Seperti kambing dungu yang terlalu lama di sahara lalu tiba-tiba melihat oasis di depan mata, aku cuma bisa berpikir bahwa semua kata-katanya hanyalah fatamorgana bagi telinga. "A-apa?"
"Rofiq, please marry me," pintanya lagi dengan suara sangat pelan.
Aku tak bisa berkata-kata. Lidahku seperti baru saja dibius dan prosesor di otakku seakan-akan berhenti bekerja tiba-tiba.
Zea menunduk, memainkan keliman roknya. Kubuka topi dan kusisir rambut dengan tangan. Sebenarnya, aku ingin menyisir jalinan syaraf di dalam otak yang rasanya jadi berantakan gara-gara permintaannya.
"Aku tahu, aku ngga layak buatmu yang luar biasa banget. Kamu direktur perusahaan besar, aku cuma karyawan konsultan ecek-ecek. Kamu alumni teladan, aku ...." Dia mengusap sudut mata dengan punggung telunjuk.
Setelah menghela napas, dia melanjutkan, "Aku bukan siapa-siapa, ngga ada yang ingat aku pernah sekolah di sini."
Aku makin terpaku, ternganga menatapnya. Tak pernah terbayangkan sedikit pun, dia bisa melihatku sebagaimana aku melihatnya dulu. "Zea ...."
"Tolong, Rofiq. Aku ngga tahu, sama siapa lagi mau minta tolong. Aku buntu. Aku cuma mau Ibu sehat lagi. Akan kutelan lagi muntahanku kalau perlu. Tolong, Rofiq." Tangannya tiba-tiba mencengkeram lenganku kuat.
Cengkeramannya begitu kuat, memberikan rasa sakit yang mengembalikan kewarasanku. "Zea ...." Kulepaskan cengkeramannya dan kugenggam kedua tangannya. "Kamu mau menikah demi ibumu?"
Dia mengangguk, membiarkan air mata meluncur di pipinya yang terlihat selicin pualam. Matanya berkilau diterpa cahaya matahari yang lolos dari sela dedaunan.
Kugenggam tangannya lebih erat. "Aku ngga mau."
Dia mengernyit.
"Dan aku tidak akan mendukungmu untuk melakukannya dengan siapa pun."
Keningnya makin mengerut.
"Yang akan menjalani kehidupan pernikahan itu nantinya kamu, bukan ibumu. Setidaknya, lakukan itu demi dirimu sendiri."
Zea menarik tangannya, tetapi aku menahannya. Ditatapnya mataku tajam. "Tapi Ibu ngga bisa nerima aku! Apa salahnya kalau aku sedikit berkorban?"
"Itu bukan sedikit, Zea. Pernikahan itu seumur hidup! Memangnya kamu menikah dengan visi untuk bercerai?"
Zea menunduk tanpa membantah sedikit pun.
"Zea ...." Kuusap punggung tangannya dengan kedua jempol. "Kamu mau menikah denganku?"
Dia mengangkat wajahnya dan menatapku penuh antisipasi.
"Apakah kamu bersedia menjadi partnerku dalam membangun jalan menuju keridhaan Allah?"
Perlahan, Zea menarik tangannya.
"Itu visi pernikahan yang kutulis di resumeku, apakah kita punya visi yang sama?"
Zea menunduk, jarinya lagi-lagi memainkan keliman rok.
"Apa visi pernikahannmu?" tanyaku, selembut yang kubisa.
Dia menggeleng. "Aku ngga berniat menikah, jadi ngga punya visi pernikahan," jawabnya pelan sekali, "tapi kalau aku harus menikah, aku cuma ingin bahagia."
Diangkatnya wajah dan ditatapnya aku lurus-lurus. "Dan kurasa, aku bahagia saat bersamamu."
Tangannya meremas jaketku yang terhampar di rumput. "Semalam, aku nyaris ngga bisa tidur sampai aku pakai jaketmu."
Dia diam sejenak, lalu berkata lagi dengan mata berkaca-kaca, "Sorry, aku pakai jaketmu tanpa izin."
Diraihnya jaketku ke atas pangkuan. "Aku tahu, kamu pasti bilang, ini bodoh sekali, tapi cukup dengan merasakan kehadiranmu aja, aku bisa tidur dengan tenang."
Kututup muka dengan kedua tangan. Kukira hanya aku sendiri yang gila, ternyata Zea pun sudah sama gilanya.
Kutenggelamkan diri dalam kegelapan di balik telapak tangan. Kegilaan ini sudah terlalu berlebihan. Berada di posisi eksekutif telah membuatku belajar bahwa mengambil keputusan dalam situasi emosional bukanlah langkah terbaik.
"Kamu mau menunggu?" tanya Zea, tiba-tiba menggenggam lenganku.
"Menunggu apa?" Kuturunkan tangan dari muka dan kutatap matanya yang bersungguh-sungguh meminta.
"Menungguku."
Lagi-lagi, dia membuatku terpaku. Dia tak tahu, berapa lama aku menunggunya menyadari kehadiranku.
"Aku masih ngga ngerti, apa maksudnya membangun jalan menuju keridhaan Allah. Kamu mau menungguku sampai aku benar-benar paham?"
Halus telapak tangannya terasa hangat melingkar di lenganku.
"Aku akan mempelajari cara-cara membangun jalan menuju keridhaan Allah. Jangan khawatir, aku sangat cepat belajar. Kamu mau menungguku, kan? Sampai aku layak jadi partnermu?"
Tatapannya begitu tulus mengajukan permintaan, aku tak sanggup berkata tidak. "Sampai saat itu tiba, apakah kamu sanggup menjauh dariku?" Aku butuh waktu untuk sadar dari kegilaan ini dan kupikir dia pun begitu.
Matanya membulat terkejut. Perlahan, dia menarik tangannya dari lenganku.
"Jika rumah adalah surga di dunia, maka seorang istri adalah bidadari yang tinggal di dalamnya. Aku akan menyiapkan surga yang layak untuk menyambut bidadariku." Demi apa? Aku mengucapkannya begitu lancar, kata-kata yang telah kulatih bertahun-tahun yang lalu.
Bibirnya tersenyum mendengar alasanku. "Okay. Aku janji akan belajar keras," katanya, mantap, "sampai jumpa." Dia segera berdiri. Satu tangannya merapikan rok sementara satu lagi menggenggam jaketku.
Aku ikut berdiri dan sedikit melambaikan tangan. "Sampai jumpa."
Dia tersenyum dan berbalik, tetapi sebelum melangkah, kembali menoleh kepadaku. "Eh, kamu belom ngasih tahu, ngapain ke sini?"
"Oh, itu ...." Kepalaku buru-buru memikirkan alasan terbaik. "Ngambil motor."
Dia ternganga. "Kamu mau naik motor pake baju gitu doang?"
"Ehm, ya ... nanti aku beli jaket di jalan."
"Ya, ampun. Ini jaketmu," katanya, menyampirkan jaket di sekeliling bahuku, "kamu baru demam semalam, mau sakit lagi?"
Aku nyaris menangis terharu mendengarnya begitu perhatian. Kulepas topiku dan kupakaikan di kepalanya. "Aku pakai helm nanti, jadi ngga perlu topi."
"Aku naik mobil, kok ...." balasnya, menolak topiku.
Kutahan topiku di kepalanya. "Kita akan saling menjauh setelah ini. Bolehkah topiku menemanimu sampai waktunya tiba?"
Dia tersenyum, menyentuh ujung topi dengan telunjuk. "Oke, Boss. Tunggu aku, ya." Lalu dia berbalik, memutari pohon dan berjalan menuju parkiran.
Aku menatap punggungnya menjauh hingga hilang di belokan.
Kusandarkan punggung ke pohon, berusaha mencerna yang barusan terjadi. Itu bukan mimpi, kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Ta'aruf
RomanceAku tak berminat menikah, tetapi begitu dia menolakku, kupikir, menikah bukan hal yang buruk.