Sugar Baby

360 74 25
                                    

Aghnia keluar mobil dan masuk mall dengan wajah berseri-seri. Padahal, bagiku satu jam perjalanan bermacet-macet di jalanan ditambah harus berputar-putar di gedung parkir benar-benar melelahkan jiwa raga. "Jangan-jangan kamu mau mengenalkanku dengan temanmu, ya?" tanyaku, melihatnya melangkah begitu ringan dan mantap.

"Eh, Kakak mau sama anak SMA?"

Pertanyaannya membuatku merasa sangat tua. "Sama anak yang masih antre imunisasi waktu aku udah ketemu cinta pertama?"

Dia tertawa. "Siapa peduli? Pasti banyak yang ngantri jadi sugar baby, ha ha ha."

Harusnya itu jadi lelucon, tetapi kupikir-pikir, Aghnia tidak salah juga. Dia baru berumur beberapa bulan ketika aku pertama kali bertemu Zea. Saat itu, Ibu terlalu sibuk dengan bayi baru sehingga tak punya cukup waktu untuk menyimak ceritaku. Aku pun akhirnya terbiasa untuk menyimpan segalanya, termasuk segala cerita tentang Zea.

Kami berjalan melewati dinding-dinding kaca tempat barang-barang dipajang. Aghnia dengan antusias melihat-lihat barang-barang bermerk itu sambil melempar komentar, "Ya, ampun, lucu banget," atau, "aih, mau yang itu, deh."

Kemudian dia akan masuk toko tanpa menghiraukanku. Sementara aku, seperti biasa, mengekorinya sambil sesekali memberi komentar jika diperlukan serta dengan tambahan, "Perjanjian kita hanya untuk nonton dan makan."

Dia akan melirikku lalu memutar bola mata. Kalimat itu memang ampuh untuk membuatnya memperhitungkan anggaran pengeluaran. Jika tidak begitu, bisa-bisa seisi mall pindah ke kamarnya.

Di depan sebuah kafe, tiba-tiba Aghnia menarik tanganku. "Ayo, cepet!" katanya, buru-buru mengajakku menjauh.

"Kenapa?" tanyaku refleks sambil mengalihkan pandang ke dalam kafe. Kakiku tiba-tiba membeku dan pandanganku terpaku. Seorang perempuan berkerudung warna-warni pastel duduk berhadapan dengan seorang lelaki. "Zea?"

Belum sempat aku mengalihkan pandang, perempuan itu melambaikan tangan dan berdiri menghampiriku.

"Ayo, ih!" Aghnia berusaha menyentakkan tanganku, tetapi kakiku telanjur beku.

"Sebentar, itu Zea lagi jalan ke sini. Ngga sopan kalau kita malah langsung pergi," jawabku, tanpa mengalihkan pandang dari Zea yang berjalan cepat dengan senyum mengembang.

"Ck! Katanya mau cari cewek lain!" gerutu Aghnia tak sabar.

Zea menghampiri Aghnia dan menyapa dengan sangat bersahabat. "Mau ke mana?"

"Nonton," Aghnia menjawab ketus, lalu beralih kepadaku, "yuk, Kak." Ditariknya lagi tanganku.

Zea menahan tangan Aghnia cepat. "Eh, film jam berapa?"

"Jam satu, masih dua jam lagi," jawabku, sebelum Aghnia sempat membalas.

"Oh, kalo gitu, temenin aku dulu, yuk."

"Kan, udah ada yang nemenin," Aghnia masih ketus membalas.

"Justru itu. Kan, laki-laki sama perempuan yang bukan mahram ngga boleh berduaan. Sebentar aja, kok. Kita lagi nungguin temenku yang satu lagi. Nanti kalau dia udah dateng, kalian boleh tinggalin aku."

Bibir Aghnia melengkung sinis. Sebelum dia sempat menembakkan kata-kata, aku lebih dulu menjawab, "Okay."

Aghnia mendelik sadis, berbanding terbalik dengan Zea semakin terlihat gembira. Dengan semangat, dia memandu kami masuk menuju ke meja mereka. "Kenalin, ini Bintang, temenku yang kuceritain waktu itu."

"Waktu ...?" Aku berusaha mengingat-ingat teman-teman yang pernah diceritakan Zea di malam-malam penuh curhatnya.

"Yang bareng-bareng sama aku bikin konsultan."

Ta'arufTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang