Tiba di rumah, rasanya lelah sekali. Sebenarnya, tak ada aktivitas fisik yang berarti hari ini, tetapi persendian terasa lepas semua. Sesampainya di kamar, aku ingin berganti pakaian, tetapi tidak jadi. Pakaian pilihan Zea itu, terasa begitu nyaman di badan. Aku ingin memakainya untuk tidur. Rasanya, seperti membiarkan Zea memeluk setiap lekuk tubuh.
Setelah mandi pun, aku tak rela meletakkan seluruh pakaian ke keranjang baju kotor. Apa aku sudah gila? Mungkin, tetapi aku tak peduli lagi. Anggap saja, ini hari terakhir menggila karena Zea. Setelah hari ini, aku janji, tidak akan lagi mengingatnya apalagi memikirkannya.
Saat makan malam, Ibulah yang menyadari perubahan dalam penampilanku. "Baju baru, ya? Perasaan Ibu belum pernah lihat baju ini, deh."
"Tadi kecebur kolam, jadi terpaksa ganti baju."
"Oh, iya, baru sadar!" Aghnia menimpali setelah memindaiku dari atas ke bawah, "tadi sempet mikir, tumben bener Kak Rofiq keliatan keren banget."
"Loh, ini bajunya bukan kamu yang bantuin milih?" balas Ibu heran.
"Nggalah, aku tadi nonton."
"Wah, tumben seleramu bagus, Fiq," ledek Ibu, menahan tawa.
"Jangan-jangan dipilihin Kak Zea, ya?" Aghnia melanjutkan ledekan Ibu.
Aku membalasnya dengan tatapan tajam. Dia hanya tertawa-tawa sambil menyuap sayur asem.
"Kok, sama Zea? Bukannya kalian udah ...." Kalimat Ibu terhenti begitu aku melempar lirikan tajam kepadanya.
Tak ada yang bicara apa pun lagi setelah itu. Aku pun kehilangan selera untuk melanjutkan makan malam. Saat nasi di piring Aghnia hampir habis, kutahan tangannya untuk mengambil tambahan di mangkuk. "Habisin punyaku saja," kataku, menyodorkan piring.
Aghnia membalas dengan tatapan tak percaya, tetapi aku tak peduli. "Kenyang," kataku, lalu berdiri meninggalkan meja makan.
***
Menjelang tidur, aku mematung di depan cermin. Pakaian pilihan Zea masih melekat di badan. Ingin kuganti dengan piyama, tetapi rasanya tanggung sekali. Biar saja kupakai tidur sekali lagi. Besok pagi, aku akan mandi dan berganti pakaian. Begitu lebih nyaman. Akan kubiarkan Zea memelukku sekali lagi.
Dalam remang lampu tidur, kupejamkan mata dan kulepaskan khayalan berkeliaran sesuka hati. Malam ini, akan jadi malam terakhir Zea menguasai khayalanku. Mulai besok, tidak akan ada lagi Zea di kepalaku. Aku harus memastikan itu.
Rasanya baru beberapa menit memejamkan mata, ponsel di nakas bergetar. Sebuah panggilan telepon langsung kuterima tanpa menilik nama yang tertera di layar.
"Halo, assalamu'alaikum, Rofiq."
"Zea?" Kenapa aku bisa mendengarnya? Apa dia sudah tidak lagi menjadi khayalan tetapi sudah meningkat jadi halusinasi? Kulihat layar dengan panik. Cinta memang gila, tetapi aku tidak mau menjadi gila betulan.
"Ya, udah tidur?" Suaranya terdengar lebih lembut dari biasa, membuatku harus menelan ludah, menahan diri dan debaran jantung.
"Ini beneran kamu?"
"Menurutmu siapa?"
Sekali lagi aku menelan ludah dan mengatur napas. Persetan! Jika ini memang halusinasi, biarlah. Khayalan dan kenyataan seolah-olah menyatu di kepalaku. "Aku punya satu pertanyaan buatmu. Setelah ini, aku tidak akan pernah bertanya lagi. Apa kamu mau menjawabnya dengan jujur?"
Tak ada suara apa pun dari speaker di telingaku. Bahkan suara napas pun tak terdengar. "Zea?"
"Rofiq, maaf, selama ini, selalu aku yang bertanya, selalu aku yang meminta. Kamu selalu menjawab dan memberi. Sekarang pun, sebenarnya aku mau mengajukan satu pertanyaan lagi. Janji, ini akan jadi pertanyaan terakhir. Setelah ini, aku ngga akan mengganggumu lagi."
"Baik, aku akan jawab."
"Aku pasti akan jawab pertanyaanmu."
Aku diam, menunggu pertanyaan dari Zea. Namun, waktu terasa begitu lambat bergerak. "Apa?"
"Apa?"
"Apa pertanyaanmu?"
"Kamu dulu aja. Kamu ngga pernah nanya apa pun. Kamu dulu aja yang nanya."
"Okay." Kuhela napas dan kutepuk pelan dada yang bergemuruh. "Apa kamu ...." Kata-kata yang tersusun di kepala, entah bagaimana, seperti menguap begitu saja.
Zea tak bicara apa pun. Dia seperti menahan napas di seberang sana. Hingga akhirnya, dia melanjutkan kata-kataku yang terputus, "mau nikah sama aku?"
Aku tertegun. "Apa kamu berani menghadapi masa depan yang tidak pasti bersamaku?"
"Ya, aku berani."
"Baik, aku mau."
Tak ada suara. "Is it a proposal?" tanyanya lirih.
"Apa ini lamaran?"
Dia tertawa, manis sekali. "Iya."
"It is."
Setelah itu, kami tak bicara apa-apa lagi selain salam perpisahan dan sedikit doa sebagai penutup hari. "Besok aku ke rumahmu," kataku.
"Sekalian sama Ayah dan Ibu?"
"Iya."
Aku menutup telepon, tetapi tak berani memejamkan mata. Jujur, dalam hati khawatir sekali, jangan-jangan keseluruhan dialog yang barusan adalah khayalan akibat menolak berganti pakaian.
Terserahlah. Kalaupun semua itu adalah khayalan, setidaknya aku bisa tidur dengan hati senang malam ini.
***
Keesokan subuhnya, Aghnia menyambutku dengan tawa lebar di meja makan. "Hai, Kak Rofiq, ada berita hebat apa hari ini?"
"Berita apa?"
"Gimana, sih?" Dipukulkannya bilah pisau roti ke meja makan. "Kan, Kak Rofiq yang punya berita hebat."
"O, ya? Berita apa?"
"Kak Rofiq! Serius! Jangan bercanda! Kaya ginian, tuh, ngga bisa dijadiin becandaan!"
"Apa?"
Aghnia menggeram gemas. "Kak Zea berencana masak banyak, loh, hari ini. Kalo Kak Rofiq cuma nge-prank, mending bilang sama dia sekarang!" Suaranya meninggi seperti ibu-ibu yang sedang mengomel.
Aku ternganga. "Zea masak banyak?" Kulampang kepala sendiri. "Yang semalam itu bukan mimpi?"
"Kak Rofiq!"
Ibu langsung panik begitu kuceritakan apa yang terjadi. "Kenapa ngga bilang-bilang dulu, sih? Ke rumah calon besan itu, kan, butuh persiapan. Kita bawa apa, dong, ini? Toko kue buka jam berapa, sih? Apa bisa pesen dulu, ya? Atau beli yang udah ada aja? Udah ngga bisa custom kalo buru-buru gini. Gimana, sih, Fiq?"
"Tenang, Bu. Yang penting Kak Rofiq-nya dateng. Duh, payah, deh, punya kakak kebanyakan ngimpiin Kak Zea. Ngelamar aja berasa mimpi. Kalo tadi aku ngga langsung nelepon Kak Zea abis subuh, pasti pada bakal lumutan nungguin, tuh. Trus nikahnya gagal lagi," Aghnia melanjutkan omelannya.
"Iya, maaf." Aku memang sudah memimpikannya bertahun-tahun. Begitu menjadi kenyataan, malah jadi bingung sendiri. "Tapi kamu menelepon Zea? Buat apa?"
Aghnia memutar bola matanya. "Buat apa lagi? Minta pertanggungjawabanlah, seenaknya udah bikin kakakku ngga makan malam."
Aku melongo.
"Oh, iya! Trus, kita pake baju apa, dong, Nia? Pake gamis yang brokat apa yang biasa aja, ya? Kalo gamis yang biru langit itu, gimana? Kan, cocok, tuh, sama kemeja birunya Ayah?" tiba-tiba Ibu melempar runtunan pertanyaan lagi.
Kemudian, mereka sibuk memutuskan soal pakaian, juga hantaran. Hanya Ayah yang tetap tenang menyeruput tehnya. Dia tak berkata apa-apa, hanya menepuk pundakku sembari mengulas senyum penuh apresiasi.
Di meja makan itu, kami makan roti bakar bikinan Aghnia sambil mengamati Ibu yang sedang bermusyawarah dengan anak perempuannya. Sesekali, kami memberikan komentar seperti, "Bagus, tuh," atau, "boleh juga," dan sejenisnya.
Kurasa bagian terberat telah terlewati. Selanjutnya, urusan-urusan teknis terasa seperti remahan roti yang receh. Aku tak begitu memperhatikan lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ta'aruf
RomanceAku tak berminat menikah, tetapi begitu dia menolakku, kupikir, menikah bukan hal yang buruk.