Setelah dua belas tahun lulus SMA, akhirnya ikut reunian juga untuk pertama kalinya. Biasanya aku hanya mengirimkan donasi atau membeli merchandise yang ditawarkan panitia sebagai cara pengumpulan dana.
Bukannya sombong, aku hanya merasa tidak punya cukup kenangan manis untuk dibicarakan bersama teman-teman, atau lebih tepatnya, tidak punya banyak teman. Anggap saja itu adalah priviledge yang diterima siswa rata-rata, tenggelam dalam lautan ratusan siswa.
Namun, reuni kali itu berbeda. Malam sebelumnya, Zea memberitahu bahwa dia memutuskan untuk datang ke reuni. "Aku akan tunjukkan apa yang disebut prestasi yang sebenarnya," katanya penuh keyakinan.
"Hebat! Itu baru Zea yang kukenal."
Dia tertawa. "Memangnya kamu sudah kenal aku berapa lama?"
Aku membalasnya juga dengan tawa. Dia tidak tahu, aku telah mengenalnya jauh sebelum dia mengenalku.
***
Menjelang siang itu, aku berangkat ke SMA-ku, tempat kenangan yang tak terlupakan. Demi mengakali kemacetan akhir pekan, aku memilih mengendarai motor hingga bisa lebih mudah menyalip dan menyelip di antara belantara mobil.
Setengah perjalanan, aku berpapasan dengan mobil Zea. Kaca mobilnya yang sangat gelap membuatku tak bisa memastikan apakah ia pergi sendiri atau bersama teman-teman.
Sebuah ide, terlintas seketika di kepalaku. Kuikuti mobilnya dengan menjaga jarak hanya beberapa meter di belakangnya.
Beberapa menit setelah aku mengikutinya, sebuah notifikasi muncul di ponsel yang kutempelkan di bagian layar monitor motor, "Zea berbagi lokasi ...."
Kemudian sebuah panggilan telepon muncul dan langsung diterima secara otomatis karena aku mengaktifkan mode handsfree. "Kamu di mana? Temenin aku, yuk?" katanya, terburu-buru.
"Temenin?"
"Iya. Barusan aku share loc. Ada cowok motoran yang nguntit aku. Ngeri, deh. Temenin aku, ya?"
Spontan aku melirik ke kiri, kanan dan depan mobilnya. Juga memperhatikan kaca spion untuk mencari seorang lelaki bermotor yang katanya sedang menguntit. Namun, aku hanya menemukan sorang driver ojol, seorang perempuan yang membonceng dua anak lelaki di belakangnya, serta seorang lelaki yang membonceng perempuan berkebaya. "Seperti apa ciri-cirinya?" tanyaku penasaran.
"Jaket hitam, helm hitam, motor sportnya juga hitam. Ya, ampun, serem amat."
"Hah?" Aku tak kuasa menahan tawa. Dia baru saja menyebutkan ciri-ciriku dengan sangat baik.
"Kok, ketawa, sih? Aku deg-degan, nih."
"Sorry."
"Ih, nyebelin, deh, kamu kayanya seneng banget ngeliat aku menderita."
Aku tak menjawab, hanya membalasnya dengan tawa tertahan. Daripada disangka menguntit, kuputuskan untuk menyalip mobilnya.
"Eh, bentar, dia nyalip," katanya lagi.
Aku kembali menahan tawa. "Nah, sekarang, apa kamu masih mengira dia menguntit?"
"Sekarang jadi aku yang nguntit dia," jawabnya disertai tawa kecil.
Kuembuskan napas lega. "Sepertinya, kamu selalu mengawali hubungan sama laki-laki dengan persangkaan buruk, jadinya tiap ada yang terlihat menarik perhatian, selalu disangka berniat jahat sama kamu."
Tak terdengar jawaban apa pun selama beberapa saat. "Ya, mungkin, ya," ujarnya pelan, "kalau dilihat-lihat, sebenarnya, bokongnya lumayan seksi, sih."
"Wha ...? Ha ha ha."
"Kamu suka banget ngetawain aku, sih?"
Kalau dia tahu siapa yang baru saja disebutnya seksi, apa yang akan dilakukannya? "Dari stalker jadi sexy. Cepat sekali penilaianmu berubah."
"Tadi kamu yang nyuruh buat bersangka baik, aku udah baik-baik, malah diketawain." Suaranya terdengar merajuk.
"Okay. Lalu, sekarang mau apa?"
"Mau apa?" Dia diam sebentar. "Menurutmu, apa sebaiknya aku kenalan sama dia?"
"Kamu tertarik untuk mengenalnya?" tanyaku, tak percaya.
"Hm, ya, kali aja, kan, bagian yang lain sama seksinya sama bokongnya."
"A ...." Tak sengaja aku memutar gas terlalu keras hingga hampir menabrak mobil di depan.
"Eh, dia berhenti mendadak."
Kulirik mobilnya di kaca spion. Rasanya ingin kusemburkan kata-kata langsung ke mukanya. "Resumeku ada di tanganmu, tapi kamu sama sekali ngga baca. Katanya, kamu ngga tertarik mengenalku. Padahal, kalau aku macam-macam, kamu sudah pegang ayah dan ibuku. Sekarang, kamu mau berkenalan dengan satu orang asing, yang tidak jelas asal-usulnya, hanya karena dia punya bokong seksi?"
"Kok, malah nge-gas, sih? Bukannya tadi kamu yang nyuruh buat terbuka sama orang? Ini pertama kalinya, loh, aku pengen make a move sama cowok. Biasanya cowok-cowok yang rebutan PDKT sama aku."
"Huh!"
"Heh! Ngga usah sok suci, deh. Wajar, kan, kalo yang bikin tertarik pertama kali itu memang penampilan fisik."
Kusalip beberapa mobil di depan, kesal sekali mendengarnya perkataannya.
"Emangnya kamu ngga mandang fisik waktu pertama kali suka sama cewek?" dia masih menantang dengan pertanyaan.
Lampu lalu lintas yang menyala merah membuatku menghentikan motor di ruang henti khusus. "Waktu itu, hujan deras. Dia dan aku sama-sama turun di halte yang sama. Aku baru sembuh dari demam dan pagi itu terasa dingin sekali. Dia tersenyum, mengembangkan payung dan mengajakku menembus hujan bersama. Kehangatannya pagi itu, ngga bisa kulupakan sampai sekarang. Kalau itu bisa disebut cinta, itulah yang membuatku jatuh cinta."
Tak ada jawaban yang terdengar dari speaker.
"Dan aku juga sudah memberitahumu, kenapa aku mau menghabiskan sisa hidup bersamamu. Apa kamu masih berpikir itu karena daya tarik fisik?"
Dia masih diam.
"Jangan buat aku menyesal, Zea."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ta'aruf
RomanceAku tak berminat menikah, tetapi begitu dia menolakku, kupikir, menikah bukan hal yang buruk.