Seri

373 78 18
                                    

Zea terbelalak melihat piring yang kuletakkan di depannya. "Banyak banget!"

"Jangan khawatir." Kuberikan sepasang sendok garpu kepadanya, sementara sepasang lagi kugunakan sendiri. "Aku bantu," kataku.

Dia tertawa sembari geleng-geleng kepala. Namun, tanpa ragu, diterimanya sendok dan garpu yang kuberikan.

Makan sepiring berdua, pastilah terlihat agak aneh. Maksudku, jika kasusnya seperti Nia dan suaminya, tentu semua orang maklum. Kedua tangan suami Nia sedang menggendong bayi mereka yang tertidur sehingga Nia harus menyuapinya dengan telaten. Benar-benar pemandangan yang mengintimidasi para jomlo kecuali Zea, kukira.

Dia tetap makan dengan tenang, seolah-olah tidak ada yang aneh tengah terjadi di depannya. Aku menyadari orang-orang mulai menatap kami dengan cara yang tidak biasa, tetapi ketidakpedulian Zea membuatku juga bersikap tak peduli.

Namun, sepertinya tidak peduli bukanlah kata yang tepat untuk Zea. Dari caranya melihat Nia dan suaminya yang makan dari satu piring, seolah-olah dunia hanya milik mereka berdua, aku tahu, dia punya pikiran sendiri soal itu. Buktinya, dia tiba-tiba melontarkan pertanyaan, "Gimana bayanganmu tentang hari pertama menikah?"

"Hm?" Aku terpaksa menghentikan kunyahan demi mendengar pertanyaannya.

"Anggap kamu udah nikah, seperti apa hari pertama pernikahan dalam bayanganmu?"

Aku harus diam sebentar, mengira-ngira ke mana arah pertanyaannya untuk merumuskan jawaban yang tepat. "Kenapa tiba-tiba nanya seperti itu?"

"Kan, aku udah bilang, mau kenalan sama kamu. Ngga boleh?"

Aku tak langsung menjawab.

"Oh, ya, kamu belum jawab," katanya, meletakkan sendok dan garpu di atas piring, lalu memperbaiki posisi duduk menghadapku, "apa kamu mau kenalan sama aku? Aku pengen banget mengenalmu lebih dalam lagi."

Aku tertegun, seolah-olah baru saja menyaksikan ayam menang dari elang dalam lomba tinggi-tinggian terbang. Bertahun-tahun yang lalu, itu adalah kalimat yang ingin kusampaikan kepadanya, tetapi nyaliku terlalu kecil. Siapa sangka, kalimat itu ternyata malah ditakdirkan keluar dari mulutnya.

Seperti terhipnotis, aku hanya bisa mengangguk. Dia membalas dengan senyuman lebar yang sangat manis. Aku tidak tahu bagaimana cuaca di luar, tetapi saat itu, di auditorium itu, di sekeliling Zea, matahari bersinar cerah dan pelangi melengkung indah.

"Jadi, gimana hari pertama setelah menikah, menurutmu?"

"Ehm." Kusendok nasi beserta gurame asam manis di piring untuk kembali memastikan bahwa aku tidak sedang bermimpi. Pertanyaan itu, bukan pertanyaan sulit sebenarnya, toh, aku sudah mengimajinasikannya berkali-kali.

"Gimana?" desaknya.

"Apa itu penting?"

Zea melirik Nia dan suaminya yang saling memandang sambil tertawa bersama. Terlihat sangat manis hingga mereka yang sudah menikah mungkin akan tergerak untuk memeluk pasangan masing-masing. Sementara yang belum menikah, sadar diri saja sambil gigit jari.

"Kamu mau seperti itu?" tanyaku, nyaris berbisik.

Dia menoleh, menatapku dengan alis hampir bertaut. "Kamu?" balasnya.

Aku merasa pertanyaan baliknya adalah jebakan yang harus dijawab dengan sangat hati-hati. "Tiap orang beda-beda. Jadi kita ngga bisa mengharapkan apa yang terjadi pada pernikahan orang lain akan terjadi pada pernikahan kita juga."

Dia tersenyum, sepertinya aku berhasil lolos. "Tadi aku ngobrol sama suaminya Nia, dia juga bilang begitu. Biarpun, mungkin ada beberapa kesamaan antara pernikahan satu dengan yang lainnya, tapi tetap, tiap pernikahan pasti rasanya beda. Sama seperti tiap orang, ngga ada yang sama."

"Itu kata suami Nia?"

Dia mengangguk, menatap lurus-lurus ke dalam mataku. "Yah, kupikir, dia ada benarnya. Statistik memang memberikan gambaran besar tentang suatu fenomena, tapi ketika berhubungan dengan kejadian-kejadian kasuistik, kita ngga bisa semata-mata bergantung pada statistik."

Aku manggut-manggut. Dia selalu terlihat sangat menarik ketika bicara tentang pemikirannya, satu poin yang sangat kusuka darinya. Sesuatu yang baru kuketahui setelah banyak mengobrol dengannya.

"Jadi kupikir, ngga ada salahnya memberi kesempatan pada diri sendiri untuk memikir ulang pernikahan."

"Oh? Jadi kamu sudah mau menikah sekarang?"

"Bukan gitu, aku cuma mau memikirkan ulang tentang pernikahan," katanya, mengetuk-ngetuk meja dengan telunjuk, "teman-temanku yang paling dekat, dua-duanya sekarang udah nikah, udah pakai hijab pulak. Mereka juga sama-sama jadi ibu rumah tangga. Lisa punya pengalaman buruk sama baby sitter, anaknya dikasih obat tidur biar anteng. Jadi dia ngga percaya lagi sama orang luar buat pegang bayinya. Olive keenakan cuti dan ngurus bayi, jadi lanjut resign aja. Lagian, gaji suami mereka udah lebih dari cukup buat hidup bertiga. Mungkin kalau gaji suaminya pas-pasan, mereka tetap maksa kerja, ya."

Aku tak membantah.

"Dan, di antara semuanya, Nia mungkin yang paling keren," katanya, sedikit melirik ke arah Nia yang sudah mengambil alih bayi mereka yang terbangun. Dia menyembunyikan si bayi di balik kerudung lebarnya sementara suaminya dengan telaten menyuapi makan siang.

"Kenapa dia bisa jadi yang paling keren menurutmu?"

"Dia dengan sadar memilih buat jadi ibu rumah tangga sepenuhnya. Ngga kaya Lisa yang terpaksa karena dia ngga percaya sama orang, atau Olive yang jadi ibu rumah tangga kaya otomatis aja," ujarnya, penuh semangat, "Nia, tuh, jadi ibu rumah tangga, jelas tujuannya. Kaya kamu bilang, keinginan besarnya memang pengen meningkatkan kualitas generasi selanjutnya."

"Seperti aku bilang, kan? Yang penting kamu clear dulu sama tujuanmu," kataku, membalas tatapan matanya yang terasa agak menerawang.

Dia manggut-manggut. "Iya, sih. Gara-gara kamu bilang gitu, aku jadi sadar, sebenernya, aku ngga punya tujuan sendiri," katanya, menarik diri dengan melipat tangan di dada.

Setelah itu, dia seperti sibuk dengan pikirannya sendiri. Nia sudah selesai makan dengan disuapi suaminya. Bayinya pun sudah dikeluarkan dari balik kerudung dan berpindah ke dalam gendongan suaminya. Si bayi terlihat nyaman sekali bersandar di pundak ayahnya, sementara punggungnya ditepuk-tepuk pelan.

Nasi beserta lauk di piring kami juga sudah habis, tetapi Zea masih bersedekap di bangkunya. Matanya terarah kepada pembawa acara di panggung, meski pikirannya tampak sedang mengawang entah ke mana.

Layar besar di panggung memperlihatkan profil nominator alumni of the year. Tiap tahun, sekolah akan meneliti rekam jejak para alumni yang mereka ketahui, lalu memberikan poin-poin berdasarkan impact yang diberikan para alumni kepada masyarakat.

Khusus tahun itu, aku menjadi salah satu nominatornya. Untuk itulah, mereka mengundangku ke acara reuni.

Mulanya, Zea tak begitu peduli pada gambar-gambar di layar. Baru ketika gambarku muncul di sana, matanya membelalak dan mulutnya ternganga. Tepuk tangan pun membahana di antero ruangan. Nia sampai menutup mulutnya agar tidak berteriak histeris dan membangunkan bayinya yang sudah tertidur lagi.

"Rofiq! Selamat, ya. Keren banget!" ucap Nia tulus.

Teman-teman sesama anak F pun satu per satu datang menghampiri, menepuk pundakku, serta menyalami. Itu adalah pertama kalinya, nominator alumni of the year berasal dari kelas F. Meski akhirnya yang mendapat penghargaan adalah alumni sepuluh angkatan di atasku, tetapi teman-teman tetap merasa bangga.

"Wow, kamu bangun klinik di pedalaman?" tanya Zea takjub setelah gelombang ucapan selamat mereda.

"Ha ha, itu berlebihan. Aku cuma membantu merenovasi bangunan puskesmas yang sudah ada supaya layak menjadi sebuah pusat kesehatan masyarakat," balasku, jujur.

Zea mengangguk sambil mengulas senyuman yang sulit kuterjemahkan. "Keren," ujarnya pelan, "aku jadi minder."

Aku terdiam mendengarnya. Bertahun-tahun, akulah yang merasa begitu di hadapannya.  "Jangan," kataku, tak enak hati, "kamu ngga tahu apa yang membawaku sampai begitu."

"Apa?" tanyanya, antara ingin tahu dan insecure.

Haruskah aku menceritakannya? Sebuah cerita panjang yang sebenarnya tidak terlalu menyenangkan.

Ta'arufTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang