The Purpose

739 84 18
                                    

"Kak Nia, ceritain, dong, gimana-gimananya jadi ibu rumah tangga," pinta Gaia terdengar serius.

"Emang kamu mau jadi ibu rumah tangga?" balas Nia, heran.

Gaia mengangguk ragu. "Jadi ceritanya, tuh, ada yang ngelamar aku. Katanya, dia mau nunggu sampe aku lulus SMA."

"Hah? Cuma lulus SMA? Ngga sampe kuliah?" Zea memotong tajam.

Gaia menggeleng. "Soalnya, akutu lemot banget soal pelajaran. Kayanya buang-buang duit aja kalo nanti kuliah, trus ujung-ujungnya juga cuma jadi ibu rumah tangga, kan? Ngga kerja juga. Lagian, Mas Hendrik, yang ngelamar aku itu, udah lumayanlah. Sekarang aja, dia udah punya dua toko bangunan."

"Dua toko?" Zea lagi-lagi memotong dengan nada kesal. "Udah tua, dong?"

"Ya, kalo ngga salah, sekitar tiga puluhan gitu, deh."

Hampir saja, aku tersedak es teh manis. Tiga puluh, berarti lelaki itu seumuran denganku. Melihat Gaia yang seumuran dengan Aghnia, rasanya seperti membayangkan adikku sendiri menikah dengan lelaki setua itu, berat.

"Makanya dia bilang, kalo sama dia, aku ngga usah repot mikir macem-macem. Pokoknya, udah, duduk manis aja di rumah. Semua-muanya udah tau beres."

"Jangan mau!" potong Zea cepat, "ntar kamu cuma dibodoh-bodohin aja sama dia. Kalo dia bosen sama kamu, gampang aja dia nyari cewek lain, trus nendang kamu. Kalo udah gitu, kamu bisa apa?"

Gaia manggut-manggut. "Gitu, ya, Kak?"

"Menurutku, ngga bisa dipukul rata seperti itu," balas suami Nia, "memang ada laki-laki yang sebrengsek itu, tapi laki-laki baik masih banyak, kok. Kalau boleh kasih saran, mending ngobrol dulu sama dia, cari tahu dulu, bagaimana prinsip hidupnya, bagaimana dia mengatasi masalah, apa yang jadi prioritasnya. Intinya bicara soal-soal mendasar dalam hidup dan pertimbangkan apa prinsip-prinsip hidup kalian sejalan atau tidak."

Gaia manggut-manggut meski matanya menyiratkan kebingungan. Tampaknya benar, otaknya memang tak begitu cepat mencerna informasi.

"Aku setuju," timpal Nia, "makanya, aku lebih cocok pakai cara ta'aruf. Soalnya, kalau ta'aruf itu, kan, udah jelas, memang tujuannya mau nikah, trus kita ngobrol juga didampingi sama orang-orang yang benar-benar sayang sama kita, yang fokusnya pada kebaikan kita. Jadi, kita bisa bicara lebih dalam soal prinsip-prinsip hidup. Gimanapun, yang namanya nikah itu, kan, membuat dua kehidupan yang berbeda menjadi satu. Pasti bakal sulit penyesuaiannya. Setidaknya, kalau kita punya prinsip hidup yang sama, bisa lebih smooth dalam proses penyatuan dua kehidupan itu."

Semua yang duduk mengelilingi di meja itu manggut-manggut, kecuali Zea.

"Ngomongin soal ta'aruf, gua juga ngerasa dapat benefit-nya. Jadi, sekarang ini, gua bisa ikutan reuni karena ngambil cuti buat nikah. Ketemu sama calon istri juga lewat proses ta'aruf itu. Kita ngobrol via conference video call, group chat, sampai akhirnya sama-sama mantep buat nikah. Prosesnya smooth, do'ain lancar sampai jannah, ya."

Spontan, kami menyerukan kata aamiin, hingga penghuni dua meja lainnya ikut-ikutan menoleh.

"Gimana bisa yakin? Ngobrol di grup, kan, ngga bisa bebas gitu?" tanya Zea antara penasaran dan tak percaya.

"Justru karena itu. Jadinya kita benar-benar fokus ke persiapan pernikahan dan kehidupan setelah nikah. Pembicaraan di luar topik, jadi bisa diminimalisir. Intinya, semua pembicaraan bisa dipakai buat bahan pertimbangan jadi nikah atau ngga."

Dahi Zea masih mengernyit. Aku tahu, alasan seperti itu sangat tidak masuk akal baginya. "Aku pikir, kalau soal cara mengenal calon pasangan, tiap orang mungkin beda-beda. Berdasarkan pengalaman, yang terpenting sebenarnya adalah niat. Kalau dari awal niatnya memang bukan untuk menikah, mau bagaimanapun caranya, pasti gagal. Enaknya di ta'aruf, kalaupun akhirnya ngga jadi, kita masih bisa berhubungan baik. Ngga seperti pacaran, yang kalau ngga jadi, hasilnya patah hati. Ya, kan?" kataku, menoleh kepada Zea, memberi kode agar dia berhenti mendebat.

Ta'arufTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang