Hanya ada satu rasa yang dilontarkan Aghnia melalui tatapan matanya, rasa khawatir yang dilandasi kasih sayang. Aku pun pasti akan begitu jika melihatnya jalan sambil tidur hingga membahayakan diri sendiri.
"Ngga cuma itu," kataku akhirnya, "banyak hal yang berebutan mengisi otakku sekarang."
"Sini." Aghnia maju dan berlutut di atas sofa, beberapa senti dariku. Kesepuluh ujung jarinya kemudian memijat ubun-ubunku. "Keluarin satu-satu, coba, biar otaknya lega."
Kupejamkan mata, membayangkan masalahku keluar satu per satu seiring pijatan ujung-ujung jarinya. Kemudian, ceritaku pun mengalir pelan-pelan, tentang Zea, tentang permintaannya, dan perjanjian kami untuk saling menjauh.
"Heh? Perjanjian apa itu?" Ditariknya ujung-ujung jarinya dari ubun-ubunku. "Mau nikah itu bukannya malah wajib ngobrol? Harus sama-sama paham, kan, soal keinginan masing-masing, mimpi-mimpi masing-masing ...."
"Ya, ya, aku ngerti. Itu kalau dua-duanya memang udah niat nikah."
"Loh? Bukannya Kak Zea sendiri yang minta nikah sama Kakak?" Dia terhenti, seperti baru menyadari sesuatu. "Ya, ampun, Kak Zea ngelamar cowok. Keren!"
"Eh, pertamanya memang dia yang ngajak nikah, tapi setelah itu aku yang melamar."
Namun, Aghnia sudah meledekku dengan gelengan kepalanya. "Tetep aja, yang punya inisiatif jauh lebih keren."
Kubalas dia dengan tatapan setajam silet.
"Trus, kenapa ngga bilang-bilang sama Ibu? Biar Ibu ngga capek-capek nyariin cewek buat dijodohin."
"Kamu tahu sendiri kaya gimana Ibu, menyebut namanya aja ngga mau."
Aghnia menghela napas sambil menggigit bibir. Itu yang selalu dilakukannya jika sedang berpikir keras.
"Lagipula, dia mau nikah demi ibunya, bukan atas kemauannya sendiri," lanjutku lemah.
"Apa bedanya? Yang penting Kak Zea udah mau nikah, kan?"
Aku menggeleng. "Dia nikah cuma biar ibunya ngga stres, biar ibunya sehat. Setelah itu, pasti akan ada pertanyaan, udah isi? Kalau udah punya anak, akan ada pertanyaan, kapan, nih, adeknya? Sampai kapan dia tahan kalau melakukan semua hanya demi ibunya?"
Aghnia tak menjawab, malah mencubit bibir sendiri. Dia pasti juga ikut pusing memikirkan masalahku.
"Lalu, kalau ibunya udah ngga ada lagi, apa yang akan terjadi? Apa dia akan minta cerai?"
Aghnia terdiam. Gerakan jari dan matanya terhenti. Kemudian, pelan-pelan, dia memilin bibirnya sendiri.
"Apalagi, sekarang ada wacana untuk memindahkanku ke Port Moresby."
"Eh? Pindah? Ke mana?"
"Port Moresby, Papua Nugini."
Mata Aghnia membulat. "Kok, ngga bilang-bilang?"
"Belum pasti, masih dalam pembicaraan. Rapat hari ini membahas itu," kataku, melonggarkan dasi yang terasa terlalu mencekik leher, "tapi kemungkinan besar, aku yang akan ditunjuk buat jadi kepala cabang di sana."
"Kenapa?"
Kutatap matanya yang kebingungan. "Karena waktu mulai ekspansi ke sana, aku yang mengurus pemasarannya, jadi aku sudah cukup kenal medan di sana. Yang kedua, karena aku masih single, tidak terlalu banyak yang dipikirkan jika harus pindah."
"Trus, Kak Zea?"
Kuhempaskan kepala ke sandaran sofa. "Belum tahu."
"Huh, makanya, ngobrol, bukannya malah jauh-jauhan!"
"Ini juga belum pasti."
"Justru karena belum pasti itu, kan? Harusnya tanya dulu sama Kak Zea."
Kupikir perkataan Aghnia ada benarnya.
"Kecuali Kak Zea ngga ada di visi masa depan Kakak, ya, ngga usah diajak ngobrol."
"Sebenarnya, aku pun ngga ada di visi masa depan Zea. Yang ada di kepalanya cuma bagaimana menjaga kesehatan ibunya. Ini tentang ibunya, bukan tentang aku."
"Tahu dari mana?"
"Dia sendiri yang bilang. Dia rela menikah, rela menelan bulat-bulat prinsipnya yang menganggap pernikahan sebagai neraka buat perempuan, semua demi biar ibunya sehat. Sekarang ibunya udah sehat, udah bisa ikut pengajian lagi, tujuannya udah tercapai bahkan tanpa perlu menikah."
"Tapi ibunya masih berusaha deket-deket sama Ibu. Apa Kak Zea udah cerita soal perjanjian Kakak sama dia?"
"Kalau dia mau ibunya sehat, dia harus menceritakannya."
Aghnia memijit pangkal hidungnya. "Sampai kapan?"
"Apanya?"
"Kakak sama Kak Zea mau saling menjauh sampai kapan?"
Kukedikkan bahu.
"Sampai rumah kita kebakaran karena aku ketiduran?"
"Ketiduran? Memangnya kamu ngga tidur?"
Aghnia memalingkan muka lalu dengan cepat berusaha mengalihkan pembicaraan, "Tapi sekarang, ibunya bilang kalau Kak Zea udah mau nikah, dan ...."
"Kamu ngga jawab pertanyaanku."
Aghnia menghela napas. "Gimana aku bisa tidur kalau kakakku lagi kacau gitu."
"Astaghfirullah, Aghnia ...." Spontan, kurangkul adikku, dan air mata yang tertahan berbulan-bulan pun tumpah laksana bah. "Maafkan aku."
Diusap-usapnya punggungku. "Makanya, selesaikan urusan Kakak sama Kak Zea, jangan kode-kodean pake story lagi."
Kulepaskan dekapanku. "Kamu juga tahu itu?"
Dia tertawa sambil mengusap air mata di pipinya. "Story Kakak sama Kak Zea pasti samping-sampingan di berandaku. Udah kaya berbalas pantun."
Aku ikut-ikutan tertawa dengan pandangan buram tersaput air mata. "Okay, nanti aku akan bicara sama Ibu."
Aghnia menggeleng. "Soal Ibu, biar aku yang urus. Kakak tunggu aba-aba dariku aja. Kalau semua udah siap, baru Kakak ngomong sama Ibu, okay?"
Aku mengangguk mantap. "Janji, kamu tidur malam ini?"
Dia mengangguk. "Janji, Kakak ngomong sama Kak Zea soal semua ini?"
Aku mengangguk. "Sabtu ini, aku ke rumahnya. Soal seperti ini harus dibicarakan face to face, ngga bisa lewat telepon."
Dia spontan terbahak. "Kangen, bilang aja sih? Ngga usah kebanyakan alasan."
Aku ikut-ikutan tertawa, menertawakan kekonyolan diri sendiri. Bagaimanapun, dalam kasusku, rindu saja tidak cukup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ta'aruf
RomanceAku tak berminat menikah, tetapi begitu dia menolakku, kupikir, menikah bukan hal yang buruk.