Tiba di rumah hampir tengah malam dan langsung disambut Ibu yang tertidur di sofa ruang tamu. Dengan hanya mengenakan daster pendek, beliau berbaring tanpa mengindahkan nyamuk yang berseliweran. Kuselimuti kakinya yang terbuka dengan jas, tetapi beliau malah terbangun. "Hm, udah pulang?" tanyanya sambil mengucek mata.
"Kenapa ngga tidur di kamar, Bu? Di sini banyak nyamuk."
Ibu menyampirkan jasku di lengan sofa lalu berkata, "Ada yang mau Ibu bicarakan denganmu."
Sudah bisa ditebak, pasti ada gadis baru yang ingin dikenalkan. "Apa ngga bisa besok, Bu? Aku udah terlalu capek sekarang."
"Besok kapan?" tanya Ibu, menggamit lenganku menuju tangga, "abis subuh kamu langsung berangkat, pulang-pulang tengah malam gini. Kapan bisa ngobrol?"
Kulepaskan tangan Ibu dari lenganku. "Ibu juga udah capek, kan? Tidur aja dulu."
Ibu tak mau kalah, kembali menggamit lenganku, dan melanjutkan langkah menuju tangga. "Ibu udah tidur tadi, sekarang udah ngga ngantuk lagi."
"Tapi aku yang ngantuk, Bu." Kutarik perlahan lenganku dari genggaman Ibu. "Aku mau tidur."
"Dengar sebentar aja ...."
"Ibu," kataku dalam nada memohon, "Ibu tahu kenapa aku terlambat malam ini?"
Mata Ibu sedikit membulat. Urat lehernya agak menegang.
"Aku makan malam dengan Zea. Ada hal yang perlu kubicarakan dengannya karena menyangkut masa depan yang sedang kami rencanakan."
Ibu tidak terlihat terkejut, hanya tubuhnya yang tampak menegang.
"Kalau yang ingin Ibu bicarakan adalah soal calon istri potensial, sebaiknya lupakan saja. Energi yang Ibu punya terlalu berharga untuk dibuang-buang." Lalu kutinggalkan Ibu dan berjalan sendiri menaiki tangga.
***
Sebelum masuk kamar, kuketuk kamar Aghnia tiga kali, sekadar mengecek, apakah dia menepati janji atau tidak.
"Masuk." Terdengar suaranya menjawab.
Kubuka pintu dan langsung berlagak marah. "Mana janjinya? Katanya mau tidur malam ini?"
"Aku abis lempar bom waktu makan malam tadi, mana bisa tidur sekarang?"
"O, ya? Gimana?" tanyaku, duduk di tepi tempat tidurnya.
Aghnia memutar duduknya, menghadapku. "Aku bilang kalo Kak Rofiq lagi dinner sama Kak Zea."
Aku terbahak mendengarnya. Pantas Ibu tidak tampak terkejut. "Trus?"
"Ya, shock-lah Ibu."
"Trus?"
"Aku bilang aja, kalo Kak Rofiq ngga ketemuan sama Kak Zea, bisa-bisa besok rumah kebakaran."
"Astaghfirullah. Trus, apa kata Ibu?"
"Ibu kagetlah. Ngga percaya pokoknya. Makanya Ibu keukeuh nungguin Kak Rofiq di ruang tamu. Eh, ternyata Kak Rofiq malah lempar bom atom. Hancur, dah!"
Kurebahkan badan di kasur. "Udah cukup main kucing-kucingannya, kasihan Zea."
"Ibu bener-bener ngga terima, loh, Kak Rofiq sama Kak Zea. Sakit hatinya udah sampe ubun-ubun."
"Aku tahu."
"Tahu apa?"
Kuhela napas dalam. "Aku ngebayangin anakku yang diperlakukan kaya gitu, rasanya tujuh turunan juga aku ngga bakal nerima dia."
"Trus, kenapa Kakak masih nerima Kak Zea?"
Kutatap mata bening Aghnia. "Apa kamu lupa? Aku yang nyuruh dia buat jujur sama ibunya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ta'aruf
RomanceAku tak berminat menikah, tetapi begitu dia menolakku, kupikir, menikah bukan hal yang buruk.