Restu

308 77 31
                                    

Pembicaraan kami terhenti sampai di situ. Ayah Zea keluar dan meminta maaf atas kejadian tidak enak barusan. "Tidak apa-apa, Pak. Saya juga sekalian pamit," kataku, berdiri sembari sedikit berbasa-basi.

Ayah Zea tidak menahan dan meminta maaf sekali lagi karena tidak bisa mengantarku. Keakraban dan kehangatan yang baru saja terbangun tiba-tiba runtuh begitu saja. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Kebenaran memang sering sepahit itu.

Zea berdiri dan mengantarku hingga ke pagar. "Sorry," ujarnya pelan, sebelum aku benar-benar berada di luar pagar.

Aku berbalik menghadapnya. "Ngga apa-apa. Aku tidak akan bisa hidup tenang kalau tahu kamu tidak bahagia."

Dia menatapku tulus. "Sebenarnya, aku bahagia sama kamu."

Kutatap lurus ke matanya, menantikan kelanjutan kata-katanya yang terasa menggantung. Namun, bibir itu hanya bergetar sedikit tanpa meloloskan selarik kalimat pun. "Tapi?" tanyaku, menahan sabar.

"Tapi ...." Dia menundukkan kepala, menghindar dari mataku. Ujung kakinya bergerak-gerak membentuk lingkaran kecil di lantai.

"Kenapa?" Kuusahakan bersuara selembut mungkinagar dia tak merasa sedang didesak.

Dia kembali mendongak, menatapku. "Aku ngga yakin." Suaranya pelan, nyaris seperti bisikan.

"Ngga yakin apa?" Aku nyaris menahan napas, menunggu jawabannya.

Tangannya merapikan kerudung yang sudah sangat rapi. Setelah menghela napas singkat dan melipat tangan di dada, dia melanjutkan, "Ngga yakin kalo nikah adalah keputusan terbaik. Ngga yakin sanggup menjalankan kehidupan setelah pernikahan. Ngga yakin kalo nikah bakal bikin lebih bahagia."

Aku melepaskan napas pelan sembari mengangguk halus. Keraguannya sangat bisa dipahami.  Kulipat tangan yang menggenggam jas di dada. "Sama, aku juga ngga yakin."

Di bawah temaram lampu teras yang berbaur dengan lampu jalan, aku melihat matanya membulat.

"Tapi, aku yakin sama Allah."

Dia memiringkan kepala dan mengerutkan kening.

"Pernikahan adalah salah satu sunnah Rasul, jadi kenapa harus ragu untuk menjalaninya?"

Dia menghela napas lalu mengangguk pelan. Matanya berputar seperti sedang berpikir.

"Selama kita berada di jalan yang Allah gariskan, aku yakin tidak akan ada masalah. Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang, ngga mungkin Dia membuat kita sengsara dengan semena-mena."

Dia kembali mendongak, menatapku. "Seyakin itu kamu sama Dia?"

"Mau bagaimana lagi? Di dunia ini, ngga ada yang benar-benar bisa kita percaya. Cuma sama Allah kita bisa bergantung."

Dia manggut-manggut lagi.

"Sudah malam. Di luar dingin, masuklah."

Dia tidak menjawab, hanya mematung, menatapku.

"Aku pulang, assalamu'alaikum," kataku, lalu berbalik, menuju mobil yang sudah dinyalakan supir.

"Rofiq," panggilnya pelan, sebelum aku memasukkan sebelah kaki ke mobil. Dia menghampiriku, melirik sejenak ke Pak Ali yang sedang memegangi pintu mobil.

Kuberi tanda kepada Pak Ali agar kembali ke bangku supir. "Ada apa?" tanyaku, kembali menghadapnya.

"Kalo kamu ngga jadi nikah sama aku, apa kamu bakal nikah sama cewek lain?"

Pertanyaannya membuatku tak bisa menahan tawa, tetapi dia tidak tertawa bersamaku. Bibirnya malah ditekuk sambil menatapku dengan kesal. "Ehem, pertanyaan serius, ya?"

Ta'arufTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang