Selesai menandaskan roti bakar, aku segera kembali ke kamar. Hari libur makin lama makin terasa menyesakkan. Dua hari di akhir pekan dijadikan Ibu sebagai dua hari brainstorming pernikahan, benar-benar menciptakan badai di otak.
Kubuka aplikasi media sosial, sekadar mencari tahu apa saja yang dilakukan Zea. Sejak berjanji akan belajar tentang jalan menuju surga, isi media sosialnya sedikit berubah. Dia masih mengunggah foto-foto kafe tempat bertemu klien, maket-maket proyek, ataupun bangunan-bangunan menarik yang ditemukannya. Namun, kini ada tambahan foto-foto kutipan menarik dari buku yang dibaca atau video yang ditontonnya. Terkadang, dia juga mengunggah catatan singkat mengenai poin-poin dari pengajian yang diikutinya baik online maupun offline.
Dia tidak main-main ketika mengatakan bahwa akan belajar sungguh-sungguh agar dapat memahami visi pernikahan yang kuajukan. Jujur, aku menyesal pernah meragukannya. Apalagi, selama dua bulan yang telah berlalu, aku bisa melihat betapa pesat perkembangannya, sementara aku masih terjebak di depan dinding api dendam Ibu. Lagi-lagi, aku merasa tidak berguna.
Hari itu, dia mengunggah cerita di akunnya. Sebuah video berdurasi beberapa detik yang memperlihatkan kelopak-kelopak bunga berguguran. Di tengah-tengah layar, dia menulis, "Saat kita jauh, aku takut kamu berpaling dariku."
Meski tak ada nama yang disebut, aku tahu, dia menuliskannya untukku. Sungguh, aku ingin meneleponnya saat itu juga, tetapi khawatir merusak perjanjian untuk saling menjauh. Ah, aku tak yakin lagi, apakah menjauh merupakan langkah yang tepat.
Kucari gambar kelopak bunga yang mengalir bersama air dan kutuliskan sebaris kalimat di antara alirannya, "Saat kita jauh, kupasrahkan kepada Allah, segala rindu." Setelah mengunggahnya menjadi cerita, aku berdoa, semoga dia membaca dan memahaminya.
Kulihat lagi ceritanya. Dia mengunggahnya sekitar jam tiga pagi. Hatiku terasa perih mengetahuinya. Mungkin dia tidak bisa tidur dan aku tidak bisa menemaninya. Lagi-lagi, aku jadi ragu, jangan-jangan menjauh bukanlah keputusan yang baik.
***
Tiga bulan berlalu, kupikir Ibu akan melunak. Namun, yang terjadi malah sebaliknya, Ibu makin sering mencak-mencak. "Ibunya itu, sekarang kalau pengajian, udah mulai berani deket-deket sama Ibu," keluh Ibu dengan nada berapi-api.
"Ibunya siapa?" tanya Aghnia pura-pura tidak tahu.
Namun, Ibu hanya membalas dengan kerlingan tajam. "Sekarang anaknya juga ikut-ikutan ke pengajian. Heran. Mau PDKT lagi? Huh! Ngga sudi!"
"Bentar, Bu," sela Aghnia setelah menekan tombol jeda, "tadi ibunya udah mulai berani deket-deket sama Ibu, trus sekarang anaknya juga ikut-ikutan ke pengajian, jadi imbuhan -nya di atas merujuk kepada ...?"
Aku yang berusaha tutup mulut di samping Aghnia, terpaksa susah payah menahan tawa agar tidak kena lemparan tas.
"Ih, kalian ini ...!" Ibu mengangkat tangan, berusaha melempar tas besarnya.
"Jangan, Bu! Ibu dari pengajian, kan? Tasnya ada Alqur'annya, kan?" sergah Aghnia cepat.
Muka Ibu terlihat makin kesal, tetapi hanya sebentar. Sejenak kemudian, dia menghela napas dan mengembuskannya perlahan, lalu duduk di sampingku. "Eh, nanti kamu ngga ada acara, kan?" tanya Ibu sambil menggamit tanganku.
"Ehm, kalau buat dikenalin sama cewek lagi, aku ngga punya waktu." Ibu mungkin sudah bosan memberikan CV gadis-gadis kepadaku, sehingga beliau mengubah strategi, langsung membawaku bertemu dengan orangnya. Biasanya mereka janjian di mal, lalu pura-pura tidak sengaja bertemu di depan restoran.
Sekali dua kali, aku masih memaafkannya. Setelah yang ketiga kali, aku tak mau lagi tinggal diam.
Ibu melepas tanganku dengan muka cemberut. "Kenapa, sih, Fiq? Apa mereka kurang cantik? Kurang pintar? Kurang apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ta'aruf
RomanceAku tak berminat menikah, tetapi begitu dia menolakku, kupikir, menikah bukan hal yang buruk.