnya, atau bahkan suaminya, tetapi, bukankah dia sendiri yang berkata ingin menunjukkan apa yang disebut prestasi sebenarnya?

Kulambaikan tangan kepada teman-teman Zea itu. "Hai, aku Rofiq. Dulu di kelas F. Aku bukan siapa-siapanya Zea." Teman-temannya tampak terpaku sesaat. "Duluan, ya. Mau lihat booth anak-anak F."

Sebelum berbalik, masih sempat kulihat tatapan tak percaya di mata Zea juga teman-temannya. Jika kelas A berisi anak-anak pinter yang jadi crèmè de la crèmè, maka bisa dibayangkan seperti apa penghuni kelas F. Bukan hal aneh kalau kelas kami pun kerap diasosiasikan dengan kata makian yang diwakili oleh abjad yang menjadi penanda urutan kelas.

Ta'arufTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang