Tanya Jawab

637 104 26
                                    

Keesokan harinya, aku datang ke rumah Zea, sesuai kesepakatan. Ayah ibuku ikut menemani, begitu juga Aghnia, si adik kecil yang sudah tidak kecil lagi.

Ibu yang paling terlihat bahagia. Beliau sudah menyiapkan segalanya sejak malam. "Besok Ibu pakai baju ini, gimana? Apa terlalu berlebihan? Soalnya besok, kan, baru kenalan, kan, namanya, ya?" tanyanya, memperlihatkan gamis merah yang penuh dengan manik-manik kristal di bagian roknya.

Aku hanya tersenyum. "Pakai yang Ibu suka saja," jawabku.

Namun, Aghnia tidak setuju. "Iya, Bu. Berlebihan banget!" celanya, mengambil gaun itu dari tangan Ibu, lalu memandu Ibu ke ruang wardrobe.

Kubiarkan saja mereka berdua bersepakat mengenai pakaian yang hendak dikenakan saat berkenalan dengan calon mantu. Ibu senang sekali karena akhirnya aku setuju untuk berkenalan dengan seseorang.

"Eh, ngomong-ngomong, kenapa tiba-tiba kakakmu mau diajak ta'aruf?" Lamat-lamat, aku mendengar suara Ibu dari wardrobe.

"Ngga tahu, tuh, kesambet, kali," jawab Aghnia seenaknya dengan suara sengaja dikeras-keraskan.

Buru-buru kuraih ponsel dan kukirimkan pesan chat kepadanya, "Jangan bilang-bilang sama Ibu kalau tadi kita ketemuan sama Zea." Zea mungkin akan terlibat masalah kalau semua tahu dia minta bertemu sebelum hari pertemuan yang dijanjikan.

"Pizza," balasnya cepat. Aku tahu, anak SMA zaman sekarang memang tak pernah lepas dari ponsel kapan pun dan di mana pun.

"Deal," balasku lagi. Memang menyebalkan adik semata wayang itu. Dia lahir ketika umurku sudah beranjak lima belas, wajar saja jika gadis kecil itu menjadi kesayangan orang serumah dan semakin besar, semakin paham dia cara memanfaatkan priviledge itu.

Setelah itu aku mendengarnya berkata. "Mungkin karena Kak Zea satu-satunya cewek yang bisa bikin Kakak manggut-manggut."

"Maksudnya manggut-manggut?"

"Kak Zea, kan, pinter," kata Aghnia lagi, masih dengan suara yang dikeras-keraskan, "S1-nya di ITB, lulus dengan IPK 3,9. S2 urban design di Harvard. Trus apa lagi? Ah, pokoknya pinter, deh."

Aku tak bisa menyembunyikan senyum. Dia memang sangat pintar.

***

Saat tiba di rumahnya, rombongan kami disambut oleh ayah ibunya dengan mata berbinar dan senyum semringah. Seperti yang sudah diceritakannya, pagi itu, dia mengenakan jilbab hitam lebar yang dipadukan dengan gamis berwarna lebih kelam dengan motif mawar kuning besar di bagian bawah roknya. Pilihan warnanya kontras sekali dengan gamis ibunya yang berwarna pastel juga batik ayahnya yang juga berwarna senada.

Setelah basa-basi, yang menurutku terlalu panjang, ayahnya mempersilakanku untuk mulai mengonfirmasi isi resume atau menanyakan hal-hal yang tidak ada di resume. Sebenarnya, baru semalam aku membaca resumenya. Ketika Ibu memberikannya kepadaku, aku hanya melihat fotonya sekilas, selembar foto standar sebagaimana yang biasa digunakan oleh akhwat-akhwat yang ingin menikah. Setelah itu, kuserahkan satu bundel dokumen itu kepada Aghnia. "Mungkin kamu butuh buat kertas coret-coret," kataku. 

Untung saja Aghnia masih belum membuangnya ketika kutanyakan lagi resume yang sudah kubuang itu. "Soalnya aku tahu, cewek ini beda dari yang lain," katanya beralasan.

"Apa yang beda?" tanyaku.

"Baca, dong, motto-nya. Cewek-cewek yang lain motto-nya pakai ayat Alqur'an atau hadits, dia motto-nya pakai kata-kata sendiri," katanya menunjuk satu baris kalimat di bagian paling atas resume.

"La Vida es Bella"

Aku hanya tersenyum menanggapinya. "Itu bukan kata-kata sendiri."

"Trus apa?"

"Judul film."

"Eh?"

Aku tak bisa menahan senyum, mengingat ekspresi Aghnia begitu tahu kalimat yang digunakan Zea sebagai semboyan hidupnya merupakan judul suatu film Italia yang bercerita tentang seorang Yahudi saat perang dunia kedua. Tidak seperti judulnya yang berarti Hidup Itu Indah, film itu sebenarnya bercerita tentang suatu cara memandang penderitaan. Tak kusangka, kami menyukai film yang sama.

"Jadi, apakah ada yang ingin Nak Rofiq tanyakan kepada Zea?" Ayah Zea mengulangi pertanyaannya karena melihatku tak juga mulai berkata-kata.

Kuanggukkan kepala dengan sopan sebelum mulai merangkai kata. "Iya, Pak. Saya ingin bertanya kepada Zea, apakah yang membuatnya memutuskan memakai jilbab?"

Zea, yang sejak duduk di ruang tamu selalu menunduk, tiba-tiba mengangkat wajahnya. Matanya menatapku tajam, sedangkan tangannya mengepal di atas lutut.

Aku membalas tatapan tajamnya dengan senyum tenang. Jika di hari sebelumnya dia seperti sengaja mengerjaiku, maka pada hari itu, aku sukses membalasnya.

"Zea?" ayahnya bertanya seraya menoleh kepadanya.

Zea mendeham pelan lalu menjawab dengan nada agak kesal. "Karena ibu saya menyuruh saya."

Jawabannya mengagetkanku. Dia sama sekali tdak berusaha berbijak-bijak, bahkan memilih untuk berkonfrontasi dengan ibunya sendiri.

Ibunya sontak menoleh dan memberinya tatapan tajam yang menusuk. Dari wajahnya yang merah padam, aku bisa merasakan kemarahan menggelora di dadanya.

"Maasyaa Allah. Benar-benar putri yang berbakti," balasku, berusaha meredam kemarahan ibunya.

Zea mengangkat sesudut kecil bibirnya. Tatapannya seolah-olah berkata, "Sudahlah, ayo, sudahi semua ini."

"Bagaimana kalau suamimu yang menyuruh? Apakah kamu juga akan menurutinya?"

Matanya sedikit membulat. Aku yakin, dia pasti bisa merasakan bahwa pertanyaanku sejatinya adalah jebakan. "Saya tidak akan menikah dengan seorang lelaki yang kerjanya hanya bisa menyuruh," jawabnya diplomatis.

Aku tersenyum dan mengangguk. Kulihat, hidung ibunya mulai berkeringat. Dia juga pasti merasa ada ketegangan di antara kami.

"Bagaimana denganmu?" katanya, mulai menyusun serangan balik, "apakah kamu akan menyuruh istrimu berjilbab?"

Aku tak bisa tidak tersenyum. Pertanyaan itu sudah kuantisipasi sebelumnya. Bahkan, aku sudah membayangkan jawabannya. "Istri saya adalah seorang yang cerdas. Saya tidak perlu menyuruhnya mengenakan pakaian terbaik karena dia tahu apa yang terbaik untuknya."

Matanya seperti terpaku, menatapku tanpa berkedip. Entah apa yang ada di pikirannya, beberapa detik setelah mendengar jawabanku, dia kembali menunduk, memainkan jari-jari di atas pangkuannya.

Ta'arufTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang