Kepalang Basah

387 71 28
                                    

Ghaida menyuapi bayinya tanpa berbicara sama sekali. Gerakannya hampir seperti robot, mekanis tanpa perasaan.

Rasa bersalah merayapiku seketika. Luka yang baru saja kubuka tak bisa diabaikan begitu saja. Payahnya, aku tak tahu bagaimana memperbaiki kesalahan itu.

Suasana terasa hening sekali. Tidak banyak orang di taman saat matahari bersinar terik siang itu. Hanya ada desir angin menggesek dedaunan, meningkahi ketukan demi ketukan sendok yang beradu dengan mangkuk di tangan Ghaida.

Getar ponsel mengejutkanku, mengalihkan perhatian dari ibu beranak itu. Satu pesan dari Zea berupa gambar tiga lembar tiket disertai caption, "Udah dapat tiketnya, cepetan balik ke sini."

Kuembuskan napas hingga kedua pipi menggembung. Sikap Zea benar-benar membuatku bingung. Kenapa Tuhan seperti tak membiarkanku terlepas darinya? Kenapa Dia seolah-olah selalu menyodorkan Zea justru ketika aku ingin menghapusnya dari kepala?

Ghaida masih menyuapi Gendis dengan gerakan mekanis. Bayi itu makan dengan tenang, tidak terlihat terlalu bersemangat, meski tidak juga tampak enggan.

"Zea barusan WA," kataku, berusaha membuka pembicaraan.

Ghaida hanya merespon dengan gumaman standar.

"Katanya, dia udah beli tiga tiket," kataku lagi, hati-hati.

Dia terus menyuapi Gendis, seolah-olah tak mendengar kata-kataku.

Kutelan ludah pelan-pelan. "Hm, kamu mau nonton?"

Ghaida mengangkat wajahnya, menatapku dengan pandang penuh tanya. "Kamu mau aku jadi orang ketiga?" Kemudian dia tertawa kecil, seperti baru saja mendengar lelucon yang tidak lucu. "Lagian, ngga mungkin nonton sambil bawa Gendis."

"Gendis biar sama aku," balasku, cepat.

Dia menoleh dengan dahi mengernyit. "Bukannya kalian yang mau nonton?"

Cepat kugelengkan kepala. "Aku ngga terlalu suka nonton di bioskop. Kamu saja yang nonton."

Dia melirik ponsel di tanganku. "Tapi Zea udah beli tiga tiket, kan?"

"Ya, satu lagi buat Aghnia."

Dia masih menatapku bingung.

"Kamu udah lama ngga nonton, kan? Anggap saja sekarang me time, okay?"

Ghaida kembali memfokuskan perhatiannya kepada Gendis yang mulai menolak suapan bubur. "Kenapa?" tanyanya, menghabiskan sisa bubur bayi di mangkuk.

"Mungkin sudah kenyang."

"Aku nanya sama kamu, kenapa kamu mau jagain Gendis? Ngurusin bayi, kan, capek."

"Kamu capek ngurusin Gendis?"

Dia beralih, menatap Gendis yang sedang asyik minum dari botolnya.

"Kalau gitu, sekarang waktunya istirahat. Biar aku yang jagain Gendis sampai kamu selesai."

Dia menatapku lagi, masih ragu.

Kukeluarkan dompet dari saku celana. "Ini KTP-ku, ini SIM A, ini SIM C, ini kartu nama, kamu boleh foto semua, buat jaga-jaga, siapa tahu nanti aku menculik Gendis."

Dia mengangkat alis, lalu tertawa kecil. "Okay, okay, aku foto KTP-nya, ya. Kartu namanya, buatku. Awas, nanti kalau kamu nyulik Gendis, kupakai KTP-mu buat pinjol."

Aku tahu dia bermaksud melucu, tetapi, entah kenapa, buatku itu tidak lucu. "Pakai saja, kamu butuh berapa?"

Tawanya makin keras. "Nggalah. Aku bercanda, tau."

"Aku juga."

Tawanya terhenti. "Ih, kamu ngeri kalo becanda, ngga lucu."

Giliran aku yang membalasnya dengan tawa kecil. "Kalau gitu jangan bercanda."

Setelah Ghaida berangkat ke bioskop, aku menggendong Gendis dan mengajaknya berjalan-jalan di taman, menyentuh dedaunan, melihat ikan di kolam, dan bermain bersama bebungaan. Kubiarkan ia merangkak sendiri, menjelajahi taman yang sepi sementara aku duduk mengamati dari bawah pohon frangipani.

Entah dari mana, tiba-tiba Zea sudah berdiri di sampingku. Matanya mendelik, bibirnya gemetar. Dari dadanya yang naik turun, aku tahu dia terburu-buru datang ke sini. "Ngga jadi nonton?"

Dia mendengkus keras, lalu duduk di depanku dalam satu entakan. Matanya tajam menatapku, seperti senapan yang terkokang, siap melontarkan rentetan pertanyaan.

Aku diam, menunggu penuh siaga apa pun yang akan ditembakkannya.

"Kenapa kamu malah nyuruh Ghaida yang dateng?"

"Kenapa?" Meski bersiap, tetap saja aku tidak siap.

"Iya, kenapa? Kan, aku udah bilang, aku maunya sama kamu." Ekspresinya memancing tawa, percampuran antara marah, kesal, dan merajuk.

Namun, aku tahu diri, tidak boleh tertawa menanggapi ekspresi seperti itu, betapa pun menggemaskannya. "Ehem, ya, karena dia lebih membutuhkannya daripada aku."

Sayangnya, alasanku tidak mampu memuaskannya. "Peduli banget, sih, kamu sama kebutuhan dia?" Matanya makin tajam menusukku.

"Lebih tepatnya kebutuhan Gendis."

"Apa hubungannya sama Gendis?"

Tiba-tiba, aku tersadar. karena terlalu fokus pada kedatangan Zea yang seperti petir di siang bolong, aku lalai memperhatikan Gendis. Segera, aku berdiri dan mengedarkan pandang ke sekeliling. Bayi kecil yang jago merangkak itu tidak terlihat di mana pun. "Gendis!"

Dadaku berdegup kencang. Meski sudah mahir merangkak, kaki kecilnya tak mungkin bergerak terlalu jauh. "Gendis!"

Aku mencarinya di balik pohon, di antara bebungaan, kemudian lari ke kolam ikan. Di sana aku menemukannya sedang memanjat bebatuan di pinggir kolam. Degup jantungku semakin kencang.

Gendis sudah berada di pinggir kolam. Dia terus bergerak maju padahal terlihat sudah sangat di tepi. Tiba-tiba, ia oleng dan aku tak bisa berpikir lagi. Refleks, langsung melompat menangkapnya sebelum benar-benar menyentuh permukaan kolam.

Gendis berhasil ditangkap, tetapi aku lupa memperhitungkan tempat pijakan. Panik, spontan aku mengangkat Gendis tinggi-tinggi sambil berteriak, "Zea!"

Sekilas, aku bisa merasakan Zea mengambil Gendis dari tanganku. Tak sampai sedetik kemudian, aku jatuh terguling ke dalam kolam.

Sebenarnya, kolam itu tidak terlalu dalam, mungkin hanya setengah meter. Namun, aku masuk ke dalamnya dengan posisi horizontal, hingga seluruh bagian tubuhku terendam.

Di dalam air, semua terasa hening. Hanya suara Zea terdengar samar-samar meneriakkan namaku. Dari balik riak air, kecemasan terlihat di wajahnya. Aku masih menahan napas, berusaha mencerna semua kejadian beruntun ini.

"Rofiq!" Wajah Zea terlihat semakin cemas dan aku tak sanggup lagi menahan napas. Bukan hanya napas, aku tak sanggup lagi menahan semua, semua!

Aku berdiri dan langsung tersadar bahwa setiap inci tubuhku telah basah. Orang banyak berkumpul di sekeliling kolam, tetapi yang ada di mataku hanya Zea. Dia tersenyum lega dengan Gendis yang aman dalam gendongannya. "Kamu basah parah," katanya.

Aku hanya tersenyum. Pikiranku tak bisa memutuskan satu kalimat pun sebagai balasan.

"Tunggu di sini, ya, kucariin baju ganti."

Aku tak membantah. Kurasa, pikiranku terlalu kacau, hingga butuh waktu untuk kembali rapi dan merespons dengan baik.

Kurebahkan badan di rerumputan yang tidak terhalang bayang-bayang. Teriknya matahari menghangatkan lapisan air yang menutupi tubuh. Mataku terpejam, pikiranku terlayang. Kenapa dia selalu hadir tiap kali ingin kulupakan? 

Ta'arufTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang